Monday, January 14, 2019

MEMAHAMI DAN MENIKMATI KIDUNG AGUNG 2:8-17

Oleh: Fransiskus Borgias M.
Dosen Teologi Biblika FF-UNPAR Bandung. Anggota LBI dan ISBI.




Dalam deru gejolak rasa rindunya yang mendamba, sang kekasih perempuan itu melihat dan menantikan kedatangan sang kekasih dalam sukacita dan riang ria. Ia memakai ungkapan yang menampakkan keriangan itu, melompat-lompat dan meloncat-loncat di atas gunung dan bukit (ay 8). Ia lukiskan kekasih pria dengan metafora kijang dan anak rusa yang bermain di padang dan di lereng bukit (ay 9a). Sekarang kekasih pria berdiri begitu dekat dengan kekasih wanita, yaitu di balik dinding (ay 9b). Dari dalam ia memandang dengan rindu. Dari luar kekasih pria juga mencoba melihat dengan rindu (ay 9c).

Ternyata tidak berhenti pada saling memandang. Kekasih yang datang dari lereng gunung itu mulai menyapa dan membangunkan kekasih wanitanya (ay 10). Ia membangunkannya untuk menyaksikan perubahan musim yang begitu indah: dari musim dingin dan musim hujan (ay 11) ke musim bunga (musim semi) dan musim memangkas (ay 12). Ada juga burung yang ikut menikmati perubahan musim yang indah itu. Di sini secara khusus disebut tekukur (ay 12).

Pepohonan mulai menampakkan perubahan. Secara khusus disebut pohon ara yang mulai berbuah (musim semi). Juga pokok anggur: menyembulkan bunga harum semerbak dan indah (ay 13). Kekasih pria yang datang seakan sedang melukiskan sebuah panggung alam tempat mereka mengadakan perjumpaan penuh kasih dan rindu. Itu sebabnya, ia sekali lagi mengulang ajakannya yang ia ucapkan dalam ayat 10 (Bangunlah, manisku, jelitaku, marilah). Ia mengajak sang kekasih untuk keluar menikmati alam yang indah bersama-sama. Betapa romantisnya ia membayangkan perjumpaan itu.

Rupanya kekasih perempuan itu belum keluar atau menampakkan diri. Itu sebabnya dalam ayat 14a ia menyebut kekasihnya itu dengan sebutan “merpatiku” yang bersembunyi di celah-celah batu, di lereng-lereng gunung. Ia meminta dengan sangat agar kekasih perempuan itu segera memperlihatkan wajah dan memperdengarkan suara (ay 14b). Ia merindukan wajah dan suara itu karena suara itu merdu dan wajah itu elok (ay 14c). Itulah pertanda luapan rasa rindu yang semakin kuat dan menggelora di dalam kalbu.

Kerinduan itu rupanya belum kesampaian. Tetapi ia tahu bahwa kekasih wanita itu sedang menanti di suatu tempat. Karena itu, dalam ayat 15 kita saksikan perubahan subjek tutur. Jika sebelumnya kekasih prialah yang berbicara, maka di sini yang bertutur adalah kekasih wanita. Dari dalam persembunyiaannya (tetapi serentak sedang mengintip rindu) ia sayup-sayup menyampaikan keinginannya kepada kekasih pria yang sedang mengembara di padang. Kekasih wanita berharap agar kekasih pria itu menjaga kebun-kebun anggur mereka dari gangguan rubah-rubah kecil yang sering menggerogoti pokok anggur yang sedang berbunga (ay 15b). Rubah kecil ini dapat dibaca sebagai metafora tentang para pengganggu relasi cinta mereka yang sedang dibangun dan berbunga-bunga. Kekasih wanita berharap agar rubah-rubah itu tidak merusak cinta mereka (dilambangkan dengan kebun anggur yang sedang berbunga itu).

Dalam gejolak rasa rindunya ia tetap yakin dan optimis bahwa ia adalah kepunyaan sang kekasihnya dan sebaliknya sang kekasih adalah kepunyaanya. Ini adalah relasi kepemilikan yang unik dan aneh dalam relasi cinta yang bersemi ria. Kekasih perempuan membayangkan kekasih prianya sebagai gembala yang menggembalakan domba-dombanya di tengah bunga bakung (banyak tumbuh di padang) (ay 16). Juga dalam derap gejolak rindunya, kekasih wanita berharap agar sang kekasih pria itu kembali kepadanya dengan berlari-lari seperti kijang. Ia mengharapkan agar hal itu bisa terjadi sebelum angin senja berhembus (menjelang kegelapan malam tiba), sebelum bayang-bayang menghilang (dalam kegelapan malam, kita tidak bisa melihat bayang-bayang).

Itu artinya, ia diharapkan segera tiba sebelum malam datang (ay 17a). Kekasih wanita itu juga berharap agar kekasih prianya datang kepadanya laksana anak rusa yang bermain-main di gunung-gunung tanaman rempah-rempah (ay 17b). Dalam imajinasinya kekasih wanita itu membayangkan kekasih pria laksana anak rusa yang bermain di sebuah perkebunan indah. Hal itu membuat gejolak rindu dalam hatinya semakin membara karena cinta mendamba. Hal itulah yang akan kita baca dalam bagian awal Bab 3.

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...