Monday, December 24, 2018

GULUNGAN TEKS-TEKS LAGU

Oleh: Dr.Fransiskus Borgias MA
Dosen FF-UNPAR Bandung. Anggota LBI dan ISBI


Guru Inggris saya dulu di SMP Seminari Pius XII Kisol, Bapa Willem Beribe, berkenan mampir memberi komentar di postinganku di grup Wela Runus Sanpio XII tentang lagu Transeamus Usque Bethlehem. Dalam komentarnya beliau mengingatkan kita akan kehebatan dan kreatifitas para Guru SR/SD dulu di Flores (khususnya di Manggarai Raya) yang mampu melatih murid-murid sekolah mereka yang kelas 5-6 (terkadang mulai kelas 4 bahkan 3) untuk menyanyikan lagu-lagu Latin dalam perayaan liturgi gerejani. Dalam komentar itu ia juga mengatakan bahwa media latihan itu bukan lembar jilidan hasil cetakan komputer atau fotocopy melainkan tulisan tangan pada kertas manila berukuran besar. Saat membaca komentar itu imajinasi saya terangsang untuk menulis tentang hal itu. Memang tahun 60an dan 70an media latihan koor ialah kertas karton manila (buffalo) berukuran besar. Itulah yang saya sebut dengan Gulungan teks-teks lagu.

Untuk menghasilkan teks-teks besar seperti itu dibutuhkan orang khusus. Orang seperti itu adalah seniman grafis. Sebab ia harus mempunyai tulisan tangan bagus. Ia juga harus bekerja rapih dan hati-hati. Mengapa? Ini yang amat menarik. Si penulis itu biasanya harus menulis sambil berdiri dan kertas tadi harus ditempelkan pada papan tulis atau dinding rumah. Alat tulisnya juga bukan spidol, apalagi spidol besar. Waktu itu belum ada spidol seperti itu di Flores. Karena itu, si penulis tadi memakai lidi atau belahan bambu yang ujungnya dihaluskan agar bisa menjadi seperti sapuan kuas. Saat ia mulai menulis, terlebih dahulu ia harus mencelupkan ujung lidi atau bambu yang sudah dihaluskan tersebut ke dalam botol tinta (merek ink-well, belum ada merek parker, kalaupun ada, mahal harganya). Kalau itu belum ada maka dipakai tinta tradisional yang dibuat dari campuran jelaga pantat priuk dan getah pohon tertentu yang dulu biasa dipakai orang Manggarai (terutama ibu-ibu) untuk mewarnai anyaman yang terbuat dari bambu (talok atau gurung).

Si seniman tulisan tangan harus mencelupnya sedemikian rupa agar tinta itu tidak menetes ke mana-mana dan sia-sia. Ia harus bekerja sangat rapih. Setelah bekerja beberapa lamanya, biasanya ia bisa menghasilkan beberapa lembar untuk satu lagu saja. Apalagi jika lagu itu cukup panjang. Dia harus menulis lengkap empat suara (sopran, alto, tenor, bass). Akan lebih merepotkan lagi, jika lagu itu terdiri atas messo-sopran, contra-alto dan bariton. Setelah selesai maka teks itu dijemur agar kering. Setelah kering akan digulung rapi. Teks itu disimpan dengan cara digulung.

Kalau jemaat Kristen purba (sebenarnya dimulai dengan jemaat Perjanjian Lama) memiliki gulungan kitab, maka jemaat Katolik awal dulu di Manggarai juga memiliki gulungan teks lagu liturgi gerejani. Biasanya gulungan-gulungan teks lagu seperti itu bisa ditemukan di rumah-rumah si dirigen pelatih koor, ataupun di rumah guru-guru khususnya guru katekis, atau juga bisa ditemukan di rumah-rumah para guru agama di kampung-kampung. Boleh dikatakan itulah harta karun perpustakaan rohani mereka (pelatih, guru, guru agama).

Saat saya menulis karangan ini saya membayangkan apakah teks-teks lama dari tahun 60an dan 70an itu masih ada? Masih adakah yang menyimpannya? Kalau masih ada, itu sungguh luar biasa. Sebuah tonggak historis yang mengagumkan. Terkadang saya merindukannya lagi sekarang ini saat saya juga sibuk menjadi dirigen dan pelatih koor di lingkungan dan paroki saya sendiri di Bandung.

Tetapi ini bukan sekadar nostalgia. Saya melihat ada keuntungan tertentu dengan memakai metode seperti itu. Dengan memakai satu teks besar seperti itu posisi dirigen benar-benar menjadi sentrum/pusat karena yang dilihat anggota koor ialah dirigen dan teks. Dengan demikian anggota koor berada di bawah komando tunggal. Selain itu, anggota koor mau tidak mau harus angkat muka untuk memandang teks lagu yang diangkat tinggi dengan bantuan tongkat oleh seorang yang memang tugasnya hanya itu. Dan ditaruh di belakang dirigen. Dengan demikian, para penyanyi tidak lagi terpaku pada teks masing-masing seperti sekarang ini di mana anggota koor memiliki fotocopyan sendiri. Akibatnya mereka merunduk dan menekuni teks sendiri. Dirigen tidak diperhatikan. Itulah keuntungan sistem itu dahulu. Semua berada di bawah satu komando. Dan anggota koor, karena teks yang terbatas itu, terdorong untuk menghafal teks lagu dan nada-nada yang menjadi tanggung-jawabnya. Penghafalan ini mempunyai fungsi ganda: pertama, untuk mengurangi ketergantungan pada teks. Kedua, agar teks itu bisa menjadi sebuah teks yang hidup, sebuah hafalan yang bisa dipakai di mana pun saja.

Kembali ke teknik penyimanan tadi. Begitu selesai dipakai untuk satu sesi latihan, biasanya gulungan teks-teks itu disimpan dengan cara digulung di dalam sebuah bambu berukuran besar. Agar tidak dimakan tikus dan tidak menjadi mainan anak-anak atau sekadar tercecer di mana-mana. Ada juga yang menempel teks lagu itu sebagai tempelan tetap pada dinding rumah si pelatih koor sehingga latihan harus selalu di rumah beliau. Tetapi ini tidak banyak. Yang paling banyak ialah teknik penyimpanan seperti sudah disebutkan di atas tadi. Begitu suatu masa liturgis gerejani sudah lewat maka teks-teks itu disimpan lagi dengan baik untuk dapat dipakai lagi nanti pada perayaan berikut.

Saya masih ingat dengan baik di paroki Ketang dulu (semula di Rejeng), teks-teks yang tersimpan cukup lama ialah teks-teks lagu lamentasi dalam bahasa Manggarai. Waktu itu saya masih kecil. Tetapi karena para guru sering melatihnya pada masa pantang dan puasa maka saya pun hafal juga: Wangkan tilir di Yeremias profeta. Yerusalem, Yerusalem, kole one agu Mori Kraeng de hau. Alef... dst.dst... Atau yang terkait masa natal ada lagu seperti Wie Nggeluk Bail, Gloria in Excelsis Deo, Ata Sambe Poli Loas, Mai Ata Serani, dll.

Ini adalah sebuah ingatan dan nostalgia yang indah dan menarik. Warisan kreatifias para guru-guru tua dulu di Manggarai dalam rangka membuat gereja berurat dan berakar dalam hati sanubari orang Manggarai. Suatu usaha mulia.

3 comments:

Sebastian said...

Sebuah ulasan menarik dan inspiratif tentang perjalanan iman Katolik orang Manggarai.Semoga ingatan historis yg tertuang dalam tulisan ini membuka dan menggali lebih banyak lagi harta karun iman Katolik orang Manggarai sehingga Gereja Katolik Manggarai tidak tercecer Dan tercerabut dari akarnya. Thanks Kraeng tua atas tulisannya.

Sebastian said...

Sebuah ulasan menarik dan inspiratif tentang perjalanan iman Katolik orang Manggarai.Semoga ingatan historis yg tertuang dalam tulisan ini membuka dan menggali lebih banyak lagi harta karun iman Katolik orang Manggarai sehingga Gereja Katolik Manggarai tidak tercecer Dan tercerabut dari akarnya. Thanks Kraeng tua atas tulisannya.

canticumsolis said...

Sebastian....
Trima kasih banyak atas perhatian dan apresiasinya dengan sudi mampir memberi komentar di sini. Saya hanya bersyukur jika tulisan saya yang sederhana ini mempunyai nilai historis juga bagi anda sebagai salah satu pembaca saya di dalam blog pribadiku ini. Ini menjadi bekal dan dorongan bagi saya untuk terus menulis dan khususnya menggali apa saja yang terkait dengan kemanggaraian saya dan anda, kemanggaraian kita semua... salam damai....

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...