Saturday, November 10, 2018

BOHEMIAN RHAPSODY

Oleh: Dr.Fransiskus Borgias M.



Kemarin Sore, 10 November 2018, bersama isteriku tercinta, Emcies, menonton film di Miko Mall, Bohemian Rhapsody. Sebuah film tentang Freddy Mercury yang diangkat dari judul salah satu lagunya yang terkenal dengan judul yang sama. Saya sudah pernah membaca sesuatu tentang tokoh ini saat di SMA Seminari Pius XII Kisol, di Flores. Tetapi saya baru bisa mendengar lagu-lagunya saat belajar Filsafat di STF Driyarkara Jakarta tahun 1983. Saat itu saya mulai mengenal banyak lagu Queen. Tetapi dalam tulisan ini saya tidak bermaksud menulis tentang film Bohemian Rhapsody itu. Saya mau menulis tiga hal lain yang menyembul keluar saat iklan Film ini muncul di radio dan media lainnya.


Pertama, tentang keyakinan religius Freddy Mercury. Saat pertama kali saya menikmati lagu Bohemian Rhapsody, saya mengira Freddy adalah Islam, karena ada sebuah kata yang dipakai Freddy dalam lagu itu yang secara natural kita hubungkan dengan Islam, Bismillah. Kata itu diulang beberapa kali dalam lagu itu. Ternyata tidak. Ia bukan pemeluk Islam. Ia adalah keturunan Parsi dari Pakistan (tahun 40an wilayah India). Keluarganya hijrah ke Sanzibar di Afrika Timur yang termasuk Tanzania, diduga karena tekanan Islam di India (Pakistan). Freddy lahir di Sanzibar tahun 1946. Kemudian keluarganya pindah ke Inggris. Di sana mereka dikenal sebagai orang Pakistan (sebutan populer Paki, yang dalam Film itu dikenakan kepada Freddy, yang terkesan tidak suka dengan sebutan itu).


Saya sudah lama tahu bahwa Freddy bukan muslim melainkan penganut Zoroaster, sebuah agama kuno Persia (Iran). Banyak sejarawan agama menduga bahwa agama ini punah. Ternyata agama ini masih hidup hingga ke jaman modern ini. Setidaknya, saya mengenal (lewat pembacaan, bukan lewat perjumpaan langsung) dua musisi dunia yang berkeyakinan religius (agama) Zoroaster. Pertama, Freddy Mercury. Sebagaimana sudah dikatakan di atas ia lahir dari keluarga yang berkeyakinan Zoroaster yang berpindah dari Pakistan ke Sanzibar dan kemudian berpindah ke Inggris dan menjadi besar dan terkenal di sana.


Di Fakultas Filsafat Unpar saya mengampu matakuliah Fenomenologi Agama. Dalam pengajaran, salah satu agama yang saya perkenalkan kepada para mahasiswa ialah Zoroaster, yang sejak sangat dini pernah merasuk ke dalam Kekristenan lewat keyakinan religius yang diajarkan oleh tokoh bernama Mani, dari mana nama Manikeisme itu berasal. Diduga ajaran ini merasuki Kekristenan pada abad ketiga Masehi. Salah satu tokoh terkenal dalam teologi Latin, yaitu Agustinus, pernah selama 9 tahun menjadi penganut aliran Manikeisme ini walau hanya sebagai novis saja. Artinya tidak masuk ke dalam kelompok inti, kaum tercerahkan (illuminati) ataupun kelompok elit pilihan (ellecti).


Manikeisme mencoba memadukan ajaran Zoroaster dengan ajaran Kristianitas dan dengan cara itu meracuni Kristianitas dengan ajaran dualismenya, tentang dua prinsip awal mula, prinsip kebaikan atau prinsip terang, Ahura Mazda, dan prinsip keburukan (jahat) atau prinsip gelap, Ahriman. Kedua prinsip ini terus menerus berkonflik secara abadi. Hal ini tentu sangat sulit didamaikan dengan keyakinan monoteisme yang dianut Kekristenan. Tetapi ajaran ini amat menarik bagi orang yang mencoba menjelaskan tentang misteri kejahatan dan penderitaan. Tetapi saya tidak mau melanjutkan pembahasan itu di sini. Semoga di kesempatan lain saya punya kesempatan untuk menguraikan hal itu.


Tokoh kedua yang saya ketahui secara persis sebagai penganut Zoroaster adalah Zuben Mehta. Siapa dia? Dia juga musisi. Dia pernah datang ke Indonesia tahun 1984. Saat itu ia konduktor New York Philaharmonic Orchestra. Saya tidak menonton orchestra itu secara langsung, tetapi sempat menonton pemberitaannya sekilas di Televisi. Dari laporan pandangan mata Mingguan Tempo, saya akhirnya bisa mengenal lebih banyak dan mendalam tentang tokoh ini. Dari Tempo saya tahu bahwa pak Zuben Mehta adalah penganut Zoroaster. Saya tidak sempat mencaritahu lebih lanjut tentang tokoh Zuben Mehta itu. Yang jelas, penampilan mereka di Jakarta saat itu termasuk sukses, bisa menghibur penggemar musik klasik di Jakarta. Dari kedua tokoh inilah akhirnya saya sadar bahwa Zoroaster itu bukan agama dari masa silam yang sudah punah, yang hanya tinggal puing-puing dan fosil saja dalam ingatan kolektif manusia, melainkan agama itu masih hidup juga di jaman modern ini. Bahkan dua tokoh musisi dunia yang terkenal di panggung blantika musik bergengsi, termasuk penganut setia agama ini.


Sekarang kembali lagi ke Freddy. Secara pribadi saya suka lagu Bohemian Rhapsody yang kini diangkat menjadi judul film itu. Tetapi, ini hal ketiga yang ingin saya tulis, sejak saya mendengar Freddy dari tahun 1983, saya menyukai dua lagu dia yang lain. Yang pertama ialah lagu Love of My Life. Yang kedua ialah lagu Teo Torriatte. Selanjutnya mau membahas lagu kedua ini secara singkat. Saya sangat suka akan nada dan kata lagu ini. Pertama karena ada kata-kata Jepang yang terasa ajaib dicampur bahasa Inggris. Saya tidak tahu bahasa Jepang. Tetapi teks berbahasa Jepang itu kiranya merupakan terjemahan dari teks Inggris dengan nada yang sama. Kedua, karena pesan yang terkandung dalam teks berbahasa Jepang itu mengandung arti yang sangat mendalam bagi saya dan juga bagi masyarakat manusia. Itu sebabnya saya menulis dan membagikannya di sini.


Saya tidak akan mengutip seluruh lagu itu di sini. Saya hanya mengutip bagian yang saya anggap sebagai refrein lagu tersebut: “Let us cling together as the years go by, oh my love my love, in the quiet of the night, let our candle always burned, let us never lose the lessons we have learnt”. Wow.... Menurut saya ini adalah pesan yang sangat indah. Sesudah versi Inggris lalu muncul versi Jepang sbb: “Teo torriatte konomama iko Aisuruhito yo, shizukana yoini Hikario tomoshi, Itoshiki oshieo idaki”. Seperti sudah dikatakan di atas teks Jepang itu adalah terjemahan dari Inggris. Inilah versi terjemahan Indonesia menurut intuisi saya: “Marilah kita berjalan bergandengan tangan saat tahun demi tahun (dari hidup kita ini) berlalu, wahai kekasihku kekasihku, di dalam keheningan malam, baiklah lilin kita tetap bernyala, dan jangan sampai kita lupa nasihat-nasihat yang pernah kita pelajari.”


Ya, jangan sampai kita melupakan pelajaran yang pernah kita dapatkan agar kita tidak menjadi orang bodoh, orang dungu, orang tolol, orang gila dalam sejarah ini, yakni mengulang kesalahan karena kita melupakan sejarah. Tepat kata Bung Karno: Jasmerah, jangan sampai melupakan sejarah. Sebab orang yang melupakan sejarah cenderung melakukan ketololan yang sama, padahal even a donkey will not stumble over twice upon the same stone. Freddy, lewat lagu ini, meminta kita agar tidak menjadi keledai dungu.

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...