Friday, November 9, 2018

JIKA AKU MENJADI II

Oleh: Fransiskus Borgias M.



Pengalaman kerja liburan saya yang kedua terjadi pada tahun 1985. Saat itu saya bekerja di Panti Rehabilitasi Sosial di Cibadak Sukabumi. Yang disuruh bertugas di sana saat itu adalah saya sendiri dan Peter Aman (sekarang sudah menjadi Imam OFM). Panti itu adalah sebuah panti rehabilitasi sosial bagi orang yang sudah dinyatakan sembuh secara medis dari Rumah Sakit Jiwa di Bogor, dan tinggalproses sosialisasi ke tengah masyarakat dan keluarga. Dalam rangka persiapan proses rehabilitasi itu, di sana mereka diberi pelbagai latihan ketrampilan kerja seperti menyulam bagi kaum perempuan, membuat keset, mengelas, merenda, ataupun berkebun, dll. Ada banyak hal yang ingin saya catat di sini sebenarnya. Tetapi saya akan membatasi diri pada beberapa hal yang penting dan menarik saja.


Saat itu saya dan Peter diterima di sana oleh Pak Samuel dan Bang Barus. Yang terdahulu berasal dari tanah Toraja, dan yang lain berasal dari Sumatera Utara (orang Batak). Ketika baru tiba pada hari pertama, kami diantar berkeliling untuk melihat-lihat kompleks itu dan berkenalan dengan para pegawai yang bekerja di sana. Pada saat itu terus terang saja saya hampir tidak bisa membedakan dengan baik mana pegawai, mana para pasien penghuni Panti rehabilitasi tersebut. Sebab pada saat itu di sana ada banyak orang yang berpakaian rapih dan necis seperti para pegawai saja. Saya baru bisa mengenal dan membedakan mereka setelah tinggal dan menginap dalam panti selama satu hari. Saya membayangkan hal itu tidak mudah. Pada hari minggu berikutnya kebetulan ada jadwal kunjungan keluarga dari para pasien yang ada di sana. Saat itu saya bayangkan betapa para anggota keluarga yang datang berkunjung juga mengalami kesulitan yang sama seperti yang kami alami beberapa hari sebelumnya: sulit membedakan mana pegawai, mana pasien. Saya membiarkan diri dianggap “gila” saja oleh mereka. Tidak apa-apa.


Kedua, di sana juga ada peristiwa jatuh cinta dan ada rasa cemburu. Ada pasien yang jatuh cinta satu sama lain; tapi rupanya rupanya ada juga yang senang pada Peter, sehingga setiap pagi dan sore ia datang ke rumah tempat kami menginap dan berdiri di pintu lalu mulai memanggil: Piterrrrr.... itu menjadi kekhasannya dia, menyebut huruf r dengan panjang. Piter itu adalah teman saya, seorang frater yang datang ke sana bekerja bersama dengan saya. Ada juga kisah mengenai seorang pasien perempuan yang jatuh cinta kepada seorang pegawai pria yang kebetulan sudah beristeri dan isterinya itu juga pegawai di sana. Sang suami adalah orang Bali. Sedangkan sang isteri adalah orang Sunda. Sang isteri saat itu sedang hamil tua. Si pasien tahu, istri itu menjadi penghalang cintanya pada pria Bali itu. Maka sang isteri itu harus disingkirkan. Di suatu pagi perempuan itu menikam perut isteri orang itu ketika pegawai itu berdiri di pintu untuk mengawasi para pasien makan pagi. Ternyata ia bersembunyi di balik pintu kamar makan. Kejadian itu tentu saja sangat menghebohkan. Nyawa bayi dalam kandungan itu tidak dapat diselamatkan. Hanya nyawa sang ibu saja yang bisa diselamatkan. Memang harus memilih. Tragis sekali. Ibu itu harus istirahat hamil selama kurang lebih dua tahun sebelum ia boleh hamil lagi.


Selain itu ada juga pasien yang megalomaniak; namanya Sukarno. Suatu pagi, ia diam-diam menyelinap masuk ke rumah kami dan mencuri baju kami dan membuang air besar sembarangan di rumah kami, sehingga rumah kami saat itu bau sekali. Untung rumah bisa segera dibersihkan oleh pegawai dengan karbol, sehingga bersih dan segar lagi. Selain itu, ada juga pasien yang sangat terobsesi pada seni khususnya seni puisi. Maka ia selalu menulis puisi dan mendeklamasikan puisinya sambil mengisap sisa-sisa puntung rokok yang ia kumpulkan dari terminal bis Cibadak sepanjang malam. Ia tidak tidur malam. Tetapi ia kuat sekali badannya karena walau tidak tidur ia masih bisa bekerja di siang harinya. Akhirnya, ada juga yang mantan anggota partai terlarang (komunis), yang kekiri-kirian, yang tidak percaya kepada Tuhan. Ia hanya percaya kepada daya kekuatan alam semesta ini saja. Mungkin karena berideologi kiri, maka ia selalu memiringkan kepalanya ke kiri. Aneh juga.


Keempat, setiap kali mengamati mereka pada saat libur atau istirahat kerja, mereka tampak seru berdialog satu sama lain. Seperti terjadi sebuah pembicaraan yang sangat lancar, tukar pikiran antara dua orang teman. Tetapi ternyata jika diperhatikan baikbaik dari dekat, pokok pembicaraanmereka sangat berbeda satusama lain. Mereka hanya berbicara sama-sama saja di suatu tempat dan tidak sedang membahas satu persoalan yang satu dan sama. Yang satu bicara ke utara, yang lain bicara ke arah selatan. Yang satu bicara ke arah timur, yang lain bicara ke arah barat. Ada seorang ibu tua yang mempunyai kebiasaan memelihara kucing yang berkeliaran di kompleks panti itu. Ia mengenal satu per satu perilaku kucing-kucing itu, dan kucing-kucing itu juga mengenal dia. Relasi yang sangat akrab.


Akhirnya kelima, ada penilaian dari para pegawa bahwa sebenarnya ada banyak dari mereka yang sudah layak untuk pulang lagi ke tengah keluarga, ke tengah masyarakat karena mereka dinyatakan sudah sehat, sudah normal. Tetapi setelah beberapa hari tinggal di rumah atau di kampung mereka, ternyata mereka pulang lagi karena mereka tidak tahan tinggal di sana. Sebab di kampung, ternyata orang kampung dan bahkan anggota keluarga mereka sendiri tidak siap menerima mereka dan tetap menganggap mereka masih gila. Maka para pegawai itu pun bertanya secara kritis: siapakah yang gila sesungguhnya? Mereka itukah? Atau justru masyarakat? Mungkin yang kedua itulah yang benar, seperti dikatakan oleh Erik Fromm, the insane society.


Lempong Lor, 11 Maret 2013


No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...