Thursday, November 8, 2018

JIKA AKU MENJADI I

Oleh: Fransiskus Borgias M.



Ada sebuah acara Televisi swasta yang cukup menarik perhatian saya beberapa tahun yang lalu. Judulnya "Jika Aku Menjadi". Acara itu ditayangkan pada sebuah TV swasta nasional. Setiap kali saya menonton acara itu saya selalu teringat akan pengalamanku sendiri dulu ketika masih kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta. Bagi saya, praktek seperti yang dibentangkan dalam acara JAM itu sama sekali tidak serba baru. Dulu ketika masih mahasiswa filsafat di STF Driyarkara Jakarta, saya paling tidak beberapa kali menjalani dan mengalami hal serupa itu. Hanya bedanya saya dulu tanpa iklan, tanpa sponsor, tanpa tayangan di televisi. Paling tidak pada saat itu saya mempunyai tiga pengalaman. Pengalaman pertama, pengalaman bekerja sebagai buruh di pabrik perakitan mobil di Gaya Motor di bilangan Sunter Jakarta Utara. Pengalaman kedua, pengalaman bekerja sebagai pekerja sukarelawan (voluntir) di sebuah panti rehabilitasi sosial di Cibadak Sukabumi. Pengalaman ketiga, yaitu pengalaman bekerja sebagai pekerja sukarelawan di sebuah Rumah Sakit Kusta di kota Pati (panti rehabilitasi orang Kusta). Dalam tulisan yang pertama ini, saya hanya mau membuat catatan yang lebih lanjut tentang pengalaman yang pertama, pengalaman bekerja di pabrik perakitan mobil Gaya Motor.


Pada saat itu saya masih duduk sebagai mahasiswa Filsafat tingkat pertama di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkata Jakarta. Saat itu kami baru saja selesai ujian dan melewatkan tingkat pertama itu untuk masuk ke tingkat kedua. Tetapi sebelum tingkat kedua dimulai, yaitu sekitar Agustus 1984, kami mempunyai waktu dua bulan lamanya untuk berlibur. Ada banyak kegiatan yang bisa dilakukan. Tetapi di sini saya menyebut saja kegiatan-kegiatan besar yang paling utama. Yaitu pertama, kerja liburan dan kedua ret-ret tahunan di Pacet Sindanglaya, atau di tempat yang lain yang sudah ditentukan sebelumnya. Sebelum ret-ret tahunan kesempatan liburan besar itu kami isi dengan kegiatan kerja liburan, yaitu kerja untuk mengisi masa liburan kuliah. Saat itu saya mendapat tempat kerja di sebuah pabrik perakitan mobil di Gaya Motor, di Sunter. Beberapa teman lain yang seangkatan, mendapat kesempatan kerja di Astra, juga di bilangan Sunter. Kerja itu berlangsung kurang lebih selama tiga minggu.


Pada saat itu saya masih ingat dengan sangat baik bahwa kami benar-benar menjadi buruh; kami harus masuk ke kawasan pabrik perakitan itu dengan memakai moda angkutan yang biasa bagi para buruh yang lain yaitu dengan menumpang naik ojek sepeda. Saat itu saya bersama dengan dua orang teman. Kebetulan saat itu saya ditempatkan di bagian pembuatan pintu kanan mobil pick-up bak terbuka.


Hari pertama saya lewatkan dengan penuh perjuangan yang tidak ringan sama sekali. Tangan saya sangat capek dan sangat lemas semuanya. Begitu juga kaki, betis, karena saya harus berdiri hampir seharian. Bayangkan saja, dari pagi hingga petang saya memegang dan mengayunkan palu (saat itu masih serba manual semuanya). Hasilnya, tanganku menjadi kekar sekali. Begitu juga dadaku. Hari kedua dan seterusnya, saya menjadi terbiasa dengan rutinitas kerja itu. Tangan menjadi seperti sudah mati rasa saja (abal), dan ia seperti bekerja secara otomatis dan mekanis saja. Letih dan pegal otot di tangan menjadi tidak lagi begitu terasa. Setelah pengalaman itu, barulah saya sadar dan mengerti mengapa tangan para buruh itu kuat, tegar dan kekar, dan tampak seperti bekerja secara mekanis saja dan tampak tidak letih sama sekali. Rupanya hal itu terjadi karena tangan (lengan) mereka sudah terbiasa dan mereka sudah melakukan pekerjaan itu secara berulang-ulang dan terus menerus, setiap hari.


Pada saat itulah saya berkenalan dengan seorang buruh. Sesungguhnya saya bergaul cukup akrab dengan beberapa orang buruh di tempat itu. Pada saat istirahat untuk makan siang, kammi sering membicarakan gaya tentang hidup mereka, jalan hidup mereka, irama hidup mereka, cita-cita dan pandangan hidup mereka. Tetapi saya lebih mau menyoroti tokoh yang satu ini. Saat itu ia sudah berusia separuh baya. Namanya bapak Nawawi (seorang Betawi Asli dari daerah Kemayoran). Sekarang ini (saat saya menulis dan mempublish teks ini) ia pasti sudah pensiun, atau bahkan mungkin juga sudah meninggal. Saya tidak tahu lagi. Sejak saat itu kami tidak pernah saling berkontak lagi.


Saat itu saya melihat dia sebagai seorang sosok pekerja keras dan sangat tekun melewati rutinitas ayunan tangan itu. Tidak ada keluhan yang terdengar keluar dari mulutnya. Ia tabah sekali. Setelah bekerja beberapa hari lamanya, saya baru menjadi sadar dan mengerti bahwa ketekunan itu diperoleh dari kesabaran menjalani dan mengatasi irama rutinitas. Hal itu pula yang membuat tangan mereka (para buruh) seperti bergerak secara mekanis dan otomatis saja. Kerja sistem ban berkeliling memang bagus untuk efisiensi kerja, tetapi memiskinkan daya kreatif dan ekspresif dari dalam diri anak manusia itu sendiri. Tetapi buruh seperti bapak Nawawi tidak mempunyai banyak pilihan lain juga. Itulah salah satu bentuk keterasingan buruh dari kerjanya sendiri, seperti dikatakan oleh Karl Marx dalam opus magnum-nya Das Kapital. Tentu masih ada banyak Nawawi yang lain, di tempat lain, di pabrik yang lain, yang berjuang untuk bekerja demi mengadu nasib, demi sesuap nasi, agar dapur tetap ngebul, agar anak dan istri tidak kelaparan, tidak kedinginan.


Nglempong Lor, 11 Maret 2013

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...