Wednesday, November 7, 2018

LAGU-LAGU GREGORIAN: SEBUAH CATATAN KRITIS-RINGAN

Oleh: Dr.Fransiskus Borgias M.
Dosen Teologi Biblika pada Fakultas Filsafat UNPAR Bandung.




Dalam rangka menempuh Studi S3 (Ph.D. programme pada ICRS-Yogya) saya tinggal di Yogya dari tahun 2010 sampai tahun 2015. Karena sudah terbiasa aktif dalam kehidupan menggereja dan paroki, maka di Yogya pun saya mencari tempat tinggal yang terletak dalam lingkup gereja paroki yang tidak terlalu jauh dari Kampus. Akhirnya, pilihan saya jatuh kepada Paroki Santo Alfonsus Nandan. Praktis selama masa studi itu, saya tinggal di wilayah paroki tersebut. Bahkan saya melapor dan mendaftarkan diri kepada ketua lingungan Santo Ignatius Loyola Lempongsari, Ngaglik Sleman. Saat tinggal di Yogyakarta itu saya terlibat secara sangat serius dan aktif dalam kehidupan paroki, mulai dari doa lingkungan, pendalaman kitab suci, juga tugas-tugas koor maupun pemazmur di Gereja. Bahkan saya terlibat secara serius dalam sebuah koor Paroki Nandan yang cukup serius pada waktu itu. Namanya, Vocalfonsia. Dalam rangka aktifitas kehidupan menggereja dan melingkungan itulah sering sekali saya datang melayat ke warga lingkungan yang meninggal dunia. Ada satu hal yang sangat menarik perhatian saya setiap kali melayat ke rumah duka orang Katolik. Tentang hal itulah yang ingin saya tulis secara singkat di sini.


Yang saya maksudkan ialah bahwa di Yogyakarta (saya tidak tahu di tempat lain di luar Yogyakarta) ada kebiasaan petugas lingkungan memutarkan lagu-lagu gregorian dalam masa-masa duka, menunggu para pelayat sampai jenazah dimakamkan. Dan lagu-lagu gregoriun itu semuanya dalam bahasa Latin. Bukan yang versi bahasa Indonesia. Muncul macam-macam pikiran dalam benak saya. Pertama, ialah bahwa boleh jadi para petugas lingkungan itu memutarkan lagu-lagu tersebut untuk mengimbangi kebiasaan saudara-saudara muslim yang lewat toanya yang kencang memutar lagu-lagu dan doa-doa islami saat ada yang meninggal. Kalau dari masjid terdengar lantunan doa-doa berbahasa Arab, maka dari hajatan layat orang Katolik terdengar sayup-sayup (karena tidak diputar keras-keras) alunan lagu-lagu gregorian. Jadi, ada pikiran, tidak mau kalah dengan tetangga sebelah. Sebelah punya bahasa Arab, sini punya bahasa Latin. Wow. Tetapi bukan hal itu yang paling penting bagi saya. Yang paling penting ialah hal kedua berikut ini.


Kedua, rupanya petugas liturgi lingkungan kiranya tidak tahu lagu-lagu gregorian berbahasa Latin tersebut dengan baik. Akibatnya, ialah bahwa yang diputar itu, bukan hanya lagu-lagu Misa Requiem Gregorian saja, yang memang diciptakan untuk misa Requiem, misa arwah, misa untuk orang yang meninggal dunia, melainkan orang memutar juga lagu-lagu lain di luar teks-teks misa Requiem itu. Bahkan pernah saya dengar juga lagu-lagu Completorium Latin terdengar diputarkan. Dan juga lagu-lagu misa Latin lainnya yang bernada gregorian. Saat saya dengar ini semua (dan saya alami beberapa kali di kota Yogyakarta) saya lalu berpikir untuk mengusulkan kepada Komisi Liturgi KWI agar membuat rekaman khusus lagu-lagu gregorian misa Requiem untuk diputarkan pada kepentingan dan peristiwa khusus tersebut. Saya berharap bahwa dengan diterbitkannya koleksi khusus lagu-lagu misa requiem maka tidak terjadi lagi penyalah-gunaan teks-teks yang bukan requiem dalam konteks requiem. Hal itu bisa menimbulkan kesan yang salah di tengah2 umat bahwa lagu-lagu gregorian Latin adalah lagu untuk orang Mati. Kira-kira persis sama dengan lagu Be Near My God to Me (saya lupa komponisnya) yang sekarang ini dikaitkan dengan misa arwah karena versi adaptasi dari Madah Bakti dan Puji Syukur yang memakai nada lagu tersebut untuk Misa Requiem, sementara di tempat lain di Indonesia, nada-nada yang sama pernah dipakai untuk pernyataan tobat pada masa tobat di masa Adven.


Pada suatu kali, karena hal itu terjadi tidak jauh dari tempat tinggal saya, dan pengurus lingkungannya saya kenal, maka pada saat saya dengar lagu-lagu Gregorian Latin yang non-requiem diputar dalam acara layat kematian, saya pun bertanya kepada pengurus lingkungan bahwa lagu-lagu Latin gregorian yang diputarkan itu bukan lagu-lagu misa arwah atau misa requiem, melainkan lagu dari masa biasa, bahkan dari doa malam (completorium). Mendengar pertanyaan saya itu, pengurus itu dengan enteng menjawab, ah biar saja pa Frans, toh tidak ada yang tahu. Paling-paling yang tahu dan sadar hanya pa Frans saja. Yang lain tidak. Akhirnya saya diam saja, tidak bisa protes lebih lanjut, walau dalam hati saya sama sekali merasa lucu dan sekaligus tidak nyaman juga. Mungkin melihat saya yang berdiam diri, lalu pengurus lingkungan itu bertanya menyelidik kepada saya: apakah pa Frans bisa membedakan nada-nada gregorian tersebut, mana yang requiem, dan mana yang bukan. Terus terang terkejut juga saya mendengar pertanyaan yang menyelidik tersebut.


Akhirnya saya menjawab bahwa, ya, saya bisa membedakannya bahkan dengan sangat baik. Lalu saya jelaskan dengan memakai dua cara berikut ini. Pertama, saya katakan bahwa saya tahu itu lagu requiem dari bunyi teksnya. Saya memang tidak sangat ahli dalam bahasa Latin, tetapi saya sudah hafal karena mendengar lagu-lagu tersebut sejak dari masa kecil saya baik di sekolah dasar maupun di seminari kecil dan seminari menengah. Di SD ada guru yang mengajarkannya kepada kami. Begitu juga di SMP dan SMA. Kami sangat menghafalnya. Paket lagu gregorian Misa Requiem dari Liber Usualis sudah saya hafal sejak saya SD. Jadi, saya tahu itu lagu misa Requiem. Itu yang pertama. Kedua, saya juga bisa tahu dari nada-nadanya. Wow... dia terkejut dan heran. Lalu saya mengatakan bahwa sejak saya masuk seminari tinggi saya sedikit-sedikit memperhatikan juga lagu-lagu tersebut termasuk trend bunyi yang dipakai dan disusun di sana. Hal yang paling mencolok bagi saya ialah hal berikut ini. Bahwa nada-nada lagu misa requiem, memang adalah sebuah pujian juga tetapi pujian yang mengandung ratapan sedih juga. Sebagai pujian, nada-nada itu coba naik, menaik ke atas, tetapi tidak bertahan cukup lama di atas, melainkan segera turun lagi seakan-akan ke lembah tangisan, lacrimarum valle, sebab pada akhirnya lagu-lagu itu adalah lagu ratap, lagu sedih. Tidak bagus rasanya diungkap dengan nada-nada yang tinggi dengan trend menaik terus menerus. Sebagai contoh saya angkat nada yang ada dalam lagu Kyrie. Lagu itu nadanya dimulai dengan do. Lalu mencoba naik dan menaik tetapi hanya sampai ke fa, lalu turun lagi ke do. Gerak menaiknya ke fa adalah bagian dari pujian, sedangkan gerak menurunnya ke do lagi adalah bagian dari lagu sedih, lagu ratap, turun, ke lembah tangisan, lacrimarum valle. Dalam ulangan yang ketiga, lagu itu coba menempuh gerak menaik lagi bahkan sampai ke la, tetapi lagi-lagi segera turun seakan-akan terjerembab ke lembah do. Memang dalam Kyrie lain yang biasa, juga ada gerak ke lembah do, tetapi bukan ke lembah do tangisan, melainkan ke lembah kehidupan yang serba biasa lagi.


Saat saya memberi penjelasan seperti ini, saya teringat akan sebuah penjelasan yang pernah saya dengar di tempat lain mengenai lagu Joy to the world. Dikatakan bahwa syair lagu itu diciptakan oleh seorang penyair. Sedangkan nadanya diciptakan oleh seorang komponis, seorang musikus. Saat si musikus itu membaca syair lagu tersebut, maka ia juga mencoba memilih nada-nada dan berusaha berteologi juga dengan pilihan dan susunan nada tersebut. Sebuah analisis seorang ahli lalu mengatakan bahwa nada yang dipilih sang komponis itu memang menampakkan kandungan teologis yang ada dalam syair tersebut. Joy to the world, dimulai dengan nada do tinggi, jadi dari atas. Karena memang para malaekat natal itu datang dari tempat tinggi mewartakan sukacita, tetapi turun ke bumi. Do si la sol fa mi re do.... kata world sudah kena pada nada sol. Dan kata come (dari the Lord is come), kena pada nada do rendah. Itu dimaksudkan untuk menggambarkan gerak turun inkarnasi, kenosis. Tetapi dari bawah lalu lagu itu naik lagi ke atas, dengan dimuali dengan nada sol.... sol la, la si, si do.... wow sebuah analisis yang luar biasa menarik.


Jadi, walaupun nada itu netral-netral saja, tetapi musikus dan komponis yang ahli dan penuh perhatian dan menaruh peduli ternyata bisa juga berteologi dengan nada-nada yang dipilih dan disusunnya dengan cara-cara tertentu. Nah, dengan cara seperti itulah saya bisa membaca dan merasakan bahwa ini nada-nada dan kata-kata lagu gregorian untuk misa arwah.


No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...