Tuesday, November 6, 2018

BIAS GENDER DAN IBU GEREJA

Oleh: Dr.Fransiskus Borgias M.



Sekitar bulan April tahun 1997 saya pernah mengikuti kegiatan kursus penyadaran gender yang diadakan (kalau tidak salah) oleh Komisi Keadilan dan Perdamaian KWI. Yang diundang untuk hadir sebagai peserta waktu itu adalah para dosen, para pastor, biarawan-biarawati, praktisi pelayanan pastoral. Kursus itu diadakan di rumah ret-ret Santa Maria Guadalupe di Jakarta. Kami menjalani proses retret penyadaran itu selama hampir satu minggu. Sejauh yang saya ingat, yang menjadi pembicara atau narasumber pada waktu itu sebagian besar adalah perempuan (bahkan mungkin semuanya perempuan).


Ada banyak hal yang menarik dalam untaian kursus penyadaran itu. Salah satunya ialah pembeberan fakta oleh seorang narasumber tentang bias-gender yang terjadi dalam pengembangan teknologi alat birth-control (pengendalian kelahiran). Bagaimana persisnya bias-gender itu terjadi? Narasumber itu (lupa namanya) mengatakan bahwa hingga saat ini nama-nama yang paling dominan dalam menelorkan teori-teori ilmu pengetahuan ialah kaum pria. Tidak hanya itu saja. Teknologi, sebagai upaya penerapan praktis dari teori-teori ilmu tersebut, juga banyak dimonopoli kaum pria.


Fakta inilah yang rawan terjangkit oleh fenomena bias-gender tadi. Mengapa dan bagaimana? Saya ingat si narasumber saat itu memberi contoh alat birth-control. Oleh karena teknologi itu dikembangkan kaum pria, maka alat tersebut lebih banyak diciptakan untuk mengontrol alat reproduksi perempuan, sedangkan alat untuk mengontrol reproduksi pria hanya sedikit. Padahal menurut si pembicara, seharusnya kaum pria-lah yang harus dikontrol. Mengapa? Karena kasarnya, kaum pria itu subur sepanjang waktu. Kalau dia “semprot” di mana saja pada perempuan yang subur maka kemungkinan besar akan hamil. Sedangkan wanita yang masa suburnya hanya terjadi sekali sebulan saja, justru merekalah yang lebih banyak dikontrol. Nah, bagi si pembicara itu, fakta seperti itulah yang dia sebut bias-gender. Bias itu terjadi karena memang lebih banyak kaum pria yang menjadi ilmuwan dan menerapkan ilmu itu secara praktis ke dalam teknologi. Sangat sedikit wanita yang terlibat dalam pengembangan ilmu dan upaya penerapan praktis ilmu itu pada teknologi. Masih menurut si pembicara tadi, itulah sebabnya terjadi bias-gender.


Kaum pria yang mengembangkan ilmu dan teknologi, lebih suka dan mungkin juga lebih mudah mengembangkan alat kontrol KB untuk dipakaikan pada perempuan. Saya masih ingat bahwa si pembicara pada waktu itu memberi sedikit data tentang jumlah alat kb untuk pria dan untuk kaum perempuan. Ternyata untuk perempuan lebih banyak (iud, susuk kb, pil kb, spiral kb eh tapi saya lupa apakah ini sama dengan iud) daripada untuk pria (kondom). Pokoknya secara dramatis si pembicara itu mengatakan bahwa untuk pria hanya satu dan untuk wanita ada empat. Padahal kesuburan pria itu sepanjang waktu sedangkan masa kesuburan perempuan hanya terjadi satu kali satu bulan saja. Tetapi justru kaum perempuan-lah yang lebih banyak dikontrol. Nah, menurut si pembicara, hal itu terjadi karena dampak dari bias-gender tadi. Tentu saja ada juga vasektomi dan tubektome untuk kaum pria.


Saya juga ingat bahwa ada seorang pembicara (juga perempuan) yang menyelingi ceramahnya dengan sebuah guyon yang menarik yaitu berupa sebuah dialog tanya jawab antara pria dan wanita: siapa yang paling kuat, apakah wanita ataukah pria? Secara otomatis dan stereotipikal, kebanyakan orang akan secara spontan menjawab bahwa yang paling kuat ialah pria atau bapa-bapa. Berbeda dengan hal itu, si pembicara tadi mengatakan bahwa yang paling kuat ialah kaum perempuan atau ibu-ibu. Mau bukti? Coba lihat jam kerja antara bapa dan ibu. Bapa mulai bekerja dari matahari terbit hingga matahari terbenam. Hebat. Tetapi coba lihat ibu: ibu-ibu itu bekerja mulai dari matahari terbit, hingga mata bapa terbenam. Hehehehe....


Tentu saja joke ini sangat karikatural dan menyederhanakan persoalan dalam hidup rumah tangga. Tetapi sedikit-sedikit kiranya juga mengandung kebenaran. Suka ataupun tidak suka. Diakui ataupun tidak diakui.


Setelah waktu seminggu berlalu, akhirnya rangkaian acara kursus penyadaran gender pun selesai. Dan sebagaimana biasa selalu ada acara evaluasi baik lisan (langsung) maupun secara tertulis. Dalam evaluasi lisan saya sempat memberi sebuah kesan dan pandangan pribadi. Dalam kesan itu saya mengatakan bahwa kalau saya dicekoki dengan ceramah model penyadaran jender seperti ini selama satu bulan, pulang-pulang saya bisa impotent. Semua peserta pada tertawa. Tetapi seorang teman mengatakan bahwa kesan itu tentu saja menandakan bahwa selruh rangkaian pelatihan itu kiranya cukup berhasil menggoyang kemapanan pandangan gender saya yang selama ini mungkin banyak biasnya. Kesan itu menandakan keterkejutan. Dan keterkejutan itu menandakan bahwa selama ini memang kita atau saya menganut pandangan-pandangan ataupun anggapan-anggapan yang bias gender.


Tentu secara pribadi saya berharap bahwa semoga acara ini mendatangkan pertobatan personal. Dan saya merasa bahwa pertobatan itu kiranya mulai tampak dalam diri saya dua tahun kemudian. Saya mulai mengajar di Fakultas Filsafat Unpar sejak awal tahun 1993. Salah satu mata kuliah yang saya asuh ialah patrologi yang mempelajari tentang para Bapa Gereja. Praktis sejak 1993 sampai 1997 saya tidak pernah mempersoalkan judul mata kuliah tersebut. Tetapi setelah kursus penyadaran gender tersebut, saya mulai melihat sesuatu yang aneh: kok gereja hanya berbicara tentang para Bapa. Di manakah para ibu? Mengapa tidak ada para ibu? Mengapa tidak ada ilmu tentang para ibu? Apakah dalam sejarah Gereja tidak ada para ibu yang berperan? Setelah pertanyaan itu muncul saya pun mulai gelisah.


Akhirnya pada tahun 1999 saya mengajukan topik proposal penelitian dengan judul “Mencari Ibu Gereja di antara Para Bapa Gereja.” Ilmu tentang para bapa Gereja secara tradisional disebut Patrologi. Ada sebuah godaan yang sangat besar dalam hati saya untuk menyebut upaya pencarian saya itu dengan Matrologi yaitu ilmu tentang para Ibu Gereja. Tetapi terus terang saja, pada tahun 1999 itu saya belum berani mengangkat dan mempublikasikan istilah itu. tetapi setelah saya pulang dari Nijmegen untuk menyelesaikan studi S2 teologi saya di sana saya berani mengangkatnya. Apalagi selama di Nijmegen studi teologi femnisme juga sangat kuat dan kencang diberikan kepada kami terutama oleh dua profesor saya, Prof.Lieve Troch dan Prof.Hedwig Meyers. Jujur saja bahwa kedua profesor teologi feminis di Nijmegen ini telah memberi banyak masukan dan bekal keberanian dalam diri saya untuk mengangkat disiplin Matrologi. Sayangnya setelah saya pulang studi S2 dari Nijmegen saya tidak lagi diberi kesempatan oleh fakultas untuk mengajarkan mata kuliah Patrologi tersebut. Tetapi saya tetap menekuni bidang itu sampai sekarang. Sejak dua tahun lalu, setelah saya selesai S3 teologi kontekstual di ICRS, saya dipercayai lagi untuk mengajarkan matakuliah patrologi tersebut.

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...