Oleh: Dr.Fransiskus Borgias M.
Hari ini, entah mengapa, saya tiba-tiba teringat akan rangkaian kursus persiapan perkawinanku yang kujalani beberapa waktu lamanya, sebelum pemberkatan perkawinan. Pada waktu itu, kursus persiapan itu dilakukan di Sekolah para Suster Gembala Baik di Jatinegara, Jakarta Timur. Kepada kami ditampilkan beberapa nara sumber (pembicara) untuk masing-masing bidang terkait dengan kursus persiapan tersebut. Saya tidak ingat lagi semua pembicara itu. Tetapi saya masih ingat akan salah satu pembicara. Sayangnya juga saya sudah lupa namanya. Itu bukan hal terpenting. Hal terpenting bagi saya ialah apa yang ia sampaikan. Saya masih ingat hingga hari ini. Bapa itu berasal dari salah satu komisi KWI. Sesungguhnya ia tidak mempersiapkan bahan khusus, misalnya dengan memberikan paper atau makalah. Ia tidak membawa hal seperti itu. Ia tampil sederhana, apa adanya, dengan bercerita saja. Cara berceritanya juga sederhana tetapi bagi saya hidup sehingga saya tetap mengingatnya. Beginilah ceritanya:
“Dulu, waktu saya diberkati di gereja kami melewatkan malam pengantin kami di rumah. Kami tidak ke mana-mana karena terikat waktu kerja dan saat itu belum banyak orang yang menikmati honey-moon dengan pergi ke tempat khusus. Setelah melewati malam pertama, kami berdua bangun. Dalam pembicaraan pagi hari, isteri saya memulai pembicaraan sbb: “Mas.” Aku jawab: “Opo dik?” Isteriku: “Mas.... nganu mas”. Saya: “Iya dek, nganu apa toh dik?” Isteri: “Nganu mas....” Hari pertama itu, suami tidak berhasil membujuk isterinya untuk mengungkapkan apa yang ia katakan dengan kata “nganu” itu. Pada hari kedua, masih juga seperti hari kedua. Sang isteri mengulang lagi seperti kemarin: “Mas...” Suami: “Iya dek, ada apa?” Isteri: “Nganu mas.... “ Suami: “Iya dek, nganu apa?” Hari kedua pun berlalu dan si suami tidak berhasil mendapat jawaban. “Nganu” itu tetapi menjadi misteri sampai pada hari kedua. Pada hari ketiga, mereka bangun tidur. Pagi-pagi sekali. Seperti dua hari sebelumnya, si isteri juga membuka pembicaraan: “Mas nganu mas.” “Nganu apa dek? Kalau kamu hanya bilang nganu-nganu saja, saya tidak nangkap?” Kata isterinya: “Nganu mas, mulutmu itu lho.” “Mulutku kenapa dek?” Tanya suaminya. Dengan sedikit takut dan malu-malu si isteri menjawab: “Mulutmu itu mas, bau rokok.”
Setelah mendapat jawaban itu, saya ingat reaksi spontan sang pembicara yang membuat kami para peserta kursus tertawa lebar. Si pembicara saat itu berkata: “Ya ampun, kasihan banget isteriku, sudah tiga malam ngemut asbak.” Ungkapan “ngemut asbak” inilah yang membuat kami terbahak-bahak. Si pembicara kemudian bersaksi kepada kami, bahwa sejak saat itu ia berusaha keras berhenti rokok. Tujuanya hanya satu: agar isterinya tidak “ngemut asbak” lagi. Maka sejak itu, si pembicara tadi, berusaha dan berjuang keras untuk berhenti merokok. Si pembicara mengaku bahwa itu bukanlah perjuangan yang mudah. Ada banyak godaan dan rintangan. Ada banyak tantangan. Ada banyak kesulitan yang tidak mudah diatasi. Ia sungguh sadar akan hal itu, tetapi ia tahu bahwa ia harus berjuang keras dan lebih kuat lagi agar bisa mengalahkan dirinya sendiri agar bisa mengendalikan diri, dan tidak dikendalikan rokok. Ia berniat keras agar jangan sampai rokok itu menjadi penentu hidupnya. Betapa rendahnya hidupnya kalau hanya dibaktikan pada merokok saja.
Setelah berjuang lama akhirnya si nara sumber tadi berhasil mengatasi pelbagai tantangan dan kesulitan. Ia sadar bahwa ia harus berjuang melawan dirinya sendiri. Dan perjuangan itu bukan sesuatu yang mudah. Lebih mudah rasanya kalau kita melawan orang lain di luar sana. Melawan diri sendiri itulah yang paling berat di dalam perjuangan itu. Bapa itu memberi kesaksian bahwa perjuangan itu berlangsung selama lebih dari 10 tahun. Tentu saja setelah dilewati jangka waktu yang cukup panjang itu, perjuangan itu pun akhirnya menjadi sebuah kebiasaan baru, yaitu kebiasaan tanpa rokok, kebiasaan tanpa merokok.
Kemudian anak mereka (laki-laki) yang pertama terlahir setelah mereka menikah beberapa waktu lamanya. Mereka berjuang bersama untuk membesarkan dan mendidik anak tersebut. Setelah lewat 10 sampai 12 tahun, si nara sumber tadi mengaku bahwa dia baru sadar akan arti penting dari perjuangan dan pengorbanan dia selama 10 tahun belakangan ini, setelah mendengar nasihat sang isteri kepada anak sulungnya. Salah satu hal yang diajarkan sang ibu kepada anak itu ialah soal tidak merokok. Si ayah mendengar sendiri nasibat sang ibu kepada anak sulungnya yang memasuki usia remaja yang penuh keberanian melawan dan mencoba-coba hal baru: “Nak, kamu jangan merokok yah. Lihat bapamu.” Hanya itu yang disampaikan sang ibu kepada anaknya itu. Sang ibu itu meminta anak sulung laki-lakinya untuk tidak merokok, seperti yang diteladankan ayahnya.
Kata nara sumber itu selanjutnya: “Saat saya mendengar nasihat isteri saya kepada anak kami, baru saat itulah saya mengerti dan memahami makna perjuangan dan pengorbanan saya selama lebih dari sepuluh tahun. Sebuah kurun waktu yang tidak singkat. Perjuangan dan pengorbanan itu akhirnya pantas dijadikan model untuk pendidikan dan pembentukan mental dan moral anak. Ia membayangkan, apa yang terjadi, kalau 10 tahun yang lalu, ia tidak berhenti merokok? Apa yang bakal terjadi? Tentu si ibu akan kesulitan menemukan role-model bagi anaknya yang ia inginkan agar tidak merokok. Butuh waktu sepuluh tahun lamanya, untuk bisa memahami makna perjuangan dan pengorbanan itu.
Tentu role-model itu tidak hanya dalam soal merokok saja. Bisa ditarik juga role-model di beberapa aspek hidup yang lain. Kalau si ayah sudah tampil dengan tenang dan tidak mengucapkan kata-kata kasar dalam hidupnya, mungkin si ibu akan mengatakan: “Nak, kamu jangan mengucapkan kata-kata kasar ataupun makian dalam hidupmu. Lihatlah contoh ayahmu.” Sebab semua yang kita perbuat, semua yang kita katakan akan terpantul kembali, akan kembali terulang dalam perilaku anak-anak, yang memang dalam proses belajarnya telah menimba segala sesuatu dari role-model yang ia lihat dan temukan dalam diri orang-orang yang paling dekat dengan dia, kedua orang tuanya. Kalau ia melihat dan mendengarkan apa yang baik, maka pasti ia akan memantulkan kembali apa baik. Tentu saja tidak semudah itu juga. Sebab selain konteks pergaulan dalam rumah, anak-anak juga dipengaruhi oleh situasi di luara rumah. Tetapi dalam soal daya pengaruh, kiranya pergaulan di dalam rumah mempunyai peranan yang besar dan kuat di dalam membentuk watak, karakter, mentalitas dan perilaku si anak. Memang keluarga adalah sekolah paling dini bagi anak-anak.
canticum solis adalah blogspot saya untuk pendalaman dan diskusi soal-soal filosofis, teologis, spiritualitas dan yang terkait. Kalau berkenan mohon menulis kesan atau komentar anda di bagian akhir dari artikel yang anda baca. Terima kasih... canticum solis is my blog in which I write the topics on philosophy, theology, spiritual life. If you don't mind, please give your comment or opinion at the end of any article you read. thanks a lot.....
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
PEDENG JEREK WAE SUSU
Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari Puncak perayaan penti adala...
-
Oleh: Fransiskus Borgias M., (EFBE@fransisbm) Mazmur ini termasuk cukup panjang, yaitu terdiri atas 22 ayat, mengikuti 22 abjad Ib...
-
Oleh: Fransiskus Borgias M. Judul Mazmur ini dalam Alkitab ialah Doa mohon Israel dipulihkan. Judul itu mengandaikan bahwa keadaan Israe...
-
Oleh: Fransiskus Borgias M. Sebagai manusia yang beriman (percaya), kiranya kita semua sungguh-sungguh yakin dan percaya bahwa Tuhan itu...
No comments:
Post a Comment