Monday, August 22, 2011

KOMUNITAS L'ARCHER

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Sebenarnya sudah cukup lama saya mendengar nama Komunitas L’Archer di Prancis ini. Tetapi saya belum banyak mengenalnya secara khusus dan mendalam. Paling-paling saya hanya mengetahui beberapa informasi mendasar seperti: bahwa komunitas ini didirikan oleh seorang Pastor dari Kanada yang bernama Jean Vanier; dan bahwa komunitas itu didirikan di sebuah dusun di Prancis. Satu lagi: bahwa komunitas ini mengumpulkan orang-orang cacat dengan pelbagai tingkatan. Jadi, komunitas ini memberi perhatian khusus pada orang cacat, termasuk juga cacat mental di dalamnya. Ini adalah sebuah gerakan sosial kemanusiaan yang luar biasa luhur, sangat mulia. Pasti hal itu dilakukan dan dapat terjadi hanya atas dasar cinta dan pengorbanan saja, atas dasar keberanian, kenekadan, dan bahkan juga sedikit kegilaan.

Saya mengenal pertama kalinya tentang komunitas ini secara tidak langsung dari sebuah buku yang ditulis oleh seorang pengarang terkenal dan sangat produktif Henry Nouwen: Mampukah Kamu Minum Cawan ini? Buku ini terbit di Kanisius di akhir tahun 1990an. Konon Nouwen, ketika ia sedang mengalami krisis hidup iman dan hidup imamat, pergi hidup di tengah dan bersama dengan para anggota komunitas itu, yang saat itu sudah ada dan hadir juga di Amerika Serikat. Dalam buku itu ia bahkan menyebut beberapa nama orang-orang cacat itu yang ia sebut sebagai para sahabatnya. Pengalamannya di sana ia tuangkan dalam bentuk refleksi buku kecil ini. Buku ini bagi saya amat mengharukan. “Hidup komunitas” itu yang menyelamatkan iman dan imamatnya.

Pengenalan kedua saya dapatkan lewat kata pengantar yang ditulis oleh Suster Martha Driscoll OCSO untuk sebuah buku terjemahan dari karya Jean Vanier yang berjudul “Tenggelam dalam misteri Yesus; menyelami Injil Yohanes.” Saya sudah menulis sebuah resensi singkat mengenai buku ini untuk jurnal Forum Biblika (LAI Bogor). Riwayat hidup singkat Jean Vanier saya dapatkan sebagian dari buku itu. Begitu juga kisah mengenai sepak terjang hidup, karya, dan pelayanannya. Terima kasih atas terjemahan yang dilakukan oleh Mgr.Ignatius Suharyo atas karya itu.

Saya juga mengenal Jean Vanier, dan ini adalah pengenalan yang ketiga, lewat buku seorang Pengarang Inggris (Irlandia) Frances Young: Brokenness and Blessing, Toward a Biblical Spirituality. Bab 1 dalam buku itu praktis berbicara tentang Jean Vanier. Young memberi sebuah kesaksian bahwa awalnya gerakan komunitas ini adalah komunitas Katolik di Prancis. Tetapi kini komunitas itu menjadi sebuah komunitas internasional, sebuah gerakan internasional, karena sudah ada dan hadir di mana-mana, dan bahkan juga sudah menjadi sebuah interfaith community. Itu tidak lain karena anggotanya yang tinggal dan hidup bersama-sama berasal dari pelbagai latar belakang agama, demikian juga para pengurusnya: berasal dari pelbagai agama.

Jelas, bagi saya ini adalah sebuah inspirasi keagamaan dan kemanusiaan yang sangat luar biasa dari seorang tokoh yang bernama Jean Vanier. Dan gerakan itu terbukti sudah mampu mendatangkan daya transformasi yang luar biasa kuat dan mendalam bagi kemanusiaan di mana-mana. Vanier sendiri mengakui bahwa hal itu hanya mungkin terjadi karena dan lewat pengenalannya yang personal dan mendalam, serta serba mistikal akan Yesus Kristus dalam dan melalui Injil Yohanes. Sepak terjang Jean Vanier ini mengingatkan saya akan tokoh-tokoh lain seperti Bunda Theresa dari Calcuta, Romo Mangunwijaya dari Kali Code Yogyakarta, Mgr.Helder Camara, Padre Charles de Foucault dan pengikutnya Carlo Carreto (dari kongregasi para Petit Freire), para pendiri kongregasi religius sosial-kemanusiaan di Eropa sejak abad 17-19. Juga akhirnya mengingatkan saya akan santo Fransiskus dari Asisi.

Kisah kecil, singkat, dan sederhana ini serta merta mengingatkan saya akan riwayat singkat seorang imam Fransiskan dari Amerika, seorang seniman, sastrawan, penyair, bernama Murray Bodo OFM. Konon ia pernah mengalami krisis rohani, krisis hidup imamat. Tetapi krisis hidup itu ia lewatkan dan berhasil ia atasi dengan sebuah perjalanan rohani ke Asisi, yang kemudian menghasilkan dua buah buku kecil dan mungil; yang satu tentang Fransiskus (judulnya: St.Francis: The Journey and the Dream), dan yang lain tentang Clara (judulnya: Clare: A Light in the Garden; buku kedua ini saya terjemahkan dan sudah terbit di Nusa Indah Ende 1996). Murray Bodo mengakui bahwa proses penulisan kedua buah buku itu adalah sebuah proses katarsis, proses pemurnian, proses peleraian akibat ketegangan krisis hidup panggilan. Dan ia selamat karena hal itu.

Saya juga teringat akan sebuah dialog singkat dengan Pater Konstan Bahang OFM ketika saya hadir di Abepura beberapa tahun silam untuk sebuah perkuliahan semester pendek. Di sana kami melakukan dialog singkat dan ringan beberapa kali pada beberapa kesempatan. Di salah satu kesempatan itu ia sempat melontarkan pernyataan yang bagi saya mengejutkan: Bahwa kalau ada orang yang mengalami krisis panggilan, krisis hidup imamat, datang saja ke Papua, dan orang itu akan selamat. Mengapa? Sebab di Papua orang itu akan sibuk dengan karya pelayanan, sibuk melayani orang-orang secara nyata dan berat dan tidak lagi sibuk memikirkan persoalan dirinya sendiri dan krisis panggilan, krisis rohani, krisis imamat. Mungkin hal itu benar. Atau malah itu pasti. Sebab ternyata Nouwen selamat, Murray Bodo selamat. Dan banyak orang juga selamat setelah dimatangkan oleh pengalaman pelayanan Papua.

Bandung, 06 Juni 2010
Diketik kembali seraya diperluas Yogya, 20 Agustus 2011.

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...