Monday, September 5, 2011

JERITAN SI KUNCUP

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Hari ini (18 Februari 2011) saya tiba-tiba teringat akan sebuah buku yang berjudul sangat menarik: Surat Dari dan Kepada Si Kuncup. Saya sudah lama membaca buku tersebut, yaitu sekitar tahun 1986-an. Tetapi sejak 2003 sampai 2009, ketika saya ditugaskan untuk mengajar Mata Kuliah Moral Sex dan Perkawinan pada Program MIT-UNPAR (Magister Ilmu Teologi) saya sering membacakan beberapa bagian dari buku ini kepada para mahasiswa saya, para calon imam (Keuskupan Bandung, Keuskupan Bogor, OSC). Buku ini ditulis oleh seorang pastor SDB di Filipina; namanya ialah Joseph Giaime SDB. Tahun 80-an buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh P.Theo Tidja Balela SVD dengan bahasa yang menarik dan diterbitkan oleh Biro Nasional Karya Kepausan Indonesia (edisi terbaru yang saya miliki berasal dari tahun 1992). Problematik yang diangkat dalam buku ini sangat menarik, walau tidak sempat meledak di Indonesia. Di Filipina buku ini adalah sebuah kampanye anti aborsi, sebuah gerakan anti-aborsi. Jadi, buku ini ada dalam kubu pro-life (bukan pro-choice). Surat-surat yang ada dalam buku ini berawal dari sebuah program radio untuk kampanye anti aborsi tadi.

Ada beberapa tokoh yang ditampilkan dalam buku ini. Pertama, ada seorang gadis muda, cantik, energik, penuh semangat; ia berasal dari keluarga berada (menengah ke atas). Akibat pergaulan bebas, ia hamil di luar perkawinan. Dengan demikian dalam rahimnya muncul benih dan denyut awal kehidupan. Sang denyut awal kehidupan itulah yang menjadi tokoh kedua. Sang denyut awal kehidupan dalam rahim gadis itulah yang dalam karya ini disebut si Kuncup karena alasan yang akan menjadi jelas di ujung catatan sederhana ini. Tokoh ketiga, ialah orang tua (bakal kakek nenek si Kuncup) dari si gadis yang hamil tersebut. Tokoh keempat, ialah kakek-nenek dari si gadis yang hamil tersebut. Tokoh kelima ialah pastor paroki tempat perempuan tadi berdomisili dan menjadi warga. Tokoh keenam ialah Tuhan Yesus. Tokoh ketujuh ialah para dokter (tim medis) yang akan melaksanakan tindak aborsi. Surat-surat dalam buku ini dikirim dari dan ke tokoh-tokoh di atas tadi. Ada yang berbalas dan ada yang tidak berbalas, sebab tidak tahu harus dikirim ke mana.

Seingat saya, surat pertama berasal dari si Kuncup kepada sang bakal ibunya. Isinya singkat dan sederhana: memberitahukan kabar gembira tentang kehadirannya dalam rahim sang ibu untuk pertama kalinya ketika gadis itu mengalami terlambat datang bulan. Ya, itu memang kabar gembira, seperti kabar gembira dari Malaekat Tuhan, Gabriel, kepada Bunda Maria di Nazaret, yang setiap tahun kita rayakan tanggal 25 Maret. Dalam surat itu si Kuncup mengungkapkan rasa bahagianya; ia merasa sangat senang karena ia mulai hadir dan ada. Tetapi ternyata kehadiran itu membuat si calon ibu menjadi murung, sedih, stress, dan berduka. Itu sebabnya dalam suratnya itu si Kuncup bertanya tentang kemurungan itu; ia bahkan juga sempat meminta maaf bahwa kehadirannya membuat sang ibu yang tadinya cantik dan periang kini menjadi murung dan stress, pendiam. Yang menarik ialah si Kuncup tetap mencoba mendorong dan membesarkan hati ibunya untuk mencoba kuat dan bangkit. Ia bahkan sudah menjanjikan bantuannya dari dalam kegelapan rahim.

Surat-surat selanjutnya berupa monolog imajiner dan adu argumentasi moral hidup melawan orang tua si gadis, nenek dan kakeknya, dan para dokter yang bakal melakukan aborsi. Tetapi semua argumen moral dari si Kuncup sama sekali tidak berhasil mencegah tindakan aborsi yang segera akan diambil, sesuatu yang diputuskan oleh orang tua dan kakek-nenek si gadis. Semuanya didukung dan dimungkinkan oleh kemajuan tekonologi aborsi yang kini menjadi sangat mudah. Itu sebabnya tindak aborsi tidak terhindarkan. Ia akhirnya mati karena dicincang dalam mesin teknologi aborsi berupa racun-racun kimiawi dan alat sedot (vacum cleaner khusus yang dimasukkan ke dalam rahim untuk menyedot sang denyut awal kehidupan itu).

Harus saya akui bahwa semua surat dalam buku itu sangat indah dan menyentuh perasaan. Semuanya benar-benar menggugah dan menggugat kesadaran moral kita akan moral hidup manusia, terutama moral hidup Katolik yang sudah bersumpah untuk menghormati hidup sejak dari saat pembuahan (conceptio).

Dari semua untaian surat-surat indah itu, bagi saya ada satu surat yang paling menyedihkan. Surat itu muncul ketika si Kuncup mencoba melukiskan situasi terancam justru di dalam rahim ibunya sendiri, yang seharusnya memberinya hidup, kehangatan, dan cinta. Tetapi hal-hal itu tidak ia dapatkan. Rahim ibunya menjadi the killing fields baginya. Paradoks sekali. Ketika membaca bagian ini saya terseret dalam kesedihan yang mendalam. Kemudian ia mati, tersedot mesin sedot. Itu sebabnya ia dinamai Kuncup, karena ia tidak sempat memekar, hidup, menikmati matahari. Tetapi sebelum ia mati tersedot, ia menulis surat kepada pastor paroki: dalam surat itu ia memperkenalkan diri sebagai orang yang tidak bakal dikenal oleh pastor karena tidak sempat dibaptis dan dicatat di buku baptis paroki. Tetapi dengan lantang ia mengatakan saya ada di sini, walau tidak terdengar, tidak terlihat. Surat ini pun menyentuh perasaan. Ada juga surat yang ia tulis kepada Tuhan Yesus di surga. Surat ini pun menyentuh perasaan. Tidak dapat dilukiskan secara rinci di sini.

Yang jelas, surat-surat ini mengandung tantangan dan gugatan moral yang sangat kuat dan mendasar bagi semua pihak (siapa saja) yang berencana melakukan aborsi, ataupun sudah pernah melakukan tindak aborsi dalam hidup mereka, atau sekadar menganjurkan tindak aborsi (abortus provocatus). Tantangan itu tampak paling kentara dalam salah satu ucapan si Kuncup yang mengatakan demikian: Ibu, saya akan mati sekarang, tetapi saya akan terus hidup dalam suara hati ibu. Saya tidak akan pernah mati. Jika suatu saat kelak ibu menikah secara resmi dan mendapat anak dari suami yang sah, semua orang akan mengatakan itulah anak sulungmu. Tetapi ibu, justru pada saat itulah ibu akan sedih, karena ibu tahu bahwa yang lahir itu bukan anak sulungmu. Anak sulungmu adalah aku, yang telah engkau bunuh sendiri. Gugatan moral ini juga ia tujukan kepada bakal kakek-neneknya yang telah mendukung putusan aborsi.

Karena buku ini sangat penting dan menarik, dan sudah tidak beredar lagi di pasaran, maka saya berencana untuk mengusulkan kepada penerbitnya untuk diterbitkan ulang dan dipromosikan dengan lebih baik agar mendapat sambutan pembaca yang sewajarnya. Sebab ini sebuah kampanye moral hidup Katolik yang sangat baik, kuat, dan mendasar. Tetapi untuk sementara waktu beberapa surat itu yang saya anggap penting dan menarik, akan saya ketik kembali dan saya terbitkan untuk pembaca Face Book. Semoga upaya ini ada gunanya demi pendidikan moral dan suara hati kita.

Yogya, 18 Februari 2011 (Diketik kembali dan diperluas, 05 September 2011)

3 comments:

Tie Balella said...

Buku ini sudah dicetak kembali pada tahun 2010 tetapi mungkin jumlahnya terbatas.. ada lagi sebuah buku, yang isinya tidak berbeda jauh dengan SI KUNCUP, judulnya "Mama, mengapa tega membunuh kami"...

canticumsolis said...

oke, trima kasih banyak atas komentar dan informasi ini...

canticumsolis said...

smoga sy masih bsa kebagian edisi baru ini....

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...