Wednesday, January 31, 2018

BERUSAHA BETAH DAN CINTA PAROKI SENDIRI

Oleh: Fransiskus Borgias M.



Tulisan ini mau memberi motivasi kepada warga paroki untuk berusaha betah tinggal dan menghayati hidup menggereja dan hidup parokial di paroki sendiri. Niat ini muncul karena terdorong oleh keprihatinan saya akan adanya fenomena orang tidak mau betah di paroki sendiri. Inilah beberapa gejalanya. Pertama, ada yang merasa lebih betah di paroki lain, entah itu di paroki tempat asal orang tuanya (paroki lama tempat mereka dibaptis), atau tempat mereka dididik sebagai orang Katolik, tempat mereka mula-mula aktif dalam hidup paroki dan menggereja. Biasanya di tempat seperti itu, ada banyak teman, dan mungkin ada banyak rekan dan relasi bisnis. Itu semua menjadi faktor yang menyebabkan orang terdorong untuk betah di paroki lain.

Kedua, ada juga yang betah di paroki lain, karena senang dengan pastor di sana. Merebaklah fenomena yang saya sebut “favoritisme pastor”, menyukai pastor tertentu dan tidak menyukai pastor yang lain. Fenomena ini akan menjadi-jadi, kalau umat antipati terhadap pastor paroki sendiri. Orang tidak lagi berusaha menerima pastor paroki apa adanya melainkan orang lari ke paroki lain. Ini adalah kebiasaan yang tidak baik dalam penghayatan hidup iman Katolik. Menghargai dan mencintai paroki sendiri harus tampak dalam sikap dan upaya menerima dan mencintai pastor paroki. Kalau kita tidak menerima dan mencintai pastor yang ditugaskan uskup, bisa saja itu merupakan sebentuk pelecehan terselubung terhadap martabat sakramen imamat. Ini dosa sakrilegi. Kita tidak dapat dan tidak boleh pilih-pilih imam. Ketaatan kepada imam itu sangat penting. Apa yang ditentukan uskup bagi kita, itulah yang kita terima dan kita cintai sebagai pastor paroki. Kalau kita tidak menyukai pastor paroki, jangan-jangan itu adalah sebentuk pembangkangan terselubung kepada uskup yang menugaskan pastor paroki tadi. Ngeri bukan?

Ketiga, ada juga yang lebih betah di paroki lain karena gereja dan fasilitasnya lebih baik. Misalnya, di gereja paroki itu disediakan AC. Atau di paroki itu ada banyak tempat jajan. Padahal kita ke gereja bukan untuk jajan melainkan untuk bersatu dengan Tuhan. Menurut praktek kebiasaan lama dalam tradisi hidup Katolik, orang harus menahan diri (berpuasa) dari makan-minum setidaknya satu jam sebelum dan sesudah menerima komuni kudus. Keempat, ada juga yang merasa bisa lebih betah di paroki lain karena mereka merasa di sana suasananya tidak kampungan. Sedangkan di paroki sendiri, tampak seperti kampung dan dinilai kampungan. Ini juga penilaian yang tidak pada tempatnya.

Kelima, orang bisa juga merasa lebih betah di paroki lain karena tuntutan di sana tidak macam-macam terhadap proses pendidikan agama, persiapan komuni, persiapan penerimaan sakramen penguatan untuk anak-anak. Sedangkan di paroki sendiri, mungkin pastornya dinilai terlalu keras, kaku, mungkin juga ada yang menilai kasar, arogan. Keenam, terkait dengan ini, ada juga kebiasaan orang tua yang membawa anaknya aktif di paroki lain. Praktek seperti ini sama sekali tidak mendidik anak-anak sebagai warga gereja paroki masa depan. Kalau orang tuanya sering mengajak anak mereka ikut perayaan ekaristi di paroki lain, dan bahkan aktif di gereja lain (menjadi pelayan altar atau anggota koor), maka orang tua seperti itu sama sekali tidak mendidik anaknya untuk betah di paroki sendiri. Si anak akan berpikir bahwa parokinya adalah paroki yang sering dikunjungi, padahal mereka berdomisili di paroki lain. Misalnya, rumah mereka ada di Paroki Martinus, Lanud Sulaiman, tetapi setiap hari Minggu mereka membawa anak ke Katedral dan anak itu super aktif di paroki Katedral tersebut sebagai putra altar dan anggota koor anak-anak.

Ada beberapa akibat dari praktek seperti ini. Pertama, jika orang tidak mau betah dan mencintai paroki sendiri, maka lama kelamaan orang tersebut akan menjadi terasing dari parokinya. Bentuknya bisa macam-macam. Misalnya, orang itu tidak mengenal nama pastor parokinya, atau jumlah pastor yang melayani di parokinya. Orang seperti itu juga tidak mengetahui jadwal kegiatan ibadat di gereja parokinya sendiri. Lebih menyedihkan lagi, orang seperti itu tidak mengenal ketua lingkungannya, tidak mengenal nama, tidak mengenal personalia yang melayani lingkungan. Biasanya mereka tidak mau terlibat dalam urusan lingkungan dan paroki sendiri. Toh aku bukan dari sini dan bahkan juga bukan “di sini”, padahal rumahnya jelas-jelas ada di sini (di paroki tertentu). Mungkin ada yang tidak mau terlibat dalam kegiatan pelayanan dalam bentuk menyediakan makanan pastor karena merasa bukan bagian dari paroki ini.

Bahaya kedua ialah bahwa kebiasaan seperti di atas tadi, bisa saja akan mematikan hidup lingkungan dan paroki sendiri. Walau tentu saja hidup lingkungan dan paroki tidak semuanya tergantung pada orang seperti itu, tetapi sikap seperti itu menyebabkan kemacetan dalam urusan paroki dan lingkungan sendiri. Kegiatan doa lingkungan, kegiatan koor, kegiatan pendalaman kitab suci bisa menjadi tidak hidup karena ada orang yang berpandangan seperti di atas.

Dalam sejarah hidup membiara dikenal salah satu janji yang disebut stabilitas loci, yaitu orang berjanji untuk setia tinggal di satu tempat yang sama selama hidup. Tidak berpindah-pindah seperti turis dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Ide stabilitas loci seperti itu perlu juga bagi umat agar mereka tidak hanya bergaya turis dalam hidup menggereja. Biasanya fenomena pelancong hidup menggereja adalah sebentuk penghindaran dari tugas dan kewajiban di paroki sendiri. Karena tidak mau aktif di paroki sendiri, maka mereka pergi ke paroki lain. Di paroki lain juga mereka tidak bisa aktif karena mereka bukan warga paroki tersebut. Contoh: si A warga paroki B. Sebenarnya di paroki B si A itu diharapkan untuk menjadi ketua lingkungan. Tetapi ia menghindar dengan mengatakan bahwa saya tidak aktif di paroki B, melainkan aktif di paroki C. Sementara di paroki C, si A juga tidak bisa aktif, sebab dia bukan warga paroki C. Akibatnya, dia menjadi melayang-layang tidak keruan. Seperti pelancong saja, pelancong hidup menggereja. Maka, marilah betah dan cinta pada paroki sendiri.


No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...