Tuesday, February 13, 2018

MENCINTAI PAROKI SENDIRI

Oleh: Fransiskus Borgias M.


Tulisan ini mau memotivasi agar orang betah “menggereja” di paroki sendiri. Niat ini muncul karena ada orang tidak betah di paroki sendiri. Pertama, ada yang betah di paroki lain (paroki orang tua, tempat baptis dan dididik jadi Katolik dll). Di sana ada banyak teman, rekan bisnis. Itu yang membuat orang betah.

Kedua, orang betah di paroki lain karena senang dengan pastor. Ada gejala “favoritisme pastor”, menyukai pastor tertentu dan tidak menyukai pastor lain. Gejala ini muncul kalau umat antipati terhadap pastor paroki, tidak menerimanya apa adanya lalu lari ke paroki lain. Menghargai paroki harus tampak dalam upaya “menerima” pastor paroki. Kalau kita tidak “menerima” pastor yang ditugaskan uskup, itu adalah sebentuk pelecehan terselubung terhadap imamat. Kita tidak memilih imam. Ketaatan kepada imam itu penting. Apa yang ditentukan uskup, itu yang kita terima. Jika tidak menyukai pastor, itu pembangkangan terselubung kepada uskup yang menugaskan pastor. Ketiga, ada yang betah di paroki lain karena fasilitasnya lebih baik (AC, jajan). Kita ke gereja bukan untuk jajan tetapi untuk bersatu dengan Tuhan. Menurut tradisi lama, orang berpuasa satu jam sebelum dan sesudah komuni.

Keempat, orang betah di paroki lain karena tuntutan di sana longgar (les agama, persiapan komuni, penguatan). Sedangkan di paroki sendiri, mungkin pastornya keras, kaku, arogan. Kelima, ada orang tua membawa anaknya aktif di paroki lain. Hal ini tidak mendidik anak sebagai warga paroki masa depan. Kalau orang tua mengajak anak ekaristi di paroki lain, orang tua seperti itu tidak mendidik anak betah di paroki sendiri. Anak mengira parokinya adalah paroki yang sering dikunjungi, padahal mereka berdomisili di paroki lain. Misalnya, rumah di Martinus, tetapi setiap Minggu anak dibawa ke Katedral.

Ada beberapa akibat praktek seperti ini. Pertama, jika tidak betah di paroki sendiri, orang akan terasing: orang tidak kenal pastor paroki, tidak tahu jadwal ibadat. Orang tidak kenal ketua dan abdi lingkungan. Orang itu tidak terlibat dalam urusan lingkungan. Ada yang tidak terlibat dalam layanan-makanan pastor karena merasa bukan bagian dari paroki. Kedua, kebiasaan seperti itu, mematikan hidup lingkungan (paroki). Walau tidak tergantung pada orang seperti itu, tetapi sikap seperti itu menyebabkan kemacetan: Kegiatan doa lingkungan, koor, pendalaman kitab suci.

Dalam hidup membiara dikenal janji stabilitas loci (tinggal di tempat sama selama hidup). Tidak seperti turis. Ide itu perlu bagi umat agar tidak bergaya-turis dalam menggereja. Para pelancong-gereja menghindari tugas dan kewajiban paroki. Karena tidak aktif di paroki sendiri, maka mereka ke paroki lain. Di sana mereka tidak bisa aktif karena bukan warga. Contoh: si A warga paroki B. Si A menghindar dari lingkungan dengan “seolah aktif” di paroki C. Nyatanya di paroki C, si A tidak bisa aktif, sebab ia bukan warga. Maka dia pun melayang-layang tidak keruan, menjadi pelancong-gereja. Mari cintai paroki sendiri.


No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...