Kemarin, 26 November 2008, saya tampil bersama Ayu Utami dalam acara The Passion of St.Paul di Alabene, Bandung, sebuah acara atas hasil kerjasama antara K3S Keuskupan Bandung dan Penerbit Kanisius dan Alebene. Audiens yang hadir adalah para mahasiswa Katolik dari KMK non UNPAR dan Maranata. Peserta cukup banyak yang hadir walaupun hari hujan, sesuatu yang sudah dicemaskan sebelumnya oleh kami penyelenggara. Tentu ini sebuah kesempatan yang baik bagi saya.
Itu adalah sebuah acara talk-show, jadi saya tidak secara khusus mempersiapkan bahan. Tetapi dalam pemaparan awal, saya mengemukakan spiritualitas menulis yang dihayati Paulus. Paulus adalah orang yang amat tekun menulis. Aktifitas itu memerlukan ketekunan dan daya tahan luar biasa. Bayangkan, saat itu, kertas belum semulus yang kita miliki sekarang. Tinta juga belum seperti yang kita punyai sekarang. Tetapi Paulus menghasilkan banyak tulisan. Surat kepada jemaat di Roma saja ada 16 bab. I dan II Korintus juga termasuk surat panjang. Dibutuhkan waktu yang sangat lama untuk bisa menghasilkan tulisan seperti itu. (Bdk.Fransiskus Borgias M., “Belajar dari Paulus, Sang Komunikator Ulung,” dalam Praedicamus, Juni 2008).
Tahun lalu saya mengajar di STFT Fajar Timur Abepura, Papua tentang teologi surat-surat Paulus. Sebagai latihan saya meminta para Frater menulis kembali dengan tangan salah satu surat Paulus, dan kalau selesai dikirim kepada saya di Bandung. Tetapi sampai saat ini, belum ada satupun yang mengirim surat-surat itu kepada saya. Jadi, duduk, dan mulai menulis surat tidak mudah. Tetapi Paulus memberi teladan dalam hal itu. Ia tekun menulis surat. Ini patut kita teladani. Pertanyaan kita selanjutnya, mengapa dan untuk apa Paulus merepotkan dan melelahkan diri dengan menulis surat itu? Itu karena ia mencintai jemaat yang didirikannya. Kepada mereka ia mewartakan Kristus.
Sehubungan dengan Kristus inilah Paulus merasa mempunyai ikatan yang amat kuat dan mendalam. Ia merasa, sejak tobatnya, harus mewartakan injil, kabar gembira yang ia dapat dalam perjumpaan pribadi dengan Yesus Kristus yang hidup. Perjumpaan itu dengan sangat indah dan dramatis dilukiskan Kisah Para Rasul bab 9. Perjumpaan itulah yang menyebabkan Paulus membelokkan seluruh arah hidupnya. Ia menjadi pengikut Yesus. Dia yang tadinya membenci Yesus, kini merasa bahwa ia hidup dalam, dari, dan karena Kristus. Ia hidup demi Kristus. Hal itulah yang patut kita pelajari dan teladani dari hidup Paulus. Ia konsisten dengan tobatnya. Setelah ia berbelok, sejak itu terjadilah apa yang disebut “point of no return,” ia mengalami titik di mana dari titik itu tidak ada lagi jalan kembali, berbalik. Ia jalan terus secara tulus dan konsekwen. Sekali lagi, ia melakukan semuanya itu, karena Kristus.
Sedemikian intimnya hubungan Paulus dengan Yesus sehingga dalam surat kepada jemaat di Filipi ia mengatakan bahwa bagiku hidup adalah Kristus, dan mati adalah keuntungan. Artinya, kalau ia masih diberi kesempatan hidup, maka seluruh hidup itu akan ia baktikan untuk mewartakan Kristus dan tidak mewartakan yang lain. Atau kalau dia harus mati, maka ia menganggap kematian itu sebagai sesuatu yang menguntungkan karena dengan mati maka ia segera mendapat kesempatan mulia untuk bertemu dan bersatu kembali dengan Kristus Yesus di dalam kemuliaan abadi di dalam surga. Itulah yang antara lain dapat kita pelajari dan teladani dari santo Paulus.
No comments:
Post a Comment