Sunday, May 17, 2020

ATG - DOMINE, NON POSSUM

Oleh: Fransiskus Borgias
Dosen Teologi Biblika FF-UNPAR, Bandung.



Tanpa terasa kami sudah memasuki tanggal 31 Desember 1988. Ya, hari terakhir tahun itu. Karena besoknya tahun baru, maka direncanakan bahwa pada hari itu, kami berlibur. Tidak ada kegiatan ceramah ataupun pendalaman. Bahkan kami juga boleh berjalan keluar. Tetapi hal itu baru akan terjadi besok. Hari ini, masih ada sebuah kegiatan lain yang harus kami lewati. Rupanya hari terakhir di akhir tahun ini mau dibuat oleh Pater CG menjadi sebagai simbolisme bagi titik akhir perjalanan hidup manusia di dunia ini. Maka pada hari ini kami diajak untuk merenungkan tentang puncak-puncak hari tua dan misteri kematian itu sendiri. Ya, kematian itu adalah sebuah misteri. Tidak ada seorang pun yang pernah pulang dari seberang gerbang alam maut itu. Bagi saya istilah mati-suri adalah bukan mati. Paling-paling kita manusia yang masih hidup di dunia ini hanya mencoba membayangkan apa yang akan terjadi di sana.

Dalam untaian refleksinya ini, tidak lupa pater CG memberikan insight fransiskan tentang kematian itu. Kematian adalah sakramen kemiskinan terakhir. Kira-kira begitulah inti teologi fransiskan dan Fransiskus tentang kematian. Pandangan teologi seperti ini dapat dengan mudah kita temukan dalam buku-buku teologi dan spiritualitas standar kefransiskanan. Tetapi dalam bentuk yang popular saya paling suka akan apa yang dibentangkan oleh Carlo Carretto dalam bukunya Io Francesco itu. Entah pengalaman rohani seperti apa yang dialami dan dirasakan oleh Fransiskus, yang jelas dalam salah satu baris dari puisi kosmisnya yang terkenal itu, Kidung Saudara Matahari, Canticum Solis itu, kita menemukan sebuah sapaan yang sangat akrab dan mesra akan maut. Fransiskus menyebut maut itu sebagai saudarinya: Selamat datang saudari maut badani.

Kalau sepanjang hidupmu anda sudah hidup miskin, itu artinya setiap kali anda melakukan aksi let it go, let it go, suatu aksi detachment, melepaskan, membiarkan, pasrah, tidak mengungkungi, tidak mengehaki. Kalau sepanjang hidupmu engkau sudah melakukan aksi let it go itu, maka tatkala maut datang, ia datang sebagai saudari yang merangkul dan memeluk kita dalam kasihnya yang begitu hangat. “Selamat datang saudari maut.” Begitu kata Fransiskus. Dan bersama sang saudari itu kita masuk dan melewati pintu menuju ke ruang keabadian.

Dan tidak lupa Carlo Carretto mengingatkan bahwa sang Tuan Putri Kemiskinan, Domina Paupertas, Lady Poverty itu, mengantar kita melalui sang pintu, yaitu Yesus yang dalam salah satu ucapanNya pernah menyatakan diri sebagai pintu (Yoh 10:9). Dan keajaiban pintu ialah bahwa ia membuka atau terbuka dan begitu terbuka maka sampailah kita di seberang saat itu juga dengan sangat pasti. Dahsyat banget omongan Carretto ini. Secara lebih prosa-liris, sastrawan Amerika, Murray Bodo juga melukiskan kemesraan datangnya saudari maut itu dalam bukunya Saint Francis, Journey and the Dream. Sebuah buku yang indah sekali.

Namun demikian, tetap saja semua hal itu bagi saya seperti sebuah yang seakan-akan menggiring saya ke sebuah lubang hitam, titik akhir. Dan hal itu amat menyesakkan dada dan juga sekaligus menakutkan. Ah, kenapa semua permenungan ini harus sampai bermuara ke sini? Ah hebat sekali pater CG memainkan semuanya ini. Mungkin dia ingin kami agar dilahirkan kembali nanti sesudah pengalaman kesesakan itu. Entahlah. Semoga begitu. Yang jelas sekarang saya seperti merasa terjepit.

Teringat lagi dua hari yang lalu, Provinsial datang secara khusus dari Jakarta untuk mengunjungi kami berempat di Bunut, Sukabumi. Sebagai Bapa ia mengajak kami satu persatu berbicara dari hati ke hati tentang perkembangan yang kami rasakan. Pada saat itu, saya sudah berjuang antara, apakah saya harus jujur sekarang atau tidak? Harus berani jujur sekarang atau tidak? Akhirnya saya memutuskan untuk menunda keberanian dan kejujuran itu. Oleh karena itu, dengan sangat tenang saya mengatakan kepada pater provincial bahwa saya baik-baik saja dan akan terus melangkah dengan pasti.

“Bagus Frans. Undangan Misa Kaul Kekal sudah dicetak. Ada empat nama.” Walaupun terkejut, tetapi saya tetap simpan keterkejutan itu dalam hati saya. Pater provincial tidak menginap di rumah ret-ret. Setelah berbicara dengan masing-masing dari kami, beliaupun pulang lagi ke Jakarta. Itu sudah dua hari yang lalu. Sekarang sudah harus berjuang lagi.

Hari sudah mulai condong ke barat. Kami akan segera mulai lagi sesi di sore hari itu. 31 Desember. Besok adalah hari libur, hari pembebasan dari rutinitas ini. Begitu seruku dalam hati. Setelah mendengarkan lanjutan sesi sore di mana Pater CG membeberkan beberapa pandangan filosofis tentang realitas maut itu dan dicampur juga dengan pandangan teologi pengharapan dari Ladislaus Boros, dan Juergen Moltmann dan Schillebeeckx, saya kembali ke rutinitas personalku di tebing itu. Mendengarkan alam dan suara hatiku sendiri.

Di situlah aku merasa bahwa aku harus segera memutuskan sesuatu. Ataukah saya harus bicarakan dulu dengan ketiga temanku? Sesungguhnya saya ingin sekali membahas dulu hal itu dengan mereka. Tetapi saya melihat dan merasa bahwa ini masalah personal. Lagipula saya melihat mereka bertiga sangat tenang. Seperti tidak ada masalah. Dominikus, yang paling senior di antara kami, karena ia masuk usia sesudah lama bekerja sebagai katekis di Papua, tampak sangat tenang. Dan saya menjadi sangat sungkan melihat gerakannya yang sangat tenang. Saya hanya bisa melihatnya dari jauh. Saya mencoba melihat temanku yang lain, Paskalis Bruno Syukur. Dia pun tampak sangat tenang. Seperti sungguh menguasai diri. Saya lalu menjadi sangat minder melihat ketenangan mereka. Ah jangan-jangan aku yang aneh di sini. Aku yang gila.

Diam-diam kuberharap agar bisa melihat pintu masuk melalui temanku yang ketiga. Saya berharap begitu karena selama ini, kami suka bercanda, suka main gitar dan nyanyi bersama, suka merokok bersama. Tatkala saya melihat dia juga, ah dia juga sangat tenang. Saya merasa semua pintu untuk aku seperti sudah tertutup. Susah sekali rasanya untuk mulai berbicara manakala hatimu sendiri sedang bingung dan goyah, sementara orang yang kau ingin ajak bicara tempat sangat tenang. Jangan-jangan dia tidak akan mempedulikannya? Jangan-jangan dia akan meremehkan? Jangan-jangan dia akan menertawakannya.

Saya sempat berpikir dan mencoba meyakinkan diriku bahwa yang kau lihat itu pada mereka belum tentu benar. Siapa tahu begitu engkau berani mendekati salah satu di antara ketiganya, mungkin akan ada pintu yang terbuka, mungkin akan ada sharing yang menghidupkan dan memberi semangat baru. Sempat pikiran positif itu kubiarkan muncul. Tetapi begitu aku melirik mereka lagi, mereka sudah terhanyut dalam keheningan doa dan kontemplasi mereka masing-masing. Ah Frans, janganlah kau rusakkan kontemplasi mereka dengan kegilaanmu ini. Berhentilah. Berhentilah.

6 comments:

Runa said...

Mau tanya pak,, apakah crita ini boleh dikatakan ada unsur godaan setan gk? Soalnya waktu sya msih di biara, klo ikut rekoleksi atau retreat, sya juga sering mengalami hal seperti ini. Tpi sya anggap itu sbgai kekuatan rasio pribadi bukan kekuatan alam luar

Unknown said...

Pada akhirnya, sesudah mengalami dan cukup menimbang-nimbang, kita harus memulih dan memutuskan. Dalam nama Tuhan, jadilah kehendak Tuhan.

canticumsolis said...

hahahahahaha.... ga usah mikirin si setan itulah...
walau bisa saja dipikir begitu... tapi tidak usahlah... santai saja...
memang dalam kitab Kejadian 3, kita baca Hawa yang sedang mau nikmati taman, mungkin dengar bunyi burung, dengar semilir angin, dengar dedaunan bergesek, eh tiba-tiba disamperin si ular... bisa saja begitu... tetapi saya tidak mau begitu... cerita saya ini mengalir begitu saja dalam sebuah kilas balik... trima kasih sudah ikut memberi komentar di sini...
salam damai...
EFBE...

canticumsolis said...

KOMENTAR YANG BARUSAN UNTUK SI RUNAFONI...

SEKARANG UNTUK SI BRADER UNKNOWN... INI...
Iya... kira-kira begitu brader... walaupun lewat suatu perjuangan yang panjang...
melelahkan... dan juga sakit...
ya, jadilah kehendak Tuhan...
terima kasih sudah sudi mampir di sini...
salam damai... pace e bene...
EFBE...

Runa said...

Hhhhhh,,, brrt jngn dipikirin si setan itu. Trmksh pak. Ditunggu lanjutannya

canticumsolis said...

iya.... Runa...
kalo tadi ambil model Hawa itu, fokus sj pada taman yg indah...
ga usah dengar celoteh si ular... wkkkkkkk....
walau hal itu tentu tidak mudah...
EFBE...

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...