Saturday, May 16, 2020

ATG – MENERAWANG PERJALANAN PANJANG

Oleh: Dr. Fransiskus Borgias, MA.
Dosen Teologi Biblika FF-UNPAR Bandung.


Tanpa terasa saya sudah hari kelima dalam ret-ret itu. Saya mencoba menjalani rutinitas yang berjalan sangat lambat itu. Rutinitas itu berulang-ulang. Namanya juga rutinitas. Harus berulang-ulang. Saya harus ikut berputar di dalam perputaran roda pengulangan itu.

Tetapi ada empat hal yang selalu menjadi alternatif bagi saya dalam rutinitas itu, yang akhirnya menjadi sebuah rutinitas tersendiri juga bagi saya. Pertama, mendengarkan bunyi burung-burung. Pada suatu hari saya bahkan bisa membedakan bunyi burung. Pada pagi hari bunyi burung itu seperti penuh semangat dan gembira ria. Di siang hari mulai terasa semakin sunyi, masih ada satu dua, tetapi sebagian besar sunyi, entahlah di tempat lain. Tetapi di perdu di tebing kali itu, bunyi burung semakin kurang terdengar di siang hari. Atau mungkin karena kalah bersaing dengan bunyi kebisingan siang hari sebab banyak juga bunyi lain yang seperti menteror bunyi alam yang alami itu.

Kedua, mendengarkan bunyi angin bertiup. Baik di pagi hari, maupun di siang hari, suara angin selalu terasa merdu. Tetapi di sore hari, mungkin karena panas matahari sudah mulai berkurang, suara angin tidak lagi begitu terasa. Semua seperti pada diam. Hal itu tampak pada dedaunan. Seperti tertunduk lesu. Seakan-akan masuk ke dalam kontemplasi, runduk memandang diri sendiri, memandang pangkalnya di tanah. Ketiga, mendengarkan bunyi dedaunan yang bergesek karena ditiup angin. Jadi, yang ketiga ini terkait dengan yang kedua. Dedaunan seperti menari-nari, lincah menanggapi colekan bayu pagi, bayu siang. Dedaunan yang sudah tua, jatuh pasrah, let it go. Yang masih muda, masih tahan terpaan angin. Seakan-akan mereka meledek kekuatan angin bertiup. Tetapi angin itu seperti bersabar: tunggu giliranmu. Nanti juga kau kering. Dan pada saat itu kau tidak akan bisa lagi meledek kekuatanku selain pasrah melepaskan diri dan jatuh ke bawah, membusuk dan menjadi mata rantai makanan bagi ibu bumi.

Keempat, saya mendengar bunyi detak jantungku dan juga terutama suara hatiku sendiri. Ke mana aku sesudah ini? Mengapa aku di sini? Untuk apa aku di sini? Semua pertanyaan itu seperti datang mencerca aku dan aku seperti tidak diberinya kesempatan untuk menjawab satu per satu. Semuanya seperti ingin dijawab duluan. Benar-benar menyesakkan dada. Saya melihat ketiga temanku sepertinya tenang-tenang saja. Sepertinya mereka tidak ada masalah sama sekali dengan keadaan ini. Saya melihat mereka sangat serius dalam permenungan masing-masing sehingga rasanya sulit untuk diajak berbicara, berbuka dari hati ke hati.

Rutinitas keempat inilah yang paling tidak mengenakkan bagi saya. Sebenarnya pada saat-saat seperti ini, aku tidak suka berhadapan dengan diriku sendiri. Tetapi ternyata di dalam kesunyian, mau tidak mau kita harus menghadap tahta pengadilan suara hati kita sendiri. Kamu ini siapa? Mau apa? Mau ke mana? Sungguhkah kau mau ke sana? Jangan-jangan ke sinilah yang lebih cocok bagimu. Benar-benar terasa sesak dan menyesakkan.

Apalagi tadi siang, kami dijejali dengan refleksi mengenai hal “menghadapi hari tua.” Mula-mula CG memberi gambaran kepada kami, bagaimana kira-kira gambaran hari tua sebagai seorang bapa keluarga, dengan suka dan dukanya. Tentu ada sukanya. Tetapi ada juga dukanya dan lukanya.

Lalu CG juga memberi gambaran kepada kami, bagaimana kira-kira gambaran hari tua sebagai imam atau biarawan. Ya, dengan suka dan dukanya. Semuanya dibuka satu per satu. Dikupas tuntas oleh CG dengan dimensi kedalaman yang luar biasa. Semuanya memancar dari pengalaman dia sendiri, dari pengamatannya yang jernih dan tajam terhadap pelbagai macam cara dan jalan hidup. Tentu juga dibantu pelbagai bacaan yang sudah ia baca selama ini.

Ketika CG membicarakan tantangan hidup sebagai seorang imam atau biarawan di masa tuanya, pasti, suka ataupun tidak suka, ditandai kesunyian. Walaupun belum tentu kesunyian itu adalah kesepian. Memang kesunyian bisa sangat mudah berubah menjadi kesepian. Tetapi dalam teori hidup rohani kesunyian adalah dimaksudkan untuk mencinta. Tidak mudah menjelaskan hal ini. Ya, ketika CG omong tentang hal itu tiba-tiba saja pikiran saya tertuju kepada Pater Flori Laot OFM. Dialah Bapa Rohani saya saat saya menjalani TOP di Pagal. Selama hampir setahun menjalani tahun pastoral, setidaknya saya empat atau lima kali berbicara dari hati ke hati dengan dia. Kami membicarakan macam-macam hal yang terkait dengan hidup rohani sebagai biarawan. Hal itu kami lakukan baik saat dia datang ke Pagal ataupun saat dia datang ke Ruteng (Ibu kota Kabupaten).

Saya teringat akan sesi pembicaraan terakhir menjelang akhir TOP itu. “Menurut pater, apa sebabnya, seorang imam jatuh ke dalam dosa godaan seksual?” Begitu tanyaku. Dia tidak memandang saya. Ia seperti bapa pengakuan yang mendengarkan pengakuan dosa seorang pendosa. Ia menghadap ke jendela ke arah timur. Saya duduk ke telinga kanannya, menghadap ke utara. Tanpa memandang ke saya, dia menjawab dengan sangat tenang. “Frans, sebabnya hanya satu.” “Apa itu Pater?” “Karena imam itu tidak bisa lagi berdoa. Ia mengalami krisis hidup doa. Krisis hidup rohani. Kalau tidak bisa lagi berdoa, maka mudah berdosa. Beda satu huruf saja.” Sejenak dia diam. “Frans, saya kasih tahu yah… Saat kamu masih muda seperti ini, kamu gesit bekerja, memperjuangkan apa saja, bekerja maksimal, sampai badanmu letih. Tidak apa-apa. Tatkala malam datang, kamu ke tempat tidurmu, dan segera tertidur. Aman.”

“Maksud pater?” tanyaku. “Begini Frans. Ada saatnya, di usia tertentu dalam hidup imamat dan membiara ini, saat gerakmu sudah tidak gesit lagi, lebih banyak diam, tiba-tiba saja di malam hari, kita merasa bahwa tempat tidur ini kosong. Kita merasa ada yang aneh dengan kekosongan itu. Kita mengalami “terror ruang kosong” seperti kata seorang seniman di Bali, lupa namanya, saat menghadapi tempat tidur kosong itu. Terror itu kuat sekali sehingga kita terdorong untuk mengisinya. Kamu tahu maksud saya.” Diam sejenak dan senyum ke Timur.

“Frans, kalau hidup doamu pada saat itu tidak kokoh, kamu pasti jatuh. Kamu akan mencari “dia” untuk mengisi “kekosongan” itu yang seperti sedang menterror kesendirian dan kesunyian kita.” Sesudah itu dia diam. Seperti meredam terror sunyinya sendiri. “Frans, jangan pernah menelantarkan hidup doa.” Diam lagi. “Hanya itu.”

Sekarang, tatkala Groenen mengkonfrontasikan kami dengan bayangan akan hari-hari tua itu, terutama sebagai imam atau biarawan, saya teringat akan kata-kata P. Flori, “terror ruang kosong” itu, yang sebenarnya mungkin bermula dalam sebuah sudut di hati, tetapi kemudian menjalar keluar, sampai ke tempat tidur, ke ruang tidur yang kosong. Semuanya seperti menteror kita. Ah terror ruang kosong itu.

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...