Oleh: FRANSISKUS BORGIAS M.
Hari ini saya, pagi-pagi, saya mendapat kabar dukacita. Bapak Albertus Hartono, meninggal dunia di Rumas Sakit UKM di Pintu Keluar Tol Margaasih, dekat kawasan Kopo V. Semua terasa dan berlangsung begitu cepat. Selama ini, bapak Hartono tampak sehat-sehat saja. Tidak pernah terdengar kabar bahwa dia sakit ataupun kondisinya memburuk. Masih sering tampak mengantar jemput putrinya pergi dan pulang kerja. Yang terdengar kabar kondisinya kurang prima ialah si Oma (isterinya). Sudah lama sekali ia tidak pernah kelihatan lagi ke gereja.
Tiba-tiba, beberapa hari lalu, kalau saya tidak salah, terdengar kabar yang santer sekali bahwa bapak (begitu biasanya saya memanggil beliau), didapati tidak sadarkan diri di kamar di rumahnya, dan ada muntahan yang keluar dari mulutnya. Mendengar kabar itu, isteri saya menduga kemungkinan itu adalah pendarahan di otak, sebab ada tanda-tanda muntah seperti itu. Tetapi semuanya serba tidak pasti.
Yang jelas ialah bahwa beliau segera dilarikan ke rumah sakit terdekat yaitu rumah sakit UKM yang terletak di pintu tol tadi. Karena masih dalam keadaan psbb dalam rangka wabah corona ini, maka saya dan isteri tidak berani untuk mengunjunginya ke rumah sakit, apalagi dari pihak rumah sakit ada pembatasan yang sangat ketat mengenai para pengunjung orang sakit di rumah sakit. Maka kami urungkan niat kami untuk mengunjunginya.
Tiba-tiba tadi pagi, sekitar pukul 10an, terdengar kabar bahwa bapa Hartono (demikian panggilan akrabnya) sudah meninggal dunia. Kabar itu bagi saya amat mengagetkan. Karena terjadi begitu cepat dan rasanya seperti serba tiba-tiba saja. Saya dan isteri menjadi sangat sedih mendengarnya. Saya juga masih belum berani untuk datang melayat ke rumah duka di Bumi Baru, tempat ia disemayamkan, sebelum dikremasi pada hari Senin, karena masih menunggu anak-anaknya yang datang dari Yogya, Jakarta, dan dari Belanda. Sedih sekali membayangkan itu semuanya.
Saya dan isteri tidak punya hubungan darah apa-apa dengan beliau. Tetapi kami sudah menganggap dia dan isterinya sebagai orang tua kami. Anak-anak kami pun memanggil mereka dengan sebutan opa dan oma. Ceritanya panjang.
Yang jelas, tatkala saya mendengar kabar ini tadi, pikiran saya langsung teringat akan tahun 1999, pada awal tahun. Kalau tidak salah ingat, sekitar bulan Februari. Kami baru saja pindah dari rumah dinas Unpar di kawasan jalan Buah Batu. Dan kami tempati rumah yang baru saja kami beli pada bulan Desember 1998. Pokoknya sejak Desember 1998 kami sudah menempati rumah kami yang baru itu.
Kami tidak punya apa-apa. Rumah kami standar dari developer saja. Perabotnya tidak ada yang istimewa. Kami juga masih belum punya kendaraan. Kalau ke gereja kami harus naik becak dulu ke depan ke jalan Kopo Sayati, lalu naik angkot ke arah Lanud Sulaiman, dan dari jalan raya masih harus jalan kaki kira-kira lebih dari 500an meter.
Karena itu, kami berencana untuk diam-diam saja tinggal di sana. Tidak usah aktif di lingkungan dan paroki. Pokoknya, hidup saja sebagaimana orang Katolik pada umumnya. Cukup ke gereja pada hari Minggu. Selebihnya mengurus urusan hidup kami sendiri. Kami mau bersikap begitu, karena kami kesulitan untuk mobilitas kami.
Tetapi tiba-tiba pada awal bulan Februari 1999, ada sebuah mobil sedan berhenti di depan rumah kami. Lalu keluarlah seorang ibu dan seorang bapa. Kami sudah mengenal mereka. Bapak adalah ketua lingkungan kami. Ibu (isterinya) juga adalah seorang yang sangat aktif dalam kehidupan menggereja. Ternyata mereka datang bertandang ke rumah kami.
Akhirnya, kami berteman, saling mengenal satu sama lain. Saya dan isteri diajak untuk terlibat aktif dalam kegiatan di lingkungan, seperti berdoa, dan ikut anggota koor. Begitulah. Rencana untuk tinggal diam-diam saja ternyata tidak bisa. Sudah langsung didatangi oleh Ketua Lingkungan kami. Ditembak di tempat. Tidak bisa berkutik. Maka sejak saat itu kami pun aktif. Semua kegiatan lingkungan kami ikuti dengan susah payah karena anak-anak kami masih kecil. Oh ya, awalnya, hanya saya yang lebih aktif, karena isteri lebih banyak menjaga anak-anak di rumah.
Tetapi lambat laun, kami ikut aktif semuanya. Bahkan sejak tahun 2000, saat saya ada di Belanda, lingkungan kami membentuk sebuah koor lingkungan. Maka isteri saya pun terlibat aktif di dalam koor tersebut. Dan kami mengadakan latihan bersama di rumah Bapa dan Ibu Hartono itu. Berbeda dengan orang-orang lain, isteri saya pasti selalu membawa kedua anak kami untuk ikut berlatih, sebab tidak ada yang menjaga mereka di rumah. Pulangnya nanti jalan kaki atau numpang pada motor teman-teman.
Sejak itulah kami menjadi sangat akrab satu sama lain. Kemudian kami sempat sama-sama menjadi anggota DPP. Saya juga akhirnya aktif sebagai kontributor tetap untuk majalah bulanan paroki untuk bidang Kitab Suci. Juga akhirnya saya terlibat membina koor lingkungan itu. Masih bersama pak Hartono kami juga terlibat di paduan suara GABTAKI yang dipimpin oleh Bapak Priyo Budisantoso.
Hal itu berlangsung hingga tahun 2007. Sejak saat itu bapak Hartono tidak pernah ikut gabung lagi dengan koor Gabtaki dan rasanya Gabtaki itu lama-lama bubar dan diganti dengan koor baru yang dibentuk yaitu Lucretia. Tetapi Bapak Hartono tidak pernah bergabung lagi di koor itu.
Sampai meninggalnya hari ini, saya tidak pernah melihat bapak Hartono terlibat lagi dalam sebuah paduan suara. Padahal dia adalah penyanyi bass yang sangat handal. Pandai menyanyi dan suaranya mantap dan dalam sekali. Luar biasa. Pokoknya kalau ada dia di Bass, rasanya benteng bass itu tebal dan kokoh, karena tebalnya suara dia.
Selamat jalan Bapak Hartono, kami semua berdoa bagi keselamatan jiwamu. Kami semua yakin dan percaya, bapak sudah diterima di dalam cahaya kekal di dalam kalangan para kudus Allah. Jadilah pendoa kami semua di hadapan Allah yang mahakasih, dan mahapemurah.
Bandung, 13 Juni 2020.
No comments:
Post a Comment