Tuesday, May 19, 2020

ATG – KEGAMANGAN

Oleh: Fransiskus Borgias
Dosen Teologi Biblika, FF-UNPAR, Bandung.




Hari baru, 01 Januari 1989. Hari baru. Hidup baru. Saya terbangun pagi dini hari. Karena hari itu kami tidak ada kegiatan serius, maka saya santai saja. Saya mandi. Semua sudah berubah. Semua sudah menjadi lain. Saya sudah lain. Ketiga teman juga sudah menjadi lain. Tetapi mereka tidak atau belum tahu apa yang terjadi semalam. Mereka tidak tahu apa yang saya lakukan semalam. Mereka belum tahu keputusan apa yang sudah saya ambil semalam. Tetapi mereka harus segera tahu. Sebelum saya pergi meninggalkan tempat ini, saya mau pergi baik-baik. Tidak menghilang begitu saja. Tanpa pamit. Saya harus pamit baik-baik kepada ketiga temanku ini. Kami sudah bersama sejak novisiat tahun 1982. Dan sekarang harus mengambil jalan sendiri-sendiri.

Sekarang di pagi hari ini, saya ingat lagi bagaimana semalam, dalam waktu yang tidak lebih dari lima menit, saya keluar dari kamar pater CG dengan membawa sebuah surat yang sudah dimasukkan ke dalam sebuah amplop panjang. Saya tidak tahu apa isinya. Yang jelas, perintahnya jelas: Hari ini saya harus kembali ke Jakarta dan membawa surat ini langsung ke pater Propinsial. Hanya itu. Sedih juga rasanya. Pater CG sangat dingin dan datar. Mungkin karena dia sudah tahu dan hafal semua perjuangan saya selama ini.

Sekarang saya ingat bahwa waktu novisiat dulu saya pernah ke kamar dia lebih dari tiga kali rasanya untuk meminta bimbingan rohani. Waktu belajar teologi entah berapa kali saya ke kamar dia. Tetapi yang terkait dengan bimbingan rohani ada tiga kali juga. Selebihnya saya ke kamar dia untuk bimbingan skripsi atau urusan lain misalnya menanyakan sebuah konsep teologis tertentu yang susah dipahami. Jadi total enam kali saya ke kamar dia untuk bimbingan rohani. Mungkin karena latar belakang itulah, maka saat saya mengatakan bahwa saya berhenti, dia tidak berusaha menahan-nahan lagi.

Tetapi satu hal saya juga merasa senang. Saya lewati tahun 1988 dengan sebuah putusan baru. Sampai kemarin saya masih manusia lama yang bingung. Sekarang per satu Januari 1989 saya sudah menjadi manusia baru, tetapi jujur saja, masih tetap bingung dan gamang juga. Harus hidup bagaimana.

Yang jelas saya harus mulai hidup sebagai manusia baru dengan berangkat dari titik nol, bahkan mungkin juga dari titik di bawah nol. Hal itu sudah jelas dengan sendirinya setelah sekian tahun saya dibentuk di dalam konteks cara hidup tertentu, dan sekarang saya harus terlepas bebas di luar sana. Ya, saya harus mulai. Dengan berani. Dengan tegar. Lega? Ya, setidaknya saya sudah bebas dari tegangan pilihan itu. Saya sudah berani memilih dan memutuskan salah satu. Tidak bisa dua-duanya. Saya lega dalam arti itu. Walaupun tetap juga ada cemas. Saya harus tinggal di mana nanti di Yogya? Bagaimana saya bisa hidup? Bagaimana saya harus kabarkan hal ini ke kampung? Bagaimana saya harus mengabarkan hal ini kepada adik saya yang saat itu ada di novisiat Transitus Depok. Ah semuanya harus dipikirkan. Semuanya harus dicemaskan.

Dulu saya pernah mendapat sebuah nasihat yang sangat indah dalam Bahasa Jerman, katanya: Du brauchst keine Angst zu haben. Engkau tidak usah takut ataupun cemas. Saat saya ingat lagi akan pesan itu, sayup-sayup terdengar lagi sebuah antiphon mazmur completorium: “Tuhan akan menudungi engkau, dengan kepak-Nya, engkau tak usah takut akan bahaya, di waktu malam.” Ah betapa indahnya lagu itu. Betapa indah himbauannya. Tetapi ternyata hal itu tidak mudah untuk dihayati.

Pengalaman keluar dari kelompok yang selama ini telah engkau akrabi dan yang juga telah membesarkan dirimu, saya rasakan seperti pengalaman Yudas. Saya bukannya mau menyamakan diri dengan Yudas. Tetapi saya membayangkan ada suatu kesamaan suasana psikologis. Saya membayangkan bahwa pada malam itu ia pergi meninggalkan kelompok nyamannya untuk pergi ke suatu tempat. Walaupun saya bukan seorang pengkhianat, tetapi rasanya saya bayangkan situasi batin dan psikologisnya mirip. Gamang tingkat dewa. Dari sini dia sudah terlepas atau melepaskan diri. Sementara ke sana (yaitu ke tujuannya) dia belum tentu diterima juga. Sebab di antara mereka yang ada hanya sekadar sebuah hubungan fungsional dan situasional saja.

Menurut Lukas dan Matius, Yudas mencari jalan keluar dari kegamangan itu dengan bunuh diri. Tidak. Saya harus tegar. Saya harus mengatasi kegamangan itu. tidak boleh jatuh ke dalam rasa putus asa. Oh ya, pada saat saya memutuskan hal ini saya belum menyelesaikan ujian pendadaran teologi saya. Mungkin itulah sebagian dari rasa gamang saya itu. di samping rasa gamang lain. Saya tidak bisa menggampangkan situasinya sekarang dengan mengatakan saya gamang, maka saya ada. Sesuatu yang biasanya sering diucapkan orang-orang termasuk saya, dengan memodifikasi ucapan filosofis Cartesius itu. Tidak. Saya mencoba tenang saja. Juga dalam situasi kegamangan. Saya harus mulai dari sini. Dengan hari baru ini. Cerah. 1 Januari 1989. Tidak akan terlupakan dalam hidup saya.

Setelah mandi pagi, saya perlahan-lahan berjalan menuju ke kamar makan. Rupanya pater CG sudah sarapan lebih dahulu sehingga ia tidak ada di sana. Saya merasa senang. Ada ketiga temanku di sana. Sedang pada sarapan. Setelah berdoa, dan belum mengambil sarapan, saya meminta waktu kepada ketiga teman saya. “Teman-temanku, Saya mau berbicara.” Terasa sekali saat itu hening. Mereka bertiga mau mendengar saya. “Teman-teman,” saya ucapkan satu persatu nama mereka masing-masing, “…Saya sudah memutuskan untuk berhenti.” Ketiganya memperlihatkan rasa terkejut. Juga ada rasa tidak percaya. Kok bisa. Bahkan saya masih ingat, salah seorang dari ketiganya mengatakan: “Frans, kau jangan menyangka bahwa kami ini tidak berjuang memikirkan bagaimana ke depannya hidup ini.” “Kita sama-sama berjuang Frans.” “Jatuh dan bangun. Memikirkan banyak kesulitan dan tantangan”. Lalu saya mengatakan: “Iya, teman-teman, saya tahu itu. Tetapi saya sudah memutuskan untuk berhenti. Cukup sampai di sini.” Hening sejenak.

“Bagaimana dengan bapa tua itu?” tanya Dominikus mengenai pater CG. “Ya, tadi malam, tepat jam 12 malam saya sudah menghadap beliau. Dan dia sudah setuju. Bahkan dia sudah menulis surat pengantar untuk saya bawa hari ini ke Jakarta ke Pater Propinsial.” “Jadi, Frans hari ini mau pulang?” tanya Domi lagi. Saya mengangguk. “Iya saya pulang.” Hening lagi.

Sedih juga rasanya karena sebentar lagi saya akan pergi meninggalkan ketiga teman saya itu. Dan karena hari itu memang tidak ada acara serius, terkait libur tahun baru, maka ketiga teman saya pun mengantar saya ke pinggir jalan raya. Dari saya naik angkot menuju ke terminal Cisaat. Cisaat ke Jakarta. Selesailah sudah. Consummatum est.

2 comments:

Unknown said...

Cerita perjalanan yg luar biasa kk Frans. Banyak orang yg juga pasti mengalami bagaimana rasanya keluar dan masuk dari dan kedalam suatu situasi/tempat/komunitas/cara hidup/dst...peristiwa yg dialami byk org trsebut bisa dengan keinginan sendiri dh penuh kemerdekaan/lahir dr kehendak bebas spt yg dilakukan oleh kk Frans,tapi jg ada yg krn terdesak atau bahkan dipaksakan. Dalam iman, apapun alasannya, sy percaya "semua itu terjadi krn Tuhan yang menyelenggarakan. Yang terjadi adalah yang terbaik menurut Tuhan"...

Tks utk tulisan yg baik ini utk mengingatkan semua termasuk sy utk selalu Percaya pd Kehendak Tuhan" karena sikap ini membuat kita tidak gamang menghadapi apa yg kita hadapi selanjutnya....

canticumsolis said...

TO THE UNKNOWN ONE...
SAYANG SAYA TIDAK BISA TAHU NAMANYA... SEHINGGA TIDAK BISA DISAPA SECARA PRIBADI DENGAN MEMAKAI NAMA... HEHEHEHEHE...

Wow terima kasih atas tanggapannya di sini...
tanggapan yang kritis dan hidup dan berisi dan juga reflektif...
terima kasih juga untuk endoresment nya yang terakhir itu...
ya kita tetap harus percaya pada Tuhan, pada Providentia Dei...
salam damai...
EFBE...

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...