Wednesday, June 10, 2020

GOLO NOSOT 1

Oleh: Fransiskus Borgias 

Golo Nosot adalah sebuah bukit yang eksotis yang terletak di kawasan Lelak. Sejauh yang saya ingat, saya menyaksikan bukit itu sejak saya masih sangat kecil. Pada waktu itu ayah saya, seorang guru sekolah dasar, baru saja pindah dari SDK Wewo. Mereka harus pindah ke SDK Lamba-Ketang. Kalau saya tidak salah ingat hal itu terjadi pada tahun 1967. Saya masih kecil sekali tatkala pindah ke sana. Saya ingat bahwa ketika kami ke Ketang, kami datang dari arah Nteer, lalu ke Langke Norang, terus menelusuri jalan raya. Saat itu di sepanjang jalan Raya belum ada rumah-rumah penduduk. Orang-orang Herokoe, Ruang dan Bola masih terletak di sebelah atas jalan raya, di punggung bukit. Maka jalan raya hampir kosong. Ketika kami tiba di wae Rempas, kami diberitahu sanak keluarga yang mengantar kami dari Lembor, bahwa sebentar lagi kita akan mendaki jalan potong, ke arah Langke Cireng. Pada saat melewati Langke Cireng itulah, saya sedikit merasa serem dan ketakutan, karena pohon beringin itu sangat tinggi dan rimbun, dan ada juga kuburan di bawahnya. Dan di ujung di sebelah kanan, saya melihat sebuah jalan selebar satu meter yang terbuat dari batu besar. Emakoe Lamber mengatakan bahwa itu adalah jalan menuju ke kampung Cireng. Saya membayangkan, betapa ngerinya jalan ke sana, terutama di sore hari, apalagi di malam hari, pasti sangat gelap, karena harus melewati di bawah pohon beringin raksasa dan berdaun lebat itu. 

Setelah lewat dari Langke Cireng itu, kami memasuki sebuah lereng bukit. Itulah lereng Golo Nosot. Dari sana membentanglah sebuah pemandangan yang sangat indah, lembah Ketang, sudah tampak sekolahnya di kejauhan. Golo Rondong juga tampak sangat indah dengan keunikan pumpuknya yang bersih. Hanya di sana-sini ada semak belukar berupa pohon jambu liar. Di kejauhan saya melihat kampung Rejeng sebagaimana diberitahu oleh ayah saya. Juga ada kampung Manu dan Polor. Di lereng bukit yang tinggi tampak sebuah kampung lagi, kampung Welu, dan di sebelah barat dari Welu ada kampung Werong. Dan di puncak bukit di atas Werong itu, ada kampung Mbohang. Saat saya mengarahkan pandangan ke arah sebelah kanan, maka di sana tampak golo Walok. Di kakinya ada sebuah kampung yaitu Tango. Jauh di latar belakang tampak Gunung tinggi menjulang. Kata orang tuaku, di kaki gunung itulah terletak Ruteng. Sungguh sebuah pemandangan yang sangat indah. Dari kejauhan juga sudah tampak area sawah di Ka dan Longge. Semuanya indah juga. Saya langsung merasa jatuh cinta dengan seluruh suasana itu. Dan saya mulai mencoba mengakrabkan diri dengan sebuah dunia baru setelah sebelumnya kami sudah meninggalkan dunia lama di SDK Wewo. 

Tetapi sebelum tiba di sana, saya melukiskan dulu tentang golo Nosot ini. Di sebelah kiri saya agak curam saya menyaksikan golo Nosot itu hampir kosong. Lereng bukit di sebelah kiri jalan yang kami lewati, kosong. Hanya hamparan rumput saja. Dan pemandangan itu hampir sama hingga ke puncak bukit. Paling-paling di sana-sini ada hutan perdu sedikit, tetapi tidak ada hutan yang lebat. Di kejauhan saya melihat beberapa belas ekor kuda yang sedang merumput dengan bebas di salah satu bagian dari lereng bukit itu. Selain kuda, ada juga beberapa ekor sapi yang juga merumput di sana dengan sangat tenangnya. Saat melihat kuda, saya tidak begitu takut, karena mereka jauh. Tetapi saat melihat sapi, walaupun mereka merumput agak jauh dari tempat kami berjalan lewat, toh saya ketakutan juga, karena saya belum pernah berurusan dengan sapi. Ayah saya hanya memelihara kuda dan tidak memelihara sapi. Karena itu, saya merasa merinding saat melihat mereka, dan terutama saat mendengar bunyi lenguhan suara mereka. 

Sebelum turun ke arah Golo Rondong dan tiba di Wae Gulang, saya masih sempat melihat bukit kecil yang terletak di sebelah kiri kami. Itulah bukit Rombang dan juga Watu Weri. Saat itu, semuanya masih kosong. Tidak ada yang membangun rumah di sana. Hanya bukit gundul dengan hutan semak belukar saja. Di sanalah kuda, sapi, dan kerbau bisa berkeliaran dengan bebas, menikmati rumput yang ada. Dan di kejauhan tampak Kampung Pelus yang terletak di lereng bukit yang juga tidak berhutan. Tetapi di ujung bukit itu saya bisa melihat poco Kuwus yang berhutan lebat dan menjulang tinggi dengan sebuah puncak yang lancip seperti sedang menohok ke langit. Ah betapa indahnya, kenangan saat-saat awal ketika saya masuk ke tempat kediaman baru, di Ketang. 

Bersambung.... 

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...