Tuesday, December 11, 2018

MENCIPTA LAGU-LAGU ADVENT

Oleh: Dr.Fransiskus Borgias MA.
Dosen Fakultas Filsafat UNPAR Bandung. Anggota LBI dan ISBI



Sekarang orang Katolik sedang memasuki masa Advent. Dulu kata Advent (Adventus) pernah diterjemahkan Penantian, sehingga Masa Advent menjadi Masa Penantian. Tetapi sekarang, setidaknya menurut pengamatan saya, istilah Masa Penantian itu sudah tidak begitu terdengar lagi. Jika orang mengetahui bahasa Latin memang terjemahan Penantian itu rada tidak cocok. Sebab kata Adventus itu berarti Kedatangan (dari akar kata kerja Latin Ad-venire).

Istilah itu dipakai untuk menunjukkan inti “masa” itu sendiri, yaitu masa kedatangan (Adventus) Tuhan Penyelamat. Jadi lebih tepat jika diterjemahkan “Masa Kedatangan”. Tetapi terjemahan “Masa Penantian” juga tidak seluruhnya salah. Sebab yang mau ditunjukkan dengan kata “Penantian” itu adalah sikap dan disposisi batin manusia yang sedang menantikan dengan penuh pengharapan kedatangan Tuhan yang “mendatangi” itu. Jadi, Adventus menekankan peristiwa itu dari pihak Tuhan yang “mendatangi”, mengambil prakarsa. Sedangkan Penantian menekankan peristiwa itu dari pihak manusia yang menanti, menunggu dengan penuh pengharapan.

Dinamika penantian dan pengharapan itu diungkapkan dengan salah satu praksis devosional masa Advent yaitu Lingkaran Advent. Salah satu unsur penting dalam lingkaran Advent ialah hijau daun cemara ever-green. Hal itu melambangkan pengharapan yang hidup dan membara dalam hati manusia. Hal lain yang mencolok dalam Lingkaran Advent ialah empat lilin yang tegak ke atas. Itu simbol gerak transendensi eksistensi manusia ke atas, kepada Allah, melampaui cakrawala dunia dan sejarah ini. Masih ada beberapa unsur lain yang tidak perlu dibahas di sini.

Dalam pengamatan saya Gereja Katolik membuat pembedaan yang tegas antara masa Advent dan masa Natal. Padahal suasana umum di luar Gereja, misalnya di Mall dan ruang publik lainnya, suasana dan nuansa Natal sudah sangat terasa dan tampak (misalnya, hiasan pernak-pernik natal, lagu Natal, dll). Bahkan ada himbauan agar selama masa Advent orang Katolik tidak/belum merayakan Natal atau Natalan (saya pahami Semacam Natal). Kegembiraan Natal itu harus ditunda sampai Malam Natal tanggal 24 Desember.

Tetapi saya adalah praktisi koor. Saya sangat merasakan sebuah paradoks. Yaitu, gereja belum (boleh) merayakan natal, tetapi koor-koor sudah menyanyikan lagu Natal saat mereka mengadakan latihan koor persiapan Natal. Bagi saya, paradoks itu sangat menarik. Perayaan Natal itu sendiri masih harus dinantikan, tetapi sementara itu saat ini hati dan budi kita sudah menikmatinya dengan menyanyikan lagu-lagu Natal itu dalam dan selama Latihan-latihan.

Realitas itu bagi saya membentuk satu paham teologis tersendiri: Hati kita seakan dibuat berharap-harap cemas menantikan datangnya kelahiran itu, dengan menyanyikan lagu-lagu Natal itu sekarang dan di sini dalam latihan sebagai antisipasi dan persiapan Natal. Hati kita seakan sudah dibuai dan didayu-dayu dengan nada Natal, sebelum Natal itu tiba. Buaian nada Natal itu, dengan satu dan lain cara telah menyuburkan hati, budi, dan imajinasi religius kita dalam persiapan menyongsong peristiwa Natal itu. Jadi, seakan kita mempersiapkan Natal dengan lagu-lagu Natal itu sendiri. Paradoksal. Tetapi itulah faktanya. Fakta itu tidak bisa disangkal. Tidak bisa dihindarikan. Tidak perlu juga.

Barangkali yang harus kita upayakan lebih gencar lagi ialah penciptaan lagu-lagu Adven yang lebih baru dan lebih banyak lagi. Sejauh yang saya amati, sampai saat ini, belum ada lagu Advent baru. Bahkan sebagian besar lagu Advent kita adalah warisan Gereja Barat. Hanya sedikit lagu ciptaan setempat. Mungkin dengan kekecualian yang saya ketahui yaitu di gereja Katolik Keuskupan Ruteng. Lagu Advent dalam buku Dere Serani sebagian besar terdiri atas lagu hasil karya komponis lokal Manggarai. Di tempat lain, saya belum merasakan dan menjumpai hal seperti itu. Lagu-lagunya berasal dari tradisi Eropa. Jelas ini adalah tantangan dan peluang bagi komponis gereja Lokal yang harus digerakkan dan dikoordinasi oleh komisi Liturgi untuk menciptakan lagu-lagu Advent.

Saya tidak begitu berbakat menciptakan lagu. Tetapi saya bisa menyumbang ide untuk isi syair. Misalnya dengan mengarahkan perhatian komponis pada sumber-sumber inspirasi untuk syair lagu Advent. Paling tidak untuk sementara ini saya melihat tiga sumber inspirasi yang boleh ditengok oleh komponis dan penyair.

Pertama, bacaan-bacaan liturgis yang dibacakan selama masa Advent. Liturgi Gereja Katolik menyusun sedemikian rupa teks-teks bacaan liturgisnya, sehingga memberi warna tersendiri untuk masa Advent itu. Kalau saya sebut bacaan liturgis, tentu yang saya maksud pertama-tama ialah liturgi ekaristi. Tetapi bisa juga menimba dari bacaan Offisi Ilahi. Kedua, doa-doa yang dipakai dalam dan selama masa Advent baik yang ada dalam buku bacaan Misa, maupun yang ada dalam buku Ofisi Ilahi. Perlu disadari bahwa dalam buku Ofisi Ilahi ada beberapa syair madah Advent yang indah. Isinya bisa dipergunakan sebagai sumber inspirasi bagi para komponis dan penyair untuk menyusun teks-teks lagu Advent.

Ketiga, sumber inspirasi itu bisa juga ditimba dari pernak-pernik praksis devosional selama masa Advent itu. Salah satu praksis devosional Advent ialah Corona Advent atau Lingkaran Advent. Ulasan dan penjelasan teologis tentang Corona Advent itu, bisa dipakai sebagai sumber inspirasi bagi teks lagu Advent. Hanya dengan cara ini, saya berharap bahwa masa Advent kita semakin bermakna, tidak lagi hanya kosong.

Mungkin praksis penghayatan Advent sudah tumpang tindih dengan masa persiapan Natal, tetapi hal itu tidak usah terlalu dicemaskan. Sebab masa penantian itu sejatinya “terarah” kepada yang dinantikan. Maka sukacita membayangkan tibanya yang dinantikan, bisa juga kita nikmati sekarang dan di sini dalam dan selama masa Advent.

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...