Monday, December 10, 2018

KERENTANAN HIDUP MANUSIA

Oleh: Dr.Fransiskus Borgias MA.
Dosen Fakultas Filsafat UNPAR Bandung; Anggota LBI dan ISBI.



Tahun 2008 silam saya pernah menulis sebuah artikel ilmiah tentang citra Gereja yang ramah. Artikel itu sudah dimuat dalam jurnal ilmiah Diskursus, pada STF Driyarkara, Jakarta, edisi Oktober 2008. Di sana saya menguraikan secara deskriptif dan argumentatif tentang beberapa aspek dari tindakan pertobatan Gereja Katolik, yang mendorong munculnya citra gereja yang ramah itu. Di situ saya menampilkan enam poin perubahan sikap gereja Katolik. Salah satu dari keenam poin perubahan itu adalah per-hati-an Gereja Katolik terhadap persoalan demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Gereja Katolik dalam sejarah dunia modern ini telah memberi per-hati-an yang penuh terhadap kedua permasalahan tersebut. Ini adalah sesuatu yang sejak awal mula tampak paradoksal, tetapi sesungguhnya hal itu sudah menjadi bagian utuh dari sepak terjang gereja Katolik itu sendiri dalam sejarah dan dalam kiprahnya di tengah dunia dan jaman ini.

Salah satu wujud nyata perubahan (metanoia) itu ialah kesediaan Paus Yohanes Paulus II untuk memohon ampunan atas pelbagai dosa dan kesalahan kemanusiaan yang pernah terjadi atau dilakukan di masa silam. Ketika mendengar hal ini saya langsung teringat akan kekerasan praksis inkuisisi yang dilakukan gereja pada abad pertengahan. Juga teringat akan praksis penjajahan terhadap dunia ketiga, seperti di Amerika Latin yang mendapat pengesahan rangkap, dari tahta suci Gereja dan dari Tahta dunia (Raja Spanyol dan Portugal pada masa itu).

Pada suatu saat saya meminjam buku dari perpustakaan CRCS-ICRS UGM Yogyakarta. Buku itu berasal dari seorang pengarang bernama Bryan S.Turner. judul bukunya sangat menarik: Vulnerability and Human Rights.

Saya langsung mulai membacanya dan saya merasa bahwa buku ini sangat penting dan menarik. Buku ini berbicara tentang fakta bahwa hidup manusia di dunia ini sangat rapuh (rentan). Ada pun hal itu disebabkan karena ada banyak faktor. Misalnya, hidup manusia bisa mudah menjadi rentan karena penyakit, atau karena pelbagai bencana alam, perang, penindasan, kekerasan, perbudakan, faktor perdagangan manusia (human trafficking). Dalam semua kondisi itu, memang hidup manusia menjadi sangat rapuh bahkan bisa masuk ke bawah zona ketidak-manusiawian yang akut dan menyedihkan. Dengan sangat mudah kita melihat betapa sedih nasib rakyat Suriah yang hingga saat ini masih dilanda perang saudara. Bencana alam (tanah longsor, gempa bumi, banjir, badai, letusan gunung berapi) masih terjadi di mana-mana; hal itu semua menyebabkan hidup manusia menjadi sangat menderita. Kira-kira hal seperti itulah yang menjadi topik utama dari buku Turner ini.

Lebih jelasnya Bryan S.Turner menguraikan tujuh pokok yang menjadi tujuh Bab utama dalam bukunya ini. Selanjutnya dalam tulisan ini, saya akan mencoba menguraikan secara singkat ketujuh pokok itu di bawah ini.

Pertama, ia berbicara tentang pelbagai macam kejahatan melawan kemanusiaan. Konotasinya yang terutama ialah menyangkut pelbagai macam kejahatan yang disebabkan oleh sesama, seperti perang, kekerasan, penindasan, kemiskinan, dan mungkin terutama proses pemiskinan. Kedua, karena adanya fakta kejahatan melawan kemanusiaan, maka hidup manusia menjadi sangat rentan, menjadi sangat serba rapuh. Fakta kerentanan itulah yang mendatangkan sengsara dan penderitaan dalam hidup manusia. Mulai dari Bab 3 sampai Bab 6 buku ini berbicara tentang hak-hak. Dalam Bab 3 misalnya, ia berbicara tentang hak-hak budaya (cultural rights) dalam keterkaitannya dengan teori pengakuan kritis. Dalam Bab 4 buku ini berbicara tentang hak-hak reproduktif dan seksual (reproductive and sexual rights). Dalam Bab 5 buku ini berbicara tentang hak-hak dari orang-orang yang cacat dan berkekurangan. Akhirnya dalam Bab 6, buku ini berbicara tentang hak-hak tubuh manusia, sebab ternyata tubuh sangat mudah menjadi objek manipulasi manusia sendiri, karena kata Michel Foucault, tubuh itu tidak pernah bersih dari efek budaya, tubuh selalu tampil dalam keadaan terkontamiasi oleh kultur.

Dengan ini dan di sini pembahasan tentang hak-hak itu sudah selesai. Lalu, akhirnya buku ini diakhiri dengan Bab 7 yang berbicara tentang fenomena yang disebut xenophobia (ketakutan akan suku bangsa lain) baik dalam bentuknya yang lama maupun terutama dalam bentuknya yang baru. Menurut pembacaan saya, dengan ini buku itu seakan-akan kembali lagi ke bagian awalnya, sebab dengan berbicara tentang xenophobia buku ini lagi-lagi berbicara tentang dunia yang, walaupun ada banyak derita dan sengsaranya, toh tetap mempunyai dasar dan alasan untuk selalu berharap dan tetap mempunyai perspektif untuk melakukan perbaikan dan pemulihan diri.

Kiranya hal-hal seperti itulah yang menjadi pesan pokok dari buku ini: kendati segala pengalaman negatif, dan segala pengalaman kegelapan, jangan sampai manusia dan kemanusiaan jatuh terjerembab dalam jurang keputus-asaan dan nihilisme yang absurd yang justru bisa mencelakakan manusia dan kemanusiaan itu sendiri. Syukurlah bahwa dalam pelbagai tradisi masyarakat di dunia ini selalu ada local wisdom dan perennial wisdom yang bisa menyelamatkan manusia, yang bisa menuntun manusia keluar dari lorong-lorong kegelapan dan lorong-lorong keputus-asaan. Selalu ada keyakinan bahwa Badai pasti berlalu, selalu ada optimisme ala R.A.Kartini: habis gelap terbitlah terang.


Nglempong Lor, 18 April 2012. Ditulis dan dikembangkan lagi di Nglempong Lor, Yogyakarta, 28 Februari 2013 (Ketika terjadi Sede Vacante di Roma).

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...