Tuesday, December 11, 2018

MEMAHAMI DAN MENIKMATI KIDUNG AGUNG 2:1-7

Oleh: Fransiskus Borgias M.
Dosen Teologi Biblika FF-UNPAR Bandung. Anggota LBI dan ISBI.




Puji-memuji yang dimulai dalam 1:9, berlanjut di sini. Dalam ay.1, si kekasih (perempuan) menyebut diri Bunga Mawar Saron dan bunga bakung di lembah-lembah. Para ahli sibuk mendiskusikan metafora bunga ini. Saya membacanya sebagai sebuah penghargaan-diri yang muncul dalam diri perempuan itu. Ia merasa kecantikannya bagai bunga langka.

Setelah memuji diri, dalam ayat 2 si kekasih itu memuji kekasihnya dengan memakai perbandingan pohon apel di antara pepohonan hutan. Si Perempuan dengan mudah mengenali dan membedakan kekasihnya itu di antara para pemuda, semudah ia mengenali dan membedakan pohon apel di hutan. Pengenalan itu dibantu oleh buah dan daun pohon tersebut. Daun apel itu rimbun dan subur sehingga bisa menjadi naungan. Buahnya manis dan lezat sehingga memanjakan langit-langit mulut orang yang memakannya. Itulah daya tarik pohon apel. Seluruh sosok kedirian yang terpancar dari kekasih pria mendatangkan rasa sejuk dan kenyamanan bagi kekasihnya (ay.3).

Dalam imajinasi cintanya, kekasih perempuan membayangkan bahwa kekasih pria mengajaknya ke rumah pesta (ay.4). Perempuan itu membayangkan bahwa perjalanan ke pesta itu penuh semarak, di mana kekasih pria mengaraknya dengan panji-panji meriah. Tetapi bagi si perempuan panji paling utama ialah cinta yang ia bayangkan berkibar di atas kepalanya. Membayangkan semuanya itu ia serasa gemetar karena terhanyut oleh suasana kemesraan cinta yang menyebabkan dirinya lemas dan dahaga. Itulah yang ia ungkapkan di bagian akhir ayat 5: sebab sakit asmara aku. Sakit asmara menyebabkan dirinya lemas dan dahaga. Itu sebabnya dalam ayat 5 ia berkata: “Kuatkanlah aku dengan penganan kismis, segarkanlah aku dengan buah apel.” Kismis dan apel terasa manis.

Ternyata imajinasi asmara dan kemesraannya tidak berhenti pada gejolak rasa rindu, melainkan terus melangkah ke bayangan akan kemesraan yang lebih dalam lagi dalam berpelukan (ay.6). Hal itu tampak dari apa yang dikatakan di sana: Tangan kirinya ada di bawah kepalaku. Tidak mudah memaknai hal ini. Tetapi saya memahami begini. Bagian bawah kepala ialah bagian belakang leher. Jadi, yang dimaksudkan ialah tengkuk. Tangan kiri kekasih pria melingkar di belakang tengkuknya dan tangan kanannya memeluk sang kekasih. Tetapi, sebagaimana sudah dikatakan dalam bagian awal uraian ini, tafsir Kidung Agung itu berada dalam alur alegori, perumpamaan yang menunjuk kepada realitas lain yang lebih dalam. Yang dibayangkan dalam alegori ini adalah intensitas relasi yang semakin intim dan dalam antara manusia dan Tuhan Allah. Bagi orang Kristiani, sebuah intensitas relasi antara manusia dan Kristus yang bermuara dalam pengalaman mistik, pengalaman keterhanyutan (extase) rohaniah.

Untaian ayat imajinasi-asmara ini ditutup dengan ungkapan yang tidak mudah. Saya memahaminya sebagai berikut. Sedemikian intensnya pengalaman imajinasi asmara itu sehingga bisa menimbulkan gejolak rasa yang tinggi. Tetapi ada juga tuntutan moral yang membatasi gejolak rasa itu. Para ahli berpendapat bahwa ayat ini menyimpan visi etis alkitabiah bahwa hubungan asmara intim harus ditunggu sampai tiba waktunya, yaitu dalam relasi yang tepat dan pantas, perkawinan. Sebelum itu, gejolak cinta jangan coba-coba dibangkitkan karena memang belum tiba waktunya (ay.7). Sadar akan bahaya itu, maka ia menegaskan perintah etis itu dengan perkataan yang keras (Kusumpahi...). Ia melarang para puteri Yerusalem agar tidak berpetualang dalam imajinasi asmara yang bisa berbahaya sebelum tiba waktunya. Sumpah itu diucapkan demi kijang-kijang dan rusa-rusa betina di padang. Mungkin yang ia maksudkan ialah bahwa dalam dunia rusa dan kijang itu, semua ada waktunya dan pada waktunya, termasuk relasi bercinta. Tidak bisa dan tidak boleh sembarangan. Kalau dipahami sebagai alegori, maka bisa dikatakan begini: relasi mistik dengan Tuhan adalah sesuatu yang sangat istimewa, sehingga butuh masa khusus, suatu tingkat kematangan rohani tinggi, bagi manusia untuk mengalaminya.

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...