Friday, April 17, 2020

MERENUNGKAN KURBAN ABRAHAM

Oleh: Fransiskus Borgias M.
Dosen dan peneliti Fakultas Filsafat UNPAR Bandung.



Abraham adalah tokoh besar dalam Perjanjian Lama, seorang Bapa Perjanjian. Kepadanya Tuhan telah memberikan sebuah janji keturunan yang besar dan banyak jumlahnya, sebanyak bintang di langit, dan butir pasir di tepi pantai (bdk.Kej.22:17, bahkan di bagian akhir ay 17 ini ada janji bahwa keturunan Abraham akan menduduki kota-kota musuhnya, semacam ekspansionisme politis dan teritorial). Jadi, betapa luar biasanya janji yang diucapkan Tuhan kepada Abraham. Tentu kita dapat dengan mudah membayangkan betapa Abraham menjadi sangat berbesar hati karena janji yang diucapkan Tuhan kepadanya. Ia sangat berharap bahwa hal itu akan terwujud. Kalau bisa dengan sangat segera, sekarang dan di sini. Bukan harus menunggu pada suatu saat di masa depan, sebuah rentang waktu yang tidak selalu sangat pasti, justru karena sifatnya yang mendatang, yang memang “mendatangi” namun ia mengalir dari sebuah tabir misteri masa depan yang tidak selalu serba pasti walaupun sangat dinanti-nanti dengan hati yang sangat berbakti.

Tetapi kita semua tahu bahwa sampai di senja usianya, ia belum juga mendapat seorang anak pun. Itulah sebabnya kata-kata perjanjian itu terasa sangat paradoksal, bahkan menjadi sangat tidak mungkin juga. Kita juga bisa membayangkan dengan pasti betapa penantian itu menimbulkan semacam keresahan di dalam diri Abraham. Lagipula pada saat itu isterinya, yang bernama Sara, pun sudah tua. Kedua orang itu, sepasang suami isteri, tetapi terutama Abraham, sudah “mati pucuk”. Itu adalah suatu keadaan tidak dapat bertunas dan suatu keadaan yang tidak dapat bertumbuh kembali (sebuah ungkapan atau metafora yang diambil dari dunia tetumbuhan). Menyadari kondisi sudah “mati pucak” seperti itu, tentu saja kita juga bisa membayangkan dengan sangat mudah bahwa Abraham, sebagai seorang manusia biasa, pasti menjadi sangat cemas dan gelisah memikirkan dan merenungkan masa depannya; intinya ialah, siapa yang akan meneruskan garis keturunannya di masa yang akan datang? Dari perspektif sekarang ini, hal itu sangat kelam, karena ia sudah “mati pucak”. Tidak ada sebuah jawaban yang serba pasti dan jelas. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bahwa tatkala Sara menyodorkan Hagar (sang budak dari Mesir) untuk dijadikan “isteri”, maka Abraham pun menerimanya, dan mungkin berharap ada secercah harapan di sana. Ternyata, ya. Hagar pun hamil dan melahirkan seorang putera yang diberi nama Ismail (Kej.16:1-4).

Tetapi itu bukanlah rencana Tuhan. Tuhan mempunyai rencana lain, yaitu memberikan “anak perjanjian” yang sah dari Sara, isterinya yang sah. Tidak lama sesudah peristiwa di bawah pohon di Mamre yang terkenal itu (Kej.18:1-16; khususnya ayat 10 yang relevan di sini), Sara pun hamil di usianya yang sudah sangat tua itu dan kemudian melahirkan anak Isaak, anak perjanjian (Kej.21:1-7). Ketika Hagar sadar bahwa ia hamil, ia memandang rendah Sara dan hal itu menyebabkan Sara sakit hati sehingga ia pun menindasnya. Hagar, rupanya termasuk kategori pembantu (yang kemudian berubah status menjadi isteri) yang tidak tahu diri: sesudah diangkat sang majikan, ia kemudian menghempaskan sang majikan itu sehingga sang majikan itu merasa sangat sakit hati dan menindasnya dengan sangat keras. Lalu Hagar lari dan di dalam pelarian itu ia dijumpai Tuhan, yang dinamainya El-Roi (Kej.16:13). Sang El-Roi itu menyuruhnya untuk kembali ke sang nyonya. Tetapi kemudian, setelah Ishak lahir, Hagar dan Ismail anaknya, diusir Abraham atas permintaan Sara. Tatkala melihat bahwa Ismail dan Ishak sedang bermain, Sara merasa tidak suka dan meminta agar Ismael dan ibunya diusir (Kej.21:10).

Lahirnya Ishak pasti mendatangkan rasa bahagia yang tidak terkira pada diri Abraham. Kita dapat membayangkan hal itu dengan mudah secara manusiawi, walau tidak ada data yang jelas tentang hal itu dalam Kitab Suci. Tetapi kita dapat membayangkan kebahagiaan itu dengan metode membaca hermeneutik, reading between the lines itu. Misalnya kita bisa merasakan sukacita dan kebahagiaan itu dari semua upacara yang dibuat Abraham bagi Ishak (Kej.21:4). Pasti Abraham merasa bahwa dalam diri Ishak ia tidak hanya melihat pantulan dirinya, tetapi juga melihat gambaran masa depannya yang sangat cerah. Ishak menjadi bagian dari diri Abraham. Ia adalah daging dari dagingku, dan tulang dari tulangku. Kiranya kata-kata Adam kepada Hawa dulu (Kej.2:24-25) bisa juga dipakai dan diterapkan di sini. Maka kita dapat membayangkan ada dan terbangunnya sebuah relasi yang akrab dan penuh kasih antara Abraham (sang ayah) dan Ishak (sang anak).

Tetapi betapa Abraham kemudian sangat terkejut dan bingung, karena Tuhan meminta agar ia mengorbankan anak terkasih itu di gunung Moria (Kej.22:1-19). Apa yang sudah didapatnya sebagai karunia, wujud janji masa depan, kini harus diserahkan kembali kepada Tuhan, harus dikurbankan/dipersembahkan kepada Tuhan. Kiranya Tuhan tidak main-main dengan hal itu. Abraham pasti kebingungan ketika mendengar hal ini. Tetapi betapa pun ia bingung, ia tetap mau melaksanakan tuntutan Tuhan itu. Ia pun pergi ke gunung Moria untuk mengurbankan Isaak, anaknya. Tuhan yang memberi, Tuhan yang meminta (mengambil kembali). Terpujilah nama Tuhan. Mungkin seperti itu gumam Abraham dalam hatinya, seperti gumam yang diucapkan oleh Ayub itu (Ayub 1:21). Ketika sudah tiba di gunung Moria, maka saat-saat dramatis itu pun akan segera tiba. Tetapi justru pada saat-saat dramatis itulah, Tuhan campur tangan, Tuhan menyediakan. Itulah detik di mana terjadi sebuah revolusi peradaban yang luar biasa di mana Kurban manusia diganti dengan kurban hewan. Pada detik itu, terjadilah sebuah perubahan yang sangat besar dalam sejarah peradaban agama-agama manusia. Mungkin selama itu, adalah sangat biasa orang mengurbankan manusia (khususnya anak-anak, terutama anak sulung) kepada para Dewa. Tetapi sejak drama Abraham di gunung Moria ini, terjadilah sebuah pembalikan. Manusia tidak lagi dikurbankan kepada para dewa, melainkan diganti dengan binatang.

Tetapi pada dasarnya kurban itu adalah suatu yang melekat pada diri kita manusia. Tendensi berkurban adalah suatu yang kuat melekat dalam peradaban manusia. Yang dikurbankan hendaknya, sesuatu yang ada pada diri kita, misalnya, diambil dari hewan peliharaan, bukan sesuatu yang dibeli. Sebab kurban pertama-tama adalah kurban hati, pikiran, dan rasa. Kurban itulah yang paling bermutu tinggi. Di dalam perkembangan sejarahnya, khususnya bagi penghayatan teologis orang Kristen kurban itu tidak perlu lagi sebab sudah ada kurban Kristus, yaitu kurban yang hanya satu kali tetapi untuk selama-lamanya (Ibr.7:27). Karena itu, orang Kristiani tidak perlu lagi mengulang kurban Abraham itu, sebuah drama kebengisan kolosal yang terjadi secara massal. Saya membayangkan betapa tangis pedih makhluk ciptaan yang disembelih itu, membumbung tinggi ke hadirat Tuhan yang menciptakannya.

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...