Tuesday, September 11, 2018

MENIKMATI KIDUNG AGUNG 1:1

Oleh: Fransiskus Borgias M.
Dosen Teologi Biblika FF-UNPAR Bandung.



Setelah dua tulisan pengantar singkat yang sudah terbit dua bulan kemarin, kini tiba saatnya bagi kita untuk mulai membaca dan menikmati kitab Kidung Agung ini, dari ayat ke ayat. Tentu ini bukan sebuah “perjalanan” yang singkat dan gampang. Butuh ketekunan dan keseriusan. Tetapi marilah kita berusaha bersama-sama dalam rangka memahami teks Kitab yang unik dan asyik ini. Saya akan mencoba membaca dan memahaminya sedapat mungkin dan kemudian men-sharing-kan hasil pembacaan dan pemahaman saya itu untuk para pembaca sekalian melalui media majalah komunitas ini. Kita akan membaca perlahan-lahan. Dari ayat ke ayat. Dari kata ke kata. Seperti menikmati sebuah hutan, tetapi dengan meneliti kayu demi kayunya, pohon demi pohon. Semoga kelak kita bisa memahami keseluruhan hutan itu setelah membedah isinya dengan tekun dan sabar.

Saya mulai dengan Kidung Agung 1:1. Inilah ayat yang paling pertama dalam kitab ini. Dalam ayat ini kita menemukan judul dari seluruh kitab ini. Di sana tertulis kalimat singkat berikut ini: “Kidung agung dari Salomo.” Ada dua konsep yang terungkap secara tersirat dalam baris pertama ini. Pertama, dalam baris pertama ini ada judul “Kidung Agung.” Itu adalah versi terjemahan bahasa Indonesia dari sebuah judul dalam bahasa Inggris yaitu Song of Songs. Dalam bahasa Latin ada judul Canticum canticorum. Mungkin dari segi cita-rasa bahasa modern hal itu (struktur terjemahan “Kidung Agung”) terdengar ganjil atau terasa aneh. Tetapi semua ungkapan itu (bahasa Indonesia, Inggris, dan Latin) merupakan terjemahan dari bahasa Ibrani yaitu “Syir Hasyirim”. Ungkapan itu sendiri dalam bahasa Ibrani merupakan sebuah bentuk superlatif (bentuk tingkatan tertinggi: baik, lebih baik, paling baik, good, better, best). Bentuk “superlatif” itu menandakan bahwa itu adalah “lagu yang paling indah”, “lagu yang paling cemerlang,” “lagu yang paling baik.” Bentuk tunggal dari kata benda (syir) itu menunjukkan bahwa karya itu harus dibaca sebagai sebuah unit (sebuah kesatuan), dan bukan sebuah antologi (bunga rampai, kumpulan dari beberapa “unit” yang bisa saja terlepas satu sama lain). Istilah Ibrani “syir” (atau kita kenal lewat bahasa Arab, syair, yang kini juga sudah menjadi salah satu kosa kata bahasa Indonesia) menunjukkan sebuah nyanyian yang penuh sukacita dan penuh semangat tinggi. Bukan lagu sendu, bukan lagu loyo-loyo atau lagu lemes. Bahkan diiringi dengan alat musik yang penuh dengan nada gembira dan semangat, nada-nada yang membangkitkan gairah dan semangat di hati para pendengarnya. Di sini para pembaca harus membayangkan musik iringan itu seperti musik irama padang pasir untuk mengiringi tari-perut yang sensasional itu.

Kedua, ada ungkapan “dari Salomo” (liselomoh). Ungkapan ini bisa dipahami dengan salah satu dari ketiga cara pemahaman berikut ini. Pertama, ungkapan itu paling sering diterjemahkan sebagai ungkapan yang mengkaitkan sang pengarang lagu dengan tokoh raja Salomo (tokoh yang diyakini sebagai tokoh paling bijaksana di seluruh bumi ini). Jadi, di sini terungkap keyakinan historis dasar bahwa pengarang kidung agung ini ialah raja Salomo. Dalam artian itu maka bisa diungkapkan secara lebih jelas dan lengkap sbb: Kidung Agung dari Salomo (sebagaimana sudah tampak jelas dari judul dalam alkitab kita). Kedua, ungkapan itu bisa juga berarti bahwa karya itu adalah sesuatu “yang dibaktikan kepada sosok atau tokoh Salomo.” (Jadi, belum tentu dari Salomo, melainkan berasal dari orang lain, tetapi dibaktikan kepada atau “dedicated to”, diperuntukkan bagi Salomo, sang raja Agung dan bijaksana). Ketiga, ungkapan itu juga bisa berarti bahwa Kidung itu ditulis menurut atau dalam gaya Salomo (sebagai seorang raja yang paling bijaksana dan dikagumi oleh banyak orang, the most wisest king in the world history) (bdk.1Raj 5:12). Ada sebuah pandangan bahwa Salomo telah menghasilkan sebuah gaya atau genre sastra tertentu, dan kidung Agung ini ditulis menurut gaya atau genre sastra Salomo. Tersirat pandangan bahwa Salomo bukan pengarang; ia hanya menginisiasi dan mengilhami sebuah gaya sastra. Dan pengarang yang menyusun Kidung ini, menyusun menurut genre-Salomo tadi, makanya dibaktikan kepada Salomo. Tetapi di sini saya mengikuti pandangan yang pertama. Bersambung.....


No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...