Thursday, August 9, 2018

SEJARAH PENERIMAAN KIDUNG AGUNG

Oleh: Fransiskus Borgias M.
Dosen Kitab Suci FF-UNPAR Bandung.



Pada akhir abad pertama Masehi, Kidung Agung bersama Amsal dan Pengkotbah diterima dalam Kanon Ibrani. Di sana, Kidung Agung terletak sesudah Rut dan sebelum Pengkotbah. Septuaginta dan Vulgata mempertahankan urutan Amsal, Pengkotbah, Kidung Agung. Ketiga kitab itu oleh kedua tradisi tadi ditempatkan bersama membentuk sastra Hikmat Kebijaksanaan.


Diterimanya kitab ini ke dalam kanon mempunyai konsekwensi tertentu. Yaitu tafsirnya pasti dipengaruhi tradisi yang lebih tua dan lebih kuat dalam Hukum dan Nabi. Dekalog menuntut kesetiaan mutlak Israel kepada Allah yang satu. Bentuk relasi manusia yang menuntut kesetiaan seperti itu ialah relasi wanita dan pria dalam perkawinan. Para nabi (Hosea, Yeremia, Yesaya) mengungkapkan relasi Israel dengan Allah dengan memakai ungkapan relasi perkawinan. Dengan itu mereka memberinya sebuah intensitas baru. Pada akhir abad pertama SM, Kidung ditafsirkan secara alegoris. Hal itu mencerminkan pengaruh tradisi yang lebih tua ini yang melihat dalam kitab itu gambaran singkat sejarah Israel mulai dari Keluaran sampai datangnya Mesias.


Rabi Akiba adalah yang bertanggung-jawab atas munculnya dorongan kuat untuk menafsirkan Kidung ini secara alegoris. Kalau Kidung itu hanya ditafsirkan secara harfiah (sebagai lagu keduniaan belaka), maka orang yang memakai tafsir seperti itu tidak akan ikut ambil bagian dalam dunia yang akan datang. Pengaruh Rabi Akiba begitu kuat sehingga tafsir alegoris ini pun akhirnya diterima umum.


Tatkala tafsir alegoris ini masuk ke dalam tradisi tafsir Kristiani awal maka tokoh-tokoh dalam kitab itu pun ditafsirkan secara baru juga juga. Misalnya, Mempelai pria adalah Kristus; Gereja adalah Mempelai wanita. Ini suatu perkembangan alamiah berdasarkan terang beberapa teks Kunci Perjanjian Baru (Mat 9:15; 25:1-13; Yoh 3:29; 2Kor 11:2; Ef 5:22-33; Why 19:6-8; 21:9-11; 22:17). Origenes mengembangkan alegori Kristus/Gereja. Kidung merupakan teks favorit pada masa Bapa Gereja awal dalam upaya mereka mengembangkan eklesiologi. Kitab ini melukiskan cinta yang segar dan muda berlawanan dengan latar belakang ciptaan baru, kasih perkawinan yang setia dan lemah lembut yang bersifat timbal balik. Origenes juga menerima kemungkinan untuk melihat jiwa individual dalam sosok Mempelai tadi. Tafsir ini diambil Gregorius Nyssa dan Ambrosius dan menerapkannya pada Maria. Kurun Abad Pertengahan menyaksikan kemekaran penuh dari pelbagai komentar atas Kitab ini. Bernardus Clairvaux menulis delapanpuluhenam kotbah tentang kitab ini. Ia menafsirkan kitab ini sebagai dialog antara Kristus dan jiwa orang Kristiani. Tradisi kaum Cistercian menyukai tafsir mistikal atas Kitab ini. Hugo dari Santo Victor dan banyak yang lainnya menerapkannya pada Maria.


Sejarah spiritualitas Kristiani menarik sangat banyak ilham dari Kidung Agung ini. Buku-buku yang menguraikan doa dan teologi doa sangat banyak mengutip kitab ini. Teresia dari Avila, Yohanes dari Salib, Luis de Leon menulis pelbagai komentar rohani tentang kitab ini. Tokoh-tokoh lain seperti Fransiskus dari Sales dan Teresa of Lisieux menulis banyak komentar juga tentang kitab ini dalam pelbagai tulisan mereka.


Tetapi liturgi Ekaristi tidak banyak mengambil dari kitab ini. Tahun ini hanya satu teks Kidung Agung yang dipakai dalam tahun liturgis: Tanggal 21 Desember, persiapan Natal, Kidung 2:8-14 dirangkai dengan Lukas 1:39-45. Dalam buku brevir ada cukup banyak teks Kidung Agung yang dikutip sebagai bacaan dalam Ibadat Bacaan.

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...