Monday, August 19, 2019

MEMAHAMI DAN MENIKMATI KIDUNG AGUNG 6:4-7:5

Oleh: Fransiskus Borgias M.
Dosen Teologi Biblika FF-UNPAR Bandung. Anggota LBI dan ISBI.



Jika dalam bagian terdahulu, kita mendengar pujian mempelai wanita akan mempelai pria, maka dalam bagian ini kita mendengar mempelai pria memuji mempelai wanita. Di sini mempelai pria memakai metafora kota sebagai ibarat kecantikan si perempuan (mempelai wanita). Ia menyebut nama dua kota yang indah, Tirza dan Yerusalem. (Tetapi jika tidak salah Tirza adalah nama lain untuk Yerusalem; jadi, ada satu kota saja). Keindahan kota itu (Yerusalem alias Tirza) ia jadikan metafora bagi kecantikan sang kekasih (ay 4). Secara khusus ia menyinggung mengenai keindahan sorotan mata sang kekasih yang begitu tajam, penuh pesona kelembutan yang menyebabkan dia bingung jika ditatap (ay 5a). Keindahan rambutnya ia ibaratkan dengan kawanan kambing yang turun bergelombang dari Gilead (ay 5b; bdk.4:1).

Metafora fauna ini dilanjutkan dalam ayat 6 di mana kekasih pria memakai perlambang kawanan domba untuk melukiskan keindahan gigi sang kekasih. Dalam ayat 7 kita melihat peralihan ke metafora fauna, di mana sang kekasih memakai buah tetumbuhan (flora) untuk melukiskan pelipis si nona cantik. Dalam ayat 8-9 kita temukan fakta bahwa si mempelai pria membandingkan kecantikan kekasihnya melampaui semua kekasih yang lain, yaitu enam puluh permaisuri (ay.8) dan delapan puluh selir, ditambah dara yang tidak terhitung jumlahnya. Tetapi kecantikan kekasih tetap tidak terkalahkan (ay 9). Karena itu para puteri memuji dia sebagai orang yang berbahagia begitu juga permaisuri dan selir.

Dalam bentuk pertanyaan retoris (ay 10) ia melukiskan kecantikan sang kekasih dengan memakai metafora astral (benda langit: matahari dan bulan). Tidak begitu mudah menafsirkan ayat 11-12. Tetapi bisa dikatakan bahwa dalam kedua ayat ini kekasih pria melukiskan kebingungannya saat berhadapan dengan kekasih yang cantik mempersona, tetapi sekaligus membingungkan saat dipandang (ay 11-12). Karena itu, ia pun dilanda rindu akan gadis itu, sehingga ia memanggilnya pulang dan berharap ia kembali kepadanya (ay 13). Dalam ayat 13b ada pertanyaan kepada sang kekasih pria itu, mengapa ia tertarik memandang gadis itu?

Jawaban atas pertanyaan ini ditemukan dalam ayat-ayat berikutnya. Singkatnya, ia tertarik pada gadis itu karena ia cantik. Dalam Kid 7:1, ia mulai melukiskan kecantikan wanita itu lewat pelukisan cara jalannya yang indah ditambah dengan wataknya yang tinggi (ay 1). Ia mengibaratkan keindahan lengkung pinggangnya dengan perhiasan hasil karya seniman. Satu persatu ia menyebut beberapa bagian indah dalam tubuh wanita, khususnya wanita Timur Tengah dulu yang pakaiannya terbuka pada bagian perut sehingga pusar kelihatan. Itu sebabnya dalam 7:2, kita membaca perbandingan pusar itu dengan memakai perlambang cawan bulat. Keindahan perut juga dilukiskan bagaikan timbunan gandum yang dipagari bunga-bunga cantik (ay 3).

Dari bagian bawah tubuh ia naik ke atas. Mula-mula ia melukiskan buah dada dengan memakai metafora dua anak rusa dan anak kijang kembar, metafora yang kita temukan sebelumnya. Kemudian ia naik ke leher. Ia lukiskan keindahan leher itu dengan metafora menara gading (ay 4). Lalu berturut-turut ia memuji keindahan mata dan hidung sang kekasih. Mata ia ibaratkan dengan telaga Hesybon, hidung ia ibaratkan dengan menara di gunung Libanon (ay 4). Dari situ ia naik ke kepala dan rambut, bagian tertinggi badan manusia. Kepala ia ibaratkan dengan bukit Karmel. Rambut ia ibaratkan dengan sesuatu yang merah lembayung. Benar-benar indah dan sempurna. Di hadapan keindahan sempurna itu, sang raja (kekasih tadi), seakan-akan terkesima dan seperti ditawan oleh daya sihir kecantikan yang terpancar dari kepang-kepang rambutnya yang indah.

Mungkin ada yang bertanya, mana nilai religius puji-pujian yang sekular ini? Seperti dikatakan pada pengantar untaian renungan ini, kita harus melihat semuanya sebagai alegori (perumpamaan) mengenai relasi cinta dan keterpesonaan manusia beriman di hadapan kebaikan dan keindahan anugerah Tuhan yang membuat dia terhanyut dalam keterpesonaan yang tiada tara.

Lingungan St.Margaretha Alaqoque.

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...