Monday, July 9, 2018

MEMAHAMI KIDUNG AGUNG

Oleh: Fransiskus Borgias M.
Dosen Kitab Suci Fakultas Filsafat UNPAR Bandung



Setelah kurang lebih sebelas tahun (2007-2018) kita “membaca dan menikmati” Mazmur, akhirnya bulan Juli 2018 ini, “ziarah” kitab Mazmur itu selesai. Saya berharap kita belajar sesuatu dari sana, diperkaya oleh pengalaman ziarah Mazmur itu. Sekarang kita bersiap-siap untuk sebuah ziarah panjang, ziarah rohani baru, menikmati Kidung Agung. Semoga Tuhan memberi kesempatan kepada kita untuk menyelesaikannya, sebagaimana kita menyelesaikan ziarah Mazmur.

Sebelum kita mulai membaca dan memahami kitab ini terlebih dahulu saya mengatakan beberapa hal sebagai pengantar. Semoga ini bisa mempermudah proses pembacaan dan pemahaman dan penikmatan nantinya. Saya berharap pembaca pernah membaca atau paling tidak pernah mendengar sesuatu tentang kitab ini sebelumnya.

Saat mulai menulis saya teringat akan pater Cletus Groenen OFM, profesor Kitab Suci saya di Seminari Tinggi Kentungan dan di skolastikat Fransiskan di biara St.Bonaventura Papringan, Yogyakarta. P.Groenen, panggilan akrabnya, suatu saat mengejutkan kami dalam kuliah, ketika ia berkata: “Bagaimana kitab ‘porno’ bisa masuk dalam kanon Kitab Suci?” Kami terdiam. Lalu ia tambahkan: “Baca saja sendiri, nanti kamu akan lihat betapa kitab itu vulgar menyebut beberapa tubuh perempuan”. Kami tetap diam. Lalu ia berkata: “Tetapi kitab itu jangan dibaca secara harfiah. Kita harus membacanya secara rohani, secara alegoris.” Tambah bingung. Alegori itu maksudnya “membaca sebagai perumpamaan”. Eksplisit menyebut A, tetapi yang dimaksud B, bahkan mungkin Z. Perlu seni dan kedalaman rohani untuk bisa melihat kaitan antara A dan B dan bahkan Z. Itulah alegori. Tidak berhenti pada level permukaan. Begitu pengantar singkat P.Groenen untuk Perjanjian Lama, termasuk Kidung Agung. Pendalaman lanjut saya peroleh dalam kuliah pater Dr.Wim van der Welden MSF.

Selanjutnya, saya mau mengatakan bahwa ini adalah kitab puisi yang merayakan dan mengagungkan cinta jasmaniah manusia. Tetapi mengapa dan untuk apa kitab semacam itu masuk ke dalam kanon? Itu pertanyaan pertama. Kitab ini juga jika dibaca untuk pertama kali tampak tidak mengandung “orientasi” keagamaan. Mengapa masuk kanon? Mengapa orang berlelah-lelah membaca, merenungkannya, dan menafsirkannya? Dan hal itu berlangsung lebih dari duaribu tahun. Agak sulit bagi kita menemukan tema biblis besar dalam kitab ini; misalnya, tema pilihan, perjanjian, nubuat, keselamatan, Hukum (Torah). Kalau mau jujur dalam kitab ini juga sulit ditemukan ajaran moral eksplisit. Lebih mengejutkan lagi, dalam kitab ini kita hanya temukan satu penyebutan eksplisit nama TUHAN (Kid 8:6). Selebihnya kita sia-sia mencari nama kudus itu.

Bagaimanakah kitab ini mengkomunikasikan “firman Allah?” Wahyu ilahi macam apa yang bisa ditemukan lewat medium pengalaman percakapan-percakapan cinta yang penuh gairah, lewat bahasa dan perlambang yang sangat sensual? Jika kita mencoba membacanya, apa yang bisa diperoleh? Pengalaman rohani macam apa? Bisakah kitab itu memperkaya secara rohani dan iman? Apakah isi kitab itu juga berfungsi dalam pewartaan, pelayanan, dan pengajaran? Kalau ya, seperti apa, dan bagaimana?

Itulah beberapa pertanyaan penting yang saya coba jawab dalam ziarah Kidung Agung ini. Semoga kita siap berziarah bersama. Berbeda dengan ziarah Mazmur, sekarang dalam ziarah Kidung Agung, kita berputar dahulu, mencari alat bantu dan bingkai pemahaman yang sama. Semoga kita bisa bersabar dalam ziarah ini. Selamat berziarah.


Nias 2, Awal Mei 2018

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...