Sunday, May 6, 2018

MEMAHAMI DAN MENIKMATI MAZMUR 150

Oleh: Fransiskus Borgias M.


Inilah mazmur Halel kelima. Mazmur ini diawali dengan pekik halel, pujilah Yahweh. Bahkan pekik HALELUYA itu menjadi judul mazmur 150 ini. Dengan demikian seluruh untaian mazmur dipuncaki dengan pekik HALELUYA. Mazmur ini sangat singkat. Hanya terdiri atas enam ayat. Karena itu saya tidak membaginya ke dalam unit-unit, melainkan menguraikannya sebagai satu kesatuan. Ada sesuatu yang sangat unik dalam ayat 1 ini. Kita diajak memuji Allah di tempat kudus-Nya. Itu berarti di Yerusalem. Jadi, semua diajak ke Yerusalem. Tetapi di ayat 1b ada sesuatu yang menarik lagi, sebab di sana manusia diajak memuji Tuhan di cakrawala-Nya. Artinya, kita memuji Tuhan dalam alam semesta, dan bersama dengan seluruh alam semesta. Butuh sedikit daya imajinasi untuk membayangkan pujian bercorak kosmis ini. Dalam ayat 2a diberi alasan untuk memuji Dia. Yaitu kita memuji Tuhan karena Ia kuat kuasa (perkasa). Dalam ayat 2b kita memuji Dia karena pujian itu adalah sesuatu yang layak dan pantas diberikan kepadaNya karena Ia agung dan mahadahsyat.


Dalam ayat 3 kita melihat bahwa pujian kepada Tuhan hendaknya dibantu dengan alat musik. Di sana disebutkan beberapa alat musik yaitu sangkakala, gambus dan kecapi (dua alat terakhir ini sudah disebut dalam mazmur 149). Ajakan memuji Tuhan dengan alat musik dilanjutkan dalam ayat 4. Di sini alat musik yang disebutkan khusus ialah rebana. Lalu dalam ayat 4a juga muncul unsur lain yaitu tari-tarian. Ini adalah bagian utuh dari gelombang sukacita pujian kepada Tuhan. Maka saya tegaskan lagi bahwa memuji Tuhan juga bisa diungkapkan dengan gerak tari yang ramai dan riuh rendah. Tidak perlu ada alergi terhadap gerak, terhadap tarian dalam ibadah. Dalam ayat 4b sekali lagi disebut alat musik kecapi dan ada tambahan alat musik seruling. Alat-alat ini dipakai untuk mengiringi pujian kepada Tuhan. Dalam ayat 5 muncul alat musik lain (termasuk kategori perkusi). Di sini disebutkan alat musik ceracap. Tiruan bunyi ceracap diulang secara variatif di sini (berdenting dan berdentang). Secara imajinatif saya membayangkan betapa ramai dan riuh rendahnya suasana puji-pujian yang diciptakan oleh perpaduan pelbagai musik, nyanyian, dan tarian itu. Semuanya menjadi hidup karena Tuhan. Semuanya menjadi hidup di hadapan Tuhan. Kiranya itulah yang mau ditegaskan dengan mazmur ini.


Akhirnya mazmur ini ditutup dengan himbauan bahwa semua makhluk hidup yang bernafas memuji dan memuliakan Tuhan. Dan yang bernafas itu tidak hanya manusia. Melainkan juga hewan dan tetumbuhan. Semua diajak ikut ambil bagian dalam pujian alam semesta. Semua diundang ikut ambil bagian dalam pujian kosmis. Sebagaimana biasa, mazmur ini juga diakhiri dengan pekik Haleluya, sebagaima pada awal. Di sini saya teringat akan puisi kosmis Fransiskus Asisi. Puisi itu (Laudato Si) kini terkenal lagi karena diangkat Paus Fransiskus menjadi judul salah satu ensikliknya (2015). Saya juga teringat akan nyanyian tiga pemuda dalam tanur api. Mereka memuji Tuhan alam semesta langit dengan mengajak semua unsur alam semesta dalam pujian agung. Untuk menutup uraian ini saya mengutip kitab Tambahan Daniel itu: “Pujilah Tuhan, hai matahari dan bulan, nyanyikanlah dan tinggikanlah Dia selama-lamanya. Pujilah Tuhan, hai segala bintang di langit, nyanyikanlah dan tinggikanlah Dia selama-lamanya. Pujilah Tuhan, hai segala hujan dan embun, nyanyikanlah dan tinggikanlah Dia selama-lamanya.” (Tamb Dan 3:62-64).


Canggu, Bali, Awal April 2018.

8 comments:

Unknown said...

Terimakasih atas refleksi iman dan takwa dari Mazmur puji-pujian nan agung ini. Bukan hanya makluk bernafas tapi seluruh alam semesta diajak untuk memuji dan memuliakan Allah yang mahabesar dan mahaagung

canticumsolis said...

Trims sudah sudi mampir di sini... sayang anda muncul tapi tanpa nama yg bisa dikenali.... tp sy yakin anda bukan mesin.... hehehe....

Unknown said...

Tulisan ini membuat mazmur ini menjadi lbh hidup buat saya. Terima kasih.

CIAR said...

Mantap sekali uraiannya. Mencerahkan.

Runa said...

Trimksih pak untk ilmunya sekaligus sebagai bahan refleksi bagi sya dan juga bagi kita (manusia* modern) yg mungkin sudah sedikit lupa dgn kealamiahan ciptaan Tuhan

canticumsolis said...

RONI trima kasih banyak sudah komentar di sini. Syukur jika berguna jg bagimu.... salam damai selalu...
Dr.Frans BM

canticumsolis said...

CIAR...
trima kasih banyak yah atas apresiasinya utk tulisan ini. syukur jika tulisan saya ini berguna bagi anda dan para pembaca yang lainnya.
Dr.Fransiskus Borgias MA.

canticumsolis said...

Saudara Awanama, UNKNOWN,
trima kasih telah sudi mampir di sini... trima kasih juga atas apresiasinya. syukur jika ini bisa membawa pencerahan bagimu. Salam damai...
Dr.Fransiskus Borgias MA.

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...