Wednesday, June 18, 2008

Menikmati dan Mengapresiasi Mazmur 22

Oleh: Fransiskus Borgias M (EFBE@fransisbm)

Kiranya judul Mazmur 22 ini akrab di telinga kita: Allahku, mengapa Kautinggalkan aku? Akrab karena ia menjadi salah satu refrein mazmur masa Prapaskah. Akrab juga karena dikutip Yesus dari atas Salib menurut kesaksian Mateus (27:46) dan Markus (15:34). Mazmur ini menjadi prototipe doa Yesus. Mungkin juga akrab karena merupakan pengalaman personal kita sendiri? Boleh jadi, ini sebuah pengalaman religius-negatif yang bersifat universal. Seluruh mazmur yang cukup panjang ini (32 ayat) berbicara tentang rasa sepi yang radikal dan eksistensial. Orang merasa ditinggalkan Allah. Allah seakan tidak mau menjawab si pemazmur (ay 2-3). Orang mengalami malam kegelapan jiwa, meminjam istilah mistik Yohanes a Cruce.

Menurut si pemazmur, pengalaman rohani-negatif ini aneh karena jika melihat sejarah, Allah-lah yang menyelenggarakan hidup leluhurnya. Tetapi mengapa sekarang Allah seakan menjauh? Ini pun tidak terjawab (ay.4-6). Karena seruan “ke atas” tidak berjawab, maka pemazmur mulai menukik ke dalam dirinya sendiri. Ia merenungkan dirinya sendiri, mencoba menjawab pertanyaan Who am I? Pemazmur pun sadar bahwa dirinya sangat rendah dan hina-dina (ay.5-9). Tetapi berdasarkan kesadaran diri ini, ia tetap berharap pada dan mengandalkan Allah. Karena itu ia kini tetap berdoa memohon penyertaan Allah (ay 10-12).

Situasi tragis yang dialaminya coba dilukiskan si pemazmur dengan memakai metafor binatang (ay.13-14). Ia merasa terhimpit bahaya yang mengancam yang disimbolkan dengan binatang raksasa yang bisa berbahaya. Situasi ini menyebabkan si pemazmur merasa dirundung rasa sedih yang mendalam (ay 15-16). Ia merasa tidak berdaya sama sekali. Sekali lagi, situasi ketidak berdayaan itu dilukiskan dengan metafor dalam ayat 17-19. Tidak ada lagi yang tersisa pada dirinya, bahkan tulangnya pun bisa dihitung. Begitu juga pakaiannya. Tetapi yang menarik ialah bahwa walau keadaannya sudah separah itu, ia tetap berdoa memohon kepada Allah, agar Ia sudi meluputkan dia dari mara bahaya yang mengancam hidupnya (ay 20-23).

Tidak lupa pemazmur mengajarkan sebuah perilaku religio-etis yang baik, yaitu tatkala sudah mengalami shalom Allah, kita tidak lupa berterima kasih, tidak lupa melambungkan lagu puji dan syukur kepada Allah. Sekarang ia merasa lega karena Allah sudi memandangnya. Sekarang ia tidak lagi ditinggalkan Allah (ay 23-25). Jadi, ada loncatan dari merasa ditinggalkan, ke merasa disertai Allah. Hanya tidak dijelaskan bagaimana loncatan itu terjadi. Yang jelas, sudah terjadi loncatan. Maka baik dalam bagian terdahulu maupun dalam bagian yang berikut ini tampak bahwa pujian dilambungkan ke hadapan hadirat Allah sebagai efek karya shalom Allah (26-27).

Sedemikian besarnya sukacita dan sorak sorai si pemazmur sampai ia merasa bahwa seluruh bumi ikut bersamanya memuji dan memuliakan Allah. Tidak ada lagi orang di bumi ini yang tidak ikut memuji dan menyembah Allah: orang sombong, orang yang sudah mati, angkatan yang akan datang, semuanya mewartakan karya tangan kanan Allah. Akhirnya, si pemazmur mengalami dan merasakan bahwa Allah itu baik dan adil. Keadilan Allah sudah terbukti sehingga sudah diwartakan terlebih dahulu. Ini sebuah kontradiksi yang dapat kita rasakan dalam ayat 32: Mereka akan memberitakan keadilan-Nya kepada bangsa yang akan lahir nanti, sebab Ia telah melakukannya. (EFBE@fransisbm).

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...