Tuesday, April 9, 2019

MEMAHAMI DAN MENIKMATI KIDUNG AGUNG 4:1-16

Oleh: Fransiskus Borgias M.
Dosen Teologi Biblika FF-UNPAR Bandung. Anggota LBI dan ISBI
.


Judul teks ini ialah “Mempelai Laki-laki memuji mempelai perempuan.” Ini adalah serangkaian pujian mempelai pria kepada mempelai perempuan. Pujian itu menggambarkan betapa mempelai laki-laki tertarik kepada mempelai perempuan. Sebaliknya mempelai perempuan suka akan pujian tersebut. Buktinya, ia tidak menolaknya. Kita bisa membayangkan betapa hati si perempuan berbunga-bunga mendengarnya. Mungkin perasaan itu tampak di wajahnya yang memerah yang membuatnya semakin mempesona. Ahli kitab berbicara tentang kesejajaran tematik antara Kejadian dan Kidung Agung, khususnya dalam misteri relasi pria-wanita. Misteri itu dalam Kejadian dilukiskan dengan kisah penciptaan wanita dari rusuk pria. Dalam Kidung Agung, misteri itu muncul dalam wujud rasa tertarik satu sama lain yang bermuara dalam nada saling memuji dan damba.

Dari awal sampai akhir teks, kita temukan pujian mempelai pria untuk melukiskan kecantikan kekasihnya. Pada ay.1 ia memuji kecantikan kekasihnya yang jelita. Lalu menyusul untaian metafora yang dipakai si pria untuk melukiskan kecantikan wajah dan kemolekan tubuh kekasihnya. Ada metafora yang asing bagi kita kini. Tetapi biar seperti itu. Dalam ayat 1b sampai 2 ada metafora-fauna karena si pria memakai gambaran beberapa hewan untuk melukiskan kekasihnya. Kelincahan gerak mata kekasih diibaratkannya dengan gerak lincah merpati (1b). Rambut gelombang kekasih diibaratkannya dengan kawanan kambing yang turun dari lereng gunung (1cd). Untuk melukiskan keindahan warna gigi ia memakai gambaran domba yang baru dicukur, yang warnanya putih kemerahan, subur dan kuat (ay 2). Di ayat 3 ia memakai metafora flora (kirmizi dan delima) untuk melukiskan keindahan bibir dan mulut serta keindahan pelipis. Dalam ayat 4 ada metafora militer (menara Daud) sebab ia menyinggung perlengkapan militer untuk melukiskan keindahan leher kekasihnya. Betapa ia sangat detail dan vulgar dalam melukiskan kemolekan tubuh kekasihnya sebab dalam ay 5 ia kembali memakai metafora fauna (dua anak rusa, anak kembar kijang) untuk melukiskan keindahan buah dada kekasihnya.

Dalam ayat 6 kita menemukan baris selingan yang melukiskan keinginan hatinya untuk pergi merengkuh tubuh kekasihnya yang menebar aroma semerbak. Ia ingin hal itu terjadi sebelum malam menjelang, saat bayang-bayang menghilang. Dalam ayat 7 ia kembali memuji kekasihnya seperti di awal ay 1. Hanya di sini ada tambahan yaitu kekasih itu tidak ada celanya. Ia mengharapkan kekasih itu turun dari gunung, yaitu dari aura keanggunannya yang biasanya membuat lelaki canggung, takut, dan juga minder oleh kecantikannya (ay 8). Di sini ia memohon agar kekasih turun dari aura keanggunan itu karena (ay 9) ia mengaku bahwa saat ia melihatnya ia tergetar (berdebar). Dalam imajinasinya ia membayangkan betapa cinta dia itu sangat indah dan nikmat melampaui anggur (ay 10), dan aroma kasihnya melampaui minyak wangi.

Ay 11 melukiskan tutur kata indah dan manis yang keluar dari mulut si kekasih (alat tutur: mulut, bibir, lidah). Walau ia merasa sangat mencintai dan rindu akan kekasihnya itu, tetapi ia sadar bahwa si kekasih itu masih dalam pingitan (ay 12). Di sana ia tetap menampakkan pesona kecantikannya (ay 13-14) setidaknya dalam imajinasi dan bayang-bayang kekasih pria yang merindu dan mendamba. Rindu dan damba itu akhirnya terlontar keluar dalam sebuah pujian akan sang kekasih dalam bentuk metafora natural berupa mata air, sumber air hidup, Fons Vitae, yang mengalir dari gunung Libanon (ay 15).

Akhirnya, sepanjang 15 ayat ini yang kita dengar hanya ekspresi verbal pujaan dan rindu kekasih pria. Baru dalam ayat 16 ini kita mendengar suara mempelai wanita yang bersama mempelai pria mengucapkan refrein cinta merangkum damba dan rindu. Kadang saya berpikir bahwa mungkin di sini mereka memadu kasih yang dilukiskan dalam metafora sangat halus: Angin utara (lambang damba pria), angin selatan (lambang damba wanita); keduanya bertiup dalam kebun dan dari sana terpancar aroma cinta. Lalu ditutup dengan metafora perpaduan kasih yang plastis: “Semoga kekasihku datang ke kebunnya, dan makan buah-buahnya yang lezat.” Mungkin ada pembaca yang bertanya, inikan kisah asmara? Ya, tetapi kisah asmara itu juga bisa menggambarkan relasi cinta antara manusia yang mendamba Tuhan Penciptanya.


Hotel/Resort I-Park, di Kaki Mount Seorak, South Korea, 2 April 2019.

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...