Oleh: Fransiskus Borgias M (EFBE@fransisbm)
Setelah berbicara tentang proklamasi teologis itu, maka dalam ayat 3-6, diajukan sebuah syair yang memuat syarat-syarat agar seseorang diperkenankan berdiam di Bait Allah. Menarik bahwa apa yang diajukan sebagai syarat dalam ayat 4 terkait dengan syarat-syarat etis. Di sana diajukan beberapa Kriteria. Kriteria pertama, orang yang boleh berdiam di rumah Allah ialah orang yang bersih tangannya. Ia tidak melakukan dosa, berdosa dengan kedua tangannya. Kriteria kedua, erat terkait dengan perkara hati. Orang ini juga harus orang yang berhati murni. Hanya hati murni saja yang berkenan kepada Allah. Allah tidak sudi kepada orang yang tidak tulus. Kriteria ketiga, erat terkait dengan kedua, yaitu orang yang tidak condong kepada penipuan. Hal ini terkait dengan kondisi hati yang tidak bengkang-bengkong. Akhirnya kriteria keempat ialah orang seperti itu tidak sudi mengucapkan sumpah palsu. Sumpah palsu adalah sumpah yang tidak berdasar, yang tidak keluar dari hati nurani yang bersih. Apalagi dalam sumpah itu orang membawa-bawa nama Allah. Ini yang paling memberatkan.
Kalau seseorang sudah memenuhi keempat tolok ukur itu, maka orang itu akan menerima berkat TUHAN. Selain itu ia juga akan mendapat keadilan yang berasal dari Allah. Hal itu pada gilirannya bisa mendatangkan shalom ke atas dia; ia selamat. Orang seperti itu, disebut “angkatan orang-orang yang menanyakan Dia, yang mencari wajah-Mu.” Menanyakan di sini berarti mencari tahu, menyelidiki untuk kemudian berserah-pasrah di hadapan wajah Allah.
Setelah dalam ayat 1-2 diwartakan sebuah proklamasi teologis, maka pertanyaan selanjutnya ialah siapa Raja Kemuliaan itu? Itulah yang coba dijawab dalam ayat 7-10. Kiranya kita akrab dengan ayat-ayat ini, karena ayat-ayat ini dipakai sebagai syair lagu Adven: Angkatkanlah kepalamu, gapura-gapura nan megah….etc. Jadi rancang bangun mazmur ini ialah sbb: mula-mula diwartakan tentang identitas Allah, lalu ditetapkan kriteria orang yang boleh berdiam di rumah Allah, akhirnya, proklamasi mengenai persiapan akan kedatangan Raja Kemuliaan di baitNya yang kudus.
Proklamasi persiapan itu dimulai dalam ayat 7 dengan sebuah pernyataan megah: Angkahlah kepalamu, hai pintu-pintu gerbang, dan terangkatlah kamu, hai pintu-pintu yang berabad-abad, supaya masuk Raja Kemuliaan! Ini diulang lagi dalam ayat 8. Terhadap proklamasi meriah itu diberi tanggapan berupa pertanyaan, yang seakan-akan tampil sebagai selingan yang tidak berarti, karena pertanyaan itu langsung dijawab dengan meriah. Pertanyaan “kecil” itu ialah: “Siapakah itu Raja Kemuliaan?” Terhadap pertanyaan itu diberi jawaban sbb: “TUHAN, jaya dan perkasa, TUHAN, perkasa dalam peperangan!” Sebuah proklamasi final yang amat agung, yang bermuara ke keyakinan iman. Pola ayat 7-8 kemudian diulang kembali dalam ayat 9-10. Tetapi ada perbedaan nuansa jawaban dalam ayat 10: sekarang TUHAN dinyatakan sebagai TUHAN semesta alam (seperti ayat 1-2). Dia tidak lagi sekadar TUHAN yang perkasa dalam peperangan, melainkan sekarang dirumuskan secara positif, yaitu TUHAN itu adalah Raja Kemuliaan!
Pengulangan ini membuat saya berpikir bahwa mazmur ini mulanya diciptakan sebagai syair nyanyian meriah dalam liturgi atau ibadat di Kenisah atau Bait Allah di Yerusalem. Maka tidak mengherankan bahwa mazmur ini banyak mengilhami komponis besar dunia dalam menyusun syair-syair nyanyian dengan mengambil tema teologis yang ditampilkan dalam mazmur ini.
No comments:
Post a Comment