Wednesday, July 16, 2008

Pekan Suci Pertama di Seminari

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)

Masa prapaskah sudah berlalu. Sekarang kami memasuki pekan suci. Ada yang unik dalam masa empat puluh hari ini di seminari. Setiap hari Rabu mulai Rabu Abu dan Jum’at (sampai Ju’mat Agung) kami hanya makan nasi dan sayur. Itupun sayur hambar, karena tidak digarami. Itulah pantang bersama kami. Tentu ada yang diam-diam melanggar hal itu dengan cara mencairkan garam terlebih dahulu malam sebelumnya. Besoknya tinggal dibawa ke ruang makan dan direcikkan di atas nasi dan sayur sehingga bergaram lagi. Saya teringat akan kebiasaan ayah saya di kampung. Setiap hari Rabu dan Jum’at selama masa puasa dan pantang, kami makan siang dengan menu sama: nasi dan sayur tanpa garam. Kami menikmati hal itu, walau tidak enak. Terasa betul bahwa garam itu perlu dan penting bagi kita. Dalam kondisi seperti itu, menanti makan malam yang bergaram adalah suatu yang indah. Di situlah saya merasakan apa itu harapan.

Masa puasa dan pantang itu sudah lewat. Kami memasuki pekan suci. Kebetulan saya terpilih sebagai anggota tim decorator di seminari di bawah pimpinan seniman kami, Pater Leo Perik SVD. Tugas kami ialah menghias gereja dan ruang makan dengan hiasan khas minggu palma, Kamis Putih, Jum’at Agung (kami sebut Jum’at Besar), Sabtu Suci dan Minggu Paskah. Itu sebabnya hari-hari ini bagi para dekorator menjadi hari paling sibuk dan melelahkan. Tetapi semuanya indah dan nikmat. Tugas ini adalah sesuatu yang bergengsi di seminari, karena tidak semua orang bisa dan dipercayai melakukannya. Hanya orang yang mempunyai naluri dan intuisi seni saja yang dipilih. Kami menjadi kelompok elit di tengah para seminaris lain.

Dari rangkaian acara yang dilakukan selama pecan suci ada satu yang menyentuh perasaan saya. Yaitu, ibadat ratapan atau lamentatio. Sesungguhnya ini tidak serba baru dalam pengalaman saya, karena sejak di SD saya sudah biasa dengan ibadat ini. Karena SD kami terletak di pusat paroki, maka SD kamilah yang dipercayai untuk melaksanakan ibadat ratapan itu. Jadi, tidak serba baru. Hal yang baru ialah lagu-lagu yang dipakai. Ada perbedaan antara yang dipakai di SD dulu, dan yang dipakai di seminari. Tidak seluruhnya saya lukiskan di sini. Ada perbedaan mencolok. Dalam syair lagu-lagu ratapan di SD dulu sentrum ratapan ialah Yerusalem, simbol manusia beriman. Antara lain berbunyi sebagai berikut: “Yerusalem, Yerusalem, kembalilah kepada Tuhan Allahmu.” Sedangkan dalam syair lagu ratap di seminari sentrum ratapan ialah diri sendiri. Antara lain bunyinya ialah “Dosaku, dosaku, betapa kejinya, jiwa, pulanglah pulanglah pulanglah kepada Tuhanmu.”

Selain detail perbedaan itu tidak ada lagi perbedaan lain yang mendasar. Upacara simbolisme lilinnya sama. Ada tiga belas lilin yang dipasang pada sebuah segitiga. Satu lilin di puncak segitiga. Biasanya lebih besar dari lilin-lilin lain. Masing-masing enam lilin di sebelah kiri dan kanan segitiga. Setiap kali ayat-ayat ratapan selesai dinyanyikan, satu persatu lilin dipadamkan mulai dari yang paling bawah. Demikian seterusnya sampai tinggal hanya satu lilin bernyala di puncak segitiga. Itulah simbolisme Yesus ditinggalkan satu per satu oleh para muridNya, sehingga Ia menderita sendirian. Salah satu penggal syair ratapan itu berbunyi: “Aku sendirian, menanti nasib, sahabat-sahabatku telah pergi, aku tiada dipeduli. Musuh-musuh datang menjemput, jatuhlah aku ke tangan durhaka.”

Ibadat lamentatio itu dilaksanakan pada pagi hari mulai dari hari Kamis Putih, Jum’at Agung, dan Sabtu Suci. Saya selalu merasa terharu dan sedih mendengarkan puisi-puisi itu dinyanyikan apalagi kalau yang menyanyikan adalah “the angelic voice” dari para siswa seminari yang masih duduk di kelas satu SMP yang suaranya belum pecah karena puber, tetapi masih murni. Itulah suara-suara emas di seminari. Dalam paduan suara sejenis di seminari mereka membawakan suara-suara tinggi. Semuanya indah. Apalagi kalau mereka membawakannya dengan penuh penghayatan dam perasaan.

Yang jauh lebih menarik ialah bahwa di balik nada-nada sendu ratapan itu, sudah terbayang cahaya cemerlang kebangkitan. Nada-nada sendu kelabu tidak selamanya membungkus nurani kami dalam melankoli, melainkan fajar pagi yang merekah di Minggu Paskah sudah selalu memancar dari dalam hati kami. Itulah cahaya iman. Diam-diam kami sudah merasakan gema-gema nada-nada regina caeli yang seakan-akan sudah bernada ria abadi: Regina Caeli laetare Alleluia, Quia quem meruisti portare, Alleluia, Resurrexit sicut dixit, Alleluia, Ora pro nobis Deum.

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...