Showing posts with label untaian-mazmur. Show all posts
Showing posts with label untaian-mazmur. Show all posts

Monday, October 3, 2016

MEMAHAMI DAN MENIKMATI MAZMUR 130

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Judul Mazmur ini dalam Alkitab kita ialah “Seruan dari dalam Kesusahan.” Konon ini mazmur favorit Martin Luther. Ia sangat menyukainya. Kiranya tidak hanya bagi Luther. Bagi kita juga demikian. Sebab Mazmur itu berperan besar dalam liturgi kita, terkait dengan tobat. Mazmur ini juga dipakai sebagai salah satu mazmur dalam doa malam (completorium) terutama pada hari Rabu. Mazmur ini termasuk pendek (hanya 8 ayat). Salah satu hal yang mencolok ialah ia mulai dengan individu, tetapi lalu menjadi kolektif. Saya tidak membagi Mazmur ini ke dalam unit-unit. Saya akan membahasnya dengan melihat dinamika isinya dari ayat ke ayat.

Dalam ayat 1 dilukiskan bahwa ia berseru dari sheol. Dalam Alkitab kita kata sheol itu diterjemahkan dengan “jurang yang dalam”. Pemazmur melukiskan keadaan hidupnya, bahwa ia sudah berada dalam situasi keterpurukan, berada dalam ngarai yang dalam. Itulah fakta kesusahan yang digunakan dalam judul mazmur ini. Pasti di sana ada kegelapan, kelembaban, sebab sinar matahari tidak bisa masuk. Ini adalah garis besar yang mencoba mengungkapkan fakta bahwa ia merasa tidak pantas untuk berdiri di hadapan (menghadap) Allah. Walaupun ia berada dalam sheol itu ia tetap berseru kepada Allah. Dalam ayat 2 ia memohon agar Allah mau mendengarkan doa dan seruan permohonannya. Tentu ini sebuah paradoks: merasa tidak pantas menghadap Allah, tetapi tetap berseru memohon kepada-Nya.

Dalam ayat 3 ia mengungkapkan alasan ia memohon ampunan, yaitu bahwa sebab tanpa ampunan Allah, orang tidak dapat hidup. Jadi, ampunan dan belas kasih Allah menjadi prasyarat bagi manusia untuk hidup di dunia ini. Menurut ayat ini, orang hidup dari belas kasih dan ampunan Allah. Ide ampunan di sini diungkapkan dengan ungkapan “melupakan”. Tuhan diharapkan tidak lagi mengingat-ingat (alias melupakan; amnesia) kesalahan-kesalahan yang dilakukan manusia dalam hidupnya di dunia ini. Sebab kalau Tuhan mengingat semuanya itu, maka tidak ada manusia yang bisa bertahan hidup di hadapan pengadilan dan hukuman Allah.

Lalu dalam ayat 4 ia mengungkapkan keyakinan dasarnya yaitu bahwa Allah mau mengampuni. Ampunan Allah itu dimaksudkan agar ada sikap takwa dari pihak manusia, sebab ia yakin bahwa sikap takwa itu adalah buah hasil dari ampunan dan belas-kasih Tuhan. Perubahan dalam hidup manusia ke arah ketakwaan, bisa muncul karena rahmat ampunan Allah. Dengan demikian perubahan itu adalah peristiwa rahmat juga. Dalam ayat 5 si pemazmur melukiskan bahwa ia menantikan Tuhan dalam sheol, dalam ngarai, tempat ia meringkuk dan terpuruk, Ia menantikan ampunan dan belas-kasihan Allah. Ia menantikan firman-Nya. Menurut saya, kiranya itu sebabnya Mazmur ini (dalam Liturgi gereja Katolik) banyak dipakai dalam masa Advent dan Natal, sebab pada masa liturgis itu kita didorong untuk menantikan (mengharapkan) belas-kasih dan rahmat Allah sendiri.

Dalam ayat 6 pemazmur memakai sebuah metafora yang sangat baik untuk melukiskan pengharapan dan penantiannya. Ia memakai ibarat penjaga kota untuk melukiskan intensitas dan kedalaman penantiannya akan Allah. Ibarat itu dipakai sebanyak dua kali. Situasi penjaga kota ini penting dan genting. Giliran jaga pagi, yang berlangsung kira-kira pada jam 3-6, memang paling gawat. Mengapa? Pada jam-jam tersebut, para penjaga biasanya dilanda rasa kantuk yang sangat berat; udara pagi sangat dingin; sementara itu ada ancaman panah musuh. Bila para penjaga yang berdiri di atas benteng penjagaan, memandang ke bawah, maka akan tampak gelap. Semuanya tampak samar-samar karena tertutup kabut. Tetapi konon pemandangan dari bawah ke atas kelihatan sangat jelas dan terang. Karena itu mereka yang berada di atas menara benteng jaga itu mudah sekali menjadi sasaran empuk para pemanah musuh yang menyusup dan mengintai dari bawah. Itulah situasi genting yang dialami oleh para peronda yang berjaga di atas benteng kota. Dalam situasi kegentingan seperti ini, mereka sangat berharap pada pertolongan dan campur tangan Allah.

Akhirnya dalam ayat 7-8 terjadi sebuah loncatan besar: yaitu loncatan dari doa pribadi (ayat 1-6) ke doa umat atau menjadi doa umat. Di sini terjadi pergeseran besar. Di sini ada sebuah seruan pemazmur agar bangsa Israel berharap pada Allah, sebab Allah itulah penyelamat. Pemazmur berdoa, bukan lagi demi kepentingan pribadinya, melainkan demi kepentingan Israel. Berdasarkan pengalaman historis, pemazmur yakin bahwa Tuhan itu penuh kasih setia dan sering bertindak untuk membawa shalom bagi Israel. Hal itu bisa terjadi tepat pada waktunya. Tidak ada pihak lain yang bisa mendatangkan pembebasan dan penyelamatan bagi Israel selain Tuhan Allah (ayat 8). Itulah keyakinan pokok pemazmur. Ia sungguh yakin bahwa shalom (keselamatan, damai sejahtera) adalah kata terakhir yang berasal dari Allah, dan bukan sheol. Sheol itu hanya sebuah eksistensi semu belaka.

Bandung, 05 Agustus 2009
Dosen Teologi Biblika, UNPAR Bandung.


Thursday, September 1, 2016

MEMAHAMI DAN MENIKMATI MAZMUR 129

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Pengalaman penderitaan bisa dialami manusia sejak masa muda. Bentuk penderitaan itu, terutama adalah penderitaan yang disebabkan orang lain. Ada orang lain di sekitar dia yang tega mendatangkan sakit dan penderitaan itu kepadanya. Misalnya, mencelakakan dia, meracuni dia, ataupun menjelek-jelekkan namanya tanpa bukti dan fakta. Kiranya hal seperti itulah yang dilukiskan si pemazmur dalam mazmur ini. Mazmur ini dalam Alkitab kita berjudul “Terluput dari kesesakan”. Pengalaman penderitaan menyebabkan orang menderita kesesakan tidak lagi secara jasmani, melainkan terutama secara rohani dan psikologis (walaupun keduanya bisa tampak secara jasmani). Mazmur ini cukup pendek, hanya terdiri atas 8 ayat. Mazmur ini dimasukkan dalam kategori mazmur ziarah (mazmur yang dipakai saat orang mengadakan ziarah ke Yerusalem).

Berdasarkan dinamika internal teks itu sendiri, mazmur ini dapat dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama: ayat 1-3. Bagian kedua: ayat 4. Bagian ketiga: ayat 5-8. Jika dilihat berdasarkan pola struktur seperti ini, maka tampak bahwa mazmur ini terdiri atas dua lembar “pigura” (ay 1-3 dan ay 5-8) yang dihubungkan dengan sebuah engsel di tengah sebagai pemersatu (ay 4). Lembar pigura yang satu (ay 1-3) melukiskan nasib pemazmur. Lembar pigura yang lain (ay 5-8) melukiskan nasib orang yang mendatangkan penderitaan dan kemalangan atas si pemazmur dan kelompok orang yang bersama dengan dia. Kedua lembar pigura ini dihubungkan dengan satu ayat penghubung yang sangat penting, sebab di dalam ayat ini dilukiskan tindakan yang dilakukan Tuhan (ay 4). Ini adalah campur tangan Tuhan dalam derita manusia.

Saya mulai dengan melihat pigura pertama (ay 1-3). Di sini dilukiskan derita yang dialami pemazmur sejak masa mudanya. Ada sekelompok orang (mereka) yang mendatangkan kesesakan atas hidup si pemazmur. Hal itu sudah dilakukan sejak ia masih muda (ay 1-2). Tetapi, biarpun ia mengalami kesesakan itu, ia tidak mati. Mereka tidak dapat mengalahkan dia. Dalam ayat 3 pemazmur memakai sebuah metafora untuk melukiskan dahsyatnya sengsara dan deritanya. Ia melukiskan bahwa ada pembajak yang membajak di atas punggungnya. Kiranya yang dimaksudkan di sini adalah bentuk penindasan dalam relasi pekerja (buruh) dan majikan. Tidak main-main. Para pembajak itu membuat alur-alur bajak yang panjang. Betapa itu mendatangkan sengsara dan rasa sakit yang luar biasa. Ini adalah metafora untuk penindasan yang didatangkan para penguasa dan penindas atas orang yang mereka kuasai dan tindas. Itulah lukisan tentang situasi derita dan kemalangan si pemazmur yang ditimpakan orang lain.

Tetapi itu bukanlah kata terakhir bagi hidupnya. Sebab dalam ayat 4 kita melihat tindakan Tuhan yang melakukan campur-tangan atas hidup si pemazmur. Tuhan tidak membiarkan situasi penindasan itu berlangsung terus menerus tanpa jalan keluar dari kemelut. Dalam situasi seperti ini, Tuhan bertindak untuk menunjukkan kasih-setia dan keadilanNya. Hal itu ditampakkan Tuhan dengan memotong tali-tali orang fasik. Dengan tindakan ini, maka orang fasik tidak mampu lagi mendatangkan sengsara dan penindasan atas orang lain. Tali-tali adalah alat penindasan dan penyiksaan. Jika Tuhan sudah bertindak memutuskan tali-tali itu, hal itu berarti Tuhan menghentikan penindasan dan kekerasan yang dilakukan sekelompok orang atas sekelompok orang lain yang biasanya lebih lemah. Karena tindakan Tuhan, maka alat penindasan para penindas (tali) sudah terputus dan tidak bisa dipergunakan lagi.

Setelah campur tangan Tuhan, maka dalam bagian berikut kita melihat pelukisan nasib orang jahat yang mendatangkan sengsara dan penindasan atas sesamanya. Pertama, dalam ayat 5 dilukiskan bahwa orang yang membenci Sion akan mendapat malu. Rupanya penindasan yang disinggung dalam bagian terlebih dahulu, ada kaitannya dengan perilaku para bangsa terhadap Sion. Para pembenci Sion tidak akan hidup lama. Mereka memang bisa bertumbuh tetapi akan cepat layu dan mati. Itulah makna ungkapan yang muncul dalam ayat 6 di mana nasib orang-orang tersebut dilukiskan secara metaforis dengan rumput di atas sotoh (atap rumah berbentuk datar). Di sana tidak ada tanah. Memang sesuatu bisa tumbuh, tetapi tidak bisa bertahan lama karena tidak ada tanah dan kena sinar panas matahari. Tanpa campur tangan para pemangkas dan penyabit sekalipun rumput yang tumbuh di atas sotoh akan mati sendiri (ayat 7).

Bila melihat nasib orang seperti itu, maka orang yang menyaksikannya akan mendapat simpulan yang jelas: mereka tidak diberkati Tuhan (ayat 8). Karena itu, maka mereka cepat mati, tidak bertahan hidup. Atas mereka itu, tidak ada orang yang mengucapkan berkat atas nama Tuhan. Bahkan sebaliknya, atas mereka diucapkan kutuk dan sumpah serapah. Karena campur tangan Tuhan, maka orang yang menderita kesesakan pun luput (dinyatakan dengan jelas dalam judul mazmur).

Jadi, berkat campur-tangan Tuhan, maka masalah derita dan kemalangan dalam hidup manusia bisa teratasi. Tuhan bertindak dengan cara memutuskan dan menghilangkan alat-alat penindasan yang selama ini ada di tangan penindas. Campur-tangan Tuhan tentu mendatangkan pembebasan dan sukacita.

Bandung, Mei 2016.
Dosen Teologi Biblika, FF UNPAR Bandung.


Wednesday, August 3, 2016

MEMAHAMI DAN MENIKMATI MAZMUR 128

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Judul mazmur ini dalam Alkitab kita ialah “Berkat atas rumah tangga”. Mazmur ini juga masih termasuk dalam kategori mazmur Ziarah. Mazmur ini terdiri atas enam ayat. Ada banyak rumusan dan persepsi mengenai orang yang bahagia dan kebahagiaan (hidup bahagia). Hidup bahagia itu sendiri, menurut Failasuf Aristoteles, adalah tujuan dasar hidup manusia. Manusia hidup untuk menjadi (mencari, mengupayakan) bahagia. Kebahagiaan itu bisa didefinisikan secara ekonomis, psikologis, sosiologis, moral. Tetapi dalam Mazmur 128 ini ada sebuah definisi teologis mengenai orang yang berbahagia dan kebahagiaan.

Menurut ayat 1, ada dua kriteria bagi orang yang berbahagia. Pertama, orang yang berbahagia adalah orang yang takut akan TUHAN. Ketakutan yang dimaksudkan di sini, bukanlah sebuah ketakutan yang biasa, seperti takut akan setan, takun akan binatang buas, atau takut akan kegelapan, ketakutan akan ketinggian, ketakutan akan ruang tertutup. Semua jenis ketakutan ini adalah sejenis phobia. Ketakutan yang terutama dimaksudkan di sini bukanlah semacam fobia itu. Melainkan rasa takut yang suci, yang biasanya disebut dengan kata lain yaitu takwa, sebuah rasa takut yang suci.

Kedua, orang yang berbahagia adalah orang yang hidup menurut jalan TUHAN. Jalan Tuhan yang dimaksudkan tentu saja hukum Taurat dan juga para nabi dan pelbagai wejangan kaum berhikmat. Ayat 1 di atas tadi menetapkan sebuah syarat teologis-vertikal untuk kebahagiaan itu. Ayat 2 menetapkan sebuah syarat manusiawi-horizontal untuk kebahagiaan itu. Menurut ayat 2 ini, orang disebut berbahagia dan baik keadaannya jika orang itu menikmati hasil jerih-payah dan kerja-tangannya sendiri. Itulah kebahagiaan seorang manusia, yaitu jika ia beres dalam relasinya dengan Tuhan dan juga beres dengan relasinya dengan dirinya sendiri.

Sekarang dalam ayat 3, ditunjukkan secara jelas mengenai buah hasil dari hidup yang berbahagia itu, atau hasil dari relasi yang serba beres itu. Di sana disebutkan dua pihak lain dalam hidup berumah-tangga. Pertama, ialah isteri, dan kedua ialah anak-anak. Secara eksplisit disebutkan di sana bahwa dalam relasi hidup yang beres dan benar itu, sang isteri akan menjadi seperti pohon anggur yang subur. Pohon anggur itu bisa hidup subur karena ada kondisi yang memungkinkan hal itu terjadi, ada kesuburan. Maka pohon anggur itu, bisa bertumbuh subur dan tentu saja diharapkan akan berbuah banyak juga. Begitu juga halnya dengan anak-anak. Mereka menjadi seperti tunas pohon zaitun. Kedua pohon ini, anggur dan ziatun, adalah pohon yang sangat penting dalam kehidupan orang-orang Israel dulu. Dua pohon itu sering sekali dijadikan sebagai tanaman yang diupayakan dan dibudidayakan untuk kehidupan manusia. Jika kedua hal ini terjadi, yaitu ketika kehidupan isteri dan anak-anaknya hidup bahagia, maka itu adalah kebahagiaan sejati bagi seorang pria, seorang ayah, seorang suami. Ia akan mendapatkan dan mengalami sebuah situasi ketenangan rohani dan jasmani.

Tetapi sekali lagi di dalam ayat 4 itu ditekankan sebuah syarat, yaitu orang laki-laki yang takut akan Tuhan. Jika orang hidup dalam ketakutan akan Tuhan, maka orang itu akan diberkati Tuhan. Relasi yang benar dengan Tuhan, juga akan menentukan relasi yang benar dengan Sion, dengan Yerusalem, tempat kudus milik Tuhan sendiri. Dikatakan dengan jelas dalam ayat 5, Tuhan akan memberkati dia dari Sion, agar orang itu bisa menyaksikan dan mengalami Yerusalem yang berbahagia, makmur dan damai sejahtera. Kalau Yerusalem mengalami situasi damai-sejahtera, maka orang bisa datang berziarah ke sana dengan tenang, tanpa ada rasa ketakutan sama sekali. Tidak ada kecemasan dan gelisah, misalnya karena takut akan musuh yang tiba-tiba datang menyerang. Kondisi tenang dan penuh damai-sejahtera ini juga menjadi “hadiah” bagi orang yang hidup dalam relasi yang baik dan benar dengan Tuhan.

Dan akhirnya, orang yang hidup dengan baik dan benar juga akan diberkati dengan umur panjang. Memang umur panjang, dalam pandangan Perjanjian Lama, adalah pertanda bahwa orang itu mendapat rahmat dan perkenanan Tuhan sendiri. Umur pendek, atau mati muda adalah pertanda keadaan terkutuk. Oleh karena seseorang itu berusia panjang dalam hidupnya di dunia ini, maka ia bisa menyaksikan anak-anak cucunya. Umur panjang juga termasuk salah satu berkat yang berasal dari Tuhan sendiri. Kiranya bagi orang ini, tidak berlaku apa yang dikatakan dalam Mazmur 90:9: “Sungguh, segala hari kami berlalu karena gemasMu, kami menghabiskan tahun-tahun kami seperti keluh”. Oleh karena itu, kiranya dapatlah dipahami bahwa untaian mazmur ini di akhir ayat 6 ditutup dengan sebuah seruan tentang Damai sejahtera atas Israel.

Bandung, Mei 2016.
Dosen Teologi Biblika, UNPAR Bandung.


Friday, July 1, 2016

MEMAHAMI DAN MENIKMATI MAZMUR 127

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Mazmur ini dalam Alkitab kita mempunyai judul berikut ini: “Berkat TUHAN pangkal selamat.” Keselamatan bisa terjadi karena berkat Tuhan. Tentu itu adalah sebuah pengalaman iman yang snagat menarik. Mazmur ini termasuk dalam kategori sebuah mazmur ziarah. Tetapi di sini diberikan sebuah keterangan khusus, yaitu nyanyian ziarah Salomo. Judul mazmur di atas tadi kiranya sudah menggambarkan seluruh isi mazmur itu sendiri. Tidak ada sumber lain bagi shalom kita, selain Tuhan itu sendiri. Oleh karena itu, manusia tidak boleh mengharapkan keselamatan dari sumber-sumber yang lain.

Ada dua aktifitas hidup manusia yang diangkat si pemazmur di sini untuk melukiskan penyelenggaraan Tuhan atas hidup manusia. Kedua aktifitas itu termasuk dalam kategori aktifitas dasar dalam hidup manusia. Pertama, ialah aktifitas membangun rumah. Rumah adalah tempat tinggal, dalam artian bangunan fisik, sebuah space. Tetapi rumah juga di sini bisa diartikan secara rohani. Yang dimaksudkan ialah hidup rumah tangga, hidup keluarga itu sendiri yang memang tinggal dalam sebuah rumah, sebuah home sweet home. Upaya manusia membangun “rumah” dalam artian luas tadi, akan menjadi sia-sia jika upaya itu tidak dilakukan dalam dan bersama Tuhan. Atau kalau upaya itu dilakukan tidak dalam kesadaran akan kuasa kasih dan penyelenggaraan Tuhan sendiri. Kiranya itu sebabnya dalam pelbagai kebudayaan orang selalu membangun rumah dengan diawali dengan sebuah ritual tertentu, ritual membangun rumah.

Kedua, aktifitas mengawal kota. Ini adalah tugas para peronda atau penjaga malam. Tugas ini dimaksudkan untuk menjaga dan menjamin keamanan kota. Tugas utama mereka ialah untuk bisa mengetahui apakah kota itu aman, apakah tidak ada musuh yang datang menyerang. Menurut si pemazmur, tugas ini juga akan menjadi sia-sia belaka, jika dilakukan tanpa bantuan Tuhan sendiri. Itulah pokok yang diungkapkan dalam ayat 1 mazmur ini.

Ayat 2 cukup sulit juga untuk dipahami. Di sini dilukiskan mengenai kesibukan dan aktifitas manusia, mulai dari pagi hari hingga malam hari. Tentu yang dimaksudkan di sini adalah aktifitas pekerjaan manusia di siang hari; aktifitas yang baik-baik maksudnya (bukan merampok, membunuh, mencuri, membunuh, korupsi, dll). Semuanya itu akan terasa sia-sia juga kalau tidak dilandaskan pada iman akan Tuhan. Sebab hasil dari usaha dan jerih payah manusia tidak lagi ditentukan oleh manusia itu sendiri, melainkan oleh campur tangan Tuhan sendiri. Buah hasil upaya manusia, yaitu roti atau makanan, pada akhirnya diberikan oleh Tuhan sendiri kepada orang-orang yang dikasihiNya. Dan yang menarik ialah bahwa justru buah hasil upaya itu diberikan oleh Tuhan pada waktu si manusia itu tidur. Dengan kata lain, buah hasil itu bukan jerih payah manusia, melainkan rahmat dan kasih Allah belaka.

Ayat 3-5 mengandung suatu isi yang lain sama sekali. Di sini kita dapat melihat sebuah lompatan. Di sini pemazmur berbicara tentang anak dan keturunan. Anak-anak (walaupun disebut secara eksplisit di sana, anak-anak lelaki, tetapi kiranya saya mau memperluasnya juga kepada anak-anak perempuan) adalah milik pusaka dari Tuhan. Seperti kata Kahlil Gibran, anak-anak adalah milik sang Pencipta. Mereka datang melalui orang tua yang melahirkan, tetapi mereka (anak-anak tadi) bukanlah milik mereka (orang tua). Mereka adalah upah yang diberikan atau berasal dari Tuhan (ay 3). Anak-anak itu adalah kebanggaan. Terutama anak-anak yang dilahirkan pada masa muda. Anak-anak itu, diibaratkan sebagai anak panah di tangan para pahlawan (ay 4).

Dalam ayat 5 kita menemukan sebuah metafora yang lain. Seorang pahlawan (ksatria) biasanya membawa bekal senjata busur dengan tabung anak panah yang penuh terisi. Seorang pahlawan seperti itu menjadi ibarat bagi orang yang mempunyai anak di masa mudanya. Orang seperti ini dinilai perkasa dan mempunyai otoritas (kewibawaan) dan kekuatan di mata masyarakat, di ruang publik (ay 5). Jika ia tampil berbicara di ruang publik (pintu gerbang) maka ia tidak akan mendapat malu, dan tidak ada musuh yang bisa membuatnya takut dan gentar di pintu gerbang kota.

Ketika membahas poin terakhir ini, saya tergelitik untuk bertanya bagaimana dengan orang yang tidak mempunyai anak? Dalam bingkai konteks Perjanjian Lama, di satu pihak, hal itu dianggap sebagai sebuah kutukan (terutama bagi kaum perempuan yang tidak bisa memberi anak dan keturunan bagi suaminya). Tetapi di pihak yang lain, dalam Perjanjian Baru kita menemukan pujian bagi rahim yang tidak pernah mengandung, dan susu yang tidak pernah menyusui (Luk 23:29). Para pembaca Katolik cenderung membaca teks ini dan mengkaitkannya dengan cara hidup para perawan yang tidak menikah. Tetapi kiranya ada cara baca yang lain yang mengkaitkan teks ini dengan sebuah bingkai visi akhir jaman (eskatologi). Bahkan mereka dipuji jauh lebih berbahagia daripada semua yang lain. Ini juga sebuah paradoks dalam pandangan hidup manusia. Tidak selalu mudah untuk memahaminya. Tetapi paradoks akan berhenti menjadi indah jika selalu bisa dijelaskan dan dipahami.

Bandung, akhir Maret 2016
Fransiskus Borgias M. (Dosen Teologi Biblika FF-UNPAR Bandung).

Sunday, May 8, 2016

MEMAHAMI DAN MENIKMATI MAZMUR 126

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Mazmur ini dalam Alkitab kita mempunyai judul menarik: “Pengharapan di tengah-tengah penderitaan.” Mazmur ini terdiri atas enam ayat. Jadi, mazmur ini termasuk cukup pendek. Judul itu mengandung sebuah paradoks yang tidak selalu mudah untuk dihayati: berharap di tengah himpitan derita. Memang penderitaan adalah sebuah pengalaman negatif. Tidak jarang pengalaman negatif itu bisa membuat manusia jatuh terjerembab dalam situasi putus-asa. Tetapi ternyata dalam refleksi si pemazmur ini, situasi penderitaan justru membangkitkan pengharapan. Tidak selamanya penderitaan itu membelenggu manusia. Gelombang penderitaan itu ada akhirnya juga. Itulah yang menjadi keyakinan si pemazmur di sini. Pada saat itulah ia akan mengalami situasi keceriaan, situasi penuh sukacita dan tawa.

Itulah sebabnya begitu seseorang keluar dari sebuah kungkungan pengalaman negatif, ia tidak pernah menduga bahwa hal itu terjadi. Ia bahkan menduga bahwa itu mungkin hanya sekadar sebuah mimpi saja. Tetapi ternyata tidak. Itu adalah pengalaman yang amat nyata: Tuhan memulihkan keadaan Sion (ay 1). Ketika hal itu terjadi maka kita menjadi sangat bersukacita, penuh tawa gembira, lidah bersorak-sorai (ay 2). Perasaan hati, diungkapkan lewat mulut, lewat lidah, lewat alat tutur kita. Maka orang-orang lain di sekitar kita pun bisa melihat pengalaman sukacita itu. Bahkan mereka juga bisa melihat pengalaman penyelamatan yang dikerjakan Tuhan.

Itu sebabnya dalam ayat 2bc kita melihat para bangsa bersaksi mengenai perbuatan ajaib yang telah dikerjakan Tuhan bagi umatNya. Mereka menegaskan kembali pengalaman mukjizat itu sehingga harus diungkapkan dalam rasa sukacita yang besar (ay 3). Di ayat 4 ada sebuah permohonan agar Tuhan sudi memulihkan keadaan umat sebagaimana Tuhan memulihkan batang air kering di tanah Negeb. Tidak jelas bagi saya, mukjizat historis mana yang dimaksudkan di sini.

Lalu disusul dengan ayat 5 yang sangat terkenal itu: “Orang-orang yang menabur dengan mencucurkan air mata, akan menuai dengan bersorak-sorai.” Di sini dilukiskan sebuah paradoks: apa yang awalnya dilakukan dalam suasana duka, akan diakhiri dalam suasana sukaria. Pengalaman paradoksal itu dilanjutkan terus dalam ayat 6, masih dengan memakai ungkapan yang diangkat dari dunia pertanian. Ini adalah sebuah paradoks dalam pekerjaan pertanian, mengolah ladang.

Ketika orang mengolah ladang, orang bersusah payah, berlelah-lelah, badan menjadi letih, menjadi sakit karena kerja keras. Tetapi aktifitas bercocok-tanam itu selalu dibingkai sebuah bayang-bayang dan harapan bahwa suatu hari kelak, apa yang telah ditabur itu akan menghasilkan buah berlimpah. Saat ditanam atau ditaburkan, memang penuh dengan keletihan badan. Tetapi nanti, saat dituai, dipanen, ada juga kerja-keras untuk melakukan hal itu, tetapi lebih banyak ditandai oleh pengalaman sukacita dan sorak-sorai.

Semua itu terjadi di dalam Tuhan dan karena Tuhan. Jerih-payah yang dikeluarkan dalam proses mengolah ladang dan menabur benih, dibayang-bayangi dengan harapan bahwa nanti akan ada hasil dari bumi yang melimpah, yang bisa menjamin hidup dan masa depan. Tidak akan ada kelaparan dan segala macam penyakit yang terkait atau disebabkan oleh kelaparan tersebut. Jerih-payah bertani selalu dilakukan dalam bingkai musim panen kelak. Derita saat ini selalu dihayati dalam bingkai harapan bahwa semuanya akan segera berlalu. Harapan selalu lebih besar daripada himpitan derita. Itu pesan dasar mazmur ini bagi kita sekalian. Hiduplah selalu dalam perspektif pengharapan. Itulah inti dari hidup dalam iman. Hidup dalam pengharapan adalah tanda adanya iman dan hidup yang ditandai oleh harapan dan iman itu hanya dimungkinkan dalam landasan dan bingkai kasih.

Bandung, akhir Desember 2015.
Oleh: Fransiskus Borgias M.
Dosen Teologi Biblika FF-UNPAR Bandung.


MEMAHAMI DAN MENIKMATI MAZMUR 125

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Pertama-tama perlu diingat bahwa untaian mazmur ini adalah termasuk salah satu dari untaian nyanyian ziarah yang dipakai saat orang-orang Israel mengadakan perjalanan ziarah ke kota Yerusalem. Saya sendiri belum pernah sampai ke Yerusalem. Tetapi dari kesaksian orang dan catatan geografis yang hingga saat ini bisa saya dengar dan saya ketahui, jelas bahwa dulu ketika para peziarah itu (umumnya berjalan kaki) melihat kota Yerusalem dari kejauhan maka tampak bahwa daerah itu dikelilingi gunung-gunung. Bukit Sion terletak di tengah-tengah untaian gunung-gunung tersebut.

Lalu dari situ muncullah sebuah bayangan keagamaan (imajinasi religius) bahwa kota itu akan aman terus-menerus karena musuh tidak mungkin datang menyerangnya, sebab secara geografis ia tampak seperti sangat terlindung (ada benteng alami berupa gunung-gunung). Tentu saja secara historis anggapan dan keyakinan itu salah besar, sebab dalam kenyataannya sepanjang sejarah sudah terbukti bahwa kota itu menjadi sasaran empuk serangan para bangsa (Asyur, Babel, Mesir, Helenis, Romawi, Arab, bahkan Eropa modern juga).

Untuk sementara kita lupakan dulu fakta sejarah tragis itu. Pokoknya yang jelas bahwa bagi si pemazmur-peziarah itu, Sion yang terletak di atas bukit dan juga dikelilingi oleh gunung-gunung, menjadi sumber rasa aman bahkan rasa damai sentosa. Kota itu tidak akan pernah goyah untuk selama-lamanya (ay 1). Kota Yerusalem yang terlindungi oleh gunung-gunung itu, dalam imajinasi religius si pemazmur-peziarah dibayangkan sebagai perlindungan Tuhan bagi umat-Nya. Dikatakan di sana bahwa sebagaimana Yerusalem itu aman karena dikelilingi gunung-gunung, demikian juga umat Tuhan menjadi aman karena Tuhan menjadi gunung yang melindunginya; dan hal itu berlangsung selama-lamanya (ay 2).

Setelah melukiskan Israel, Umat Tuhan, sekarang dilukiskan mengenai nasib para bangsa lain di sekitarnya. Dikatakan bahwa kekuasaan para bangsa lain (yang di sini dilambangkan dengan tongkat kerajaan) akan musnah karena mereka adalah orang-orang yang fasik (ay 3). Bahkan kerajaan itu akan goyah di atas tanah yang tidak akan mereka miliki untuk selamanya, sebab dalam kenyataannya tanah itu diundikan kepada orang-orang yang benar (ay 3b). Hal itu terjadi, agar orang-orang yang benar hidupnya, tidak sampai jatuh terseret kepada kejahatan juga; agar mereka tidak tertular oleh perilaku jahat (ay 3cd).

Tetapi serentak disadari juga bahwa hal itu tidak selalu mudah. Hal itu tidak terjadi secara otomatis, seperti membalikkan telapak tangan. Selalu ada kemungkinan dan ancaman untuk terseret kepada hal-hal yang jahat. Maka dalam ayat 4 si pemazmur memohon kepada Tuhan agar Tuhan sudi membuat kebaikan kepada orang-orang yang baik dan tulus hati (ay 4ab). Hanya pertolongan Tuhan sajalah yang membuat orang bisa terluput dari hal-hal negatif (dosa dan kefasikan) dalam dan selama hidupnya di dunia ini. Si Pemazmur-peziarah juga memohon agar Tuhan mengenyahkan orang-orang fasik, orang-orang jahat, orang-orang yang suka menyimpang ke jalan yang berbelit-belit (ay 5). Siapakah yang dimaksudkan dengan kelompok orang seperti ini? Tidak selalu mudah untuk menjawabnya.

Tetapi kiranya, yang dimaksud dengan ungkapan yang terakhir ini ialah orang yang suka kepada perilaku kejahatan dan kemudian berusaha membenarkan perilaku jahat itu dengan kelicikan kata-kata lewat pengadilan. Proses seperti ini berbelit-belit dan menimbulkan banyak kesulitan dan kerepotan hidup. Model orang seperti itu tentu sangat menyakitkan dan kiranya juga tidak disukai. Karena itu, pemazmur memohon agar orang seperti itu hendaknya dienyahkan oleh Tuhan. Tetapi kita tidak bisa memaksa Tuhan mengabulkan permohonan itu. Kita harus dengan hati lapang membiarkan Tuhan bertindak dalam kasih dan keadilan dan hukum-hukumNya. Hanya Tuhan yang tahu apa yang terbaik.

Bandung, akhir Desember 2015.
Oleh: Fransiskus Borgias M.
Dosen Teologi Biblika FF-UNPAR Bandung.


Tuesday, March 8, 2016

MEMAHAMI DAN MENIKMATI MAZMUR 124

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Dalam mazmur 124 ini terungkap sebuah kesadaran diri orang Israel yang muncul setelah mereka merenungkan kembali perjalanan dan sejarah hidup mereka. Dalam sejarah hidup mereka sudah muncul sangat banyak para bangsa yang berniat untuk menyerang dan menghancurkan mereka. Dikatakan di sana bahwa para bangsa itu berniat untuk menelan mereka hidup-hidup (ay 3a); para bangsa itu murka sampai bernyala-nyala amarahnya terhadap mereka (ay 3b). Bahkan disebut juga di situ unsur alam yaitu air. Dikatakan bahwa air itu mengancam untuk menghanyutkan hidup mereka (ay 4a), dan menenggelamkan mereka (ay 4b dan 5).

Tentu yang diingat atau dibayangkan pemazmur di sini adalah ancaman para bangsa dalam perjalanan mereka keluar dari tanah Mesir menuju ke Tanah Terjanji. Dalam konteks permenungan historis ini, maka air yang dimaksudkan tadi tentu saja adalah air laut Teberau (Laut Merah; Kel 14:15-31) dan juga air sungai Yordan (Yos 3), tatkala orang-orang Israel menyeberangi keduanya demi menghindarkan diri dan menjauh dari orang-orang Mesir yang mengejar mereka. Itulah shalom yang dialami secara sangat nyata oleh Israel dalam renungan pemzmur ini. Dan semuanya itu bisa terjadi, tidak lain hanya karena Tuhan memihak mereka (ay 1.2). Karena pertolongan Tuhanlah maka mereka selamat, luput dari serangan para lawan, juga luput dari ancaman alam berupa air (laut dan sungai). Tanpa pertolongan dan campur tangan Tuhan, maka mereka pasti sudah binasa semuanya. Tanpa sisa apa-apa lagi. Mungkin hanya tinggal kenangan belaka.

Dari dan atas dasar pengalaman inilah maka mengalirlah lagu ucapan syukur dalam sisa-sisa ayat mazmur ini. Karena Tuhan sudah meluputkan mereka, maka mereka pun melambungkan puji-pujian kepada Tuhan yang tidak menyerahkan mereka kepada gigi para musuh mereka (ay 6). Pengalaman shalom yang berasal dari Allah itu juga menjadi nyata dalam pengalaman terluput seperti burung yang luput dari jerat penangkap. Bahkan tidak hanya luput saja, jerat itu sendiripun sudah putus (ay 7); kalau jerat itu sudah putus, maka itu berarti sudah tidak ada ancaman lagi. Betapa sangat aman dan nyamannya hidup tanpa ancaman. Itulah shalom yang berasal dari Allah sang sumber shalom itu sendiri. Sebaliknya, betapa sangat tidak nyamannya hidup yang selalu dibayang-bayangi oleh ancaman. Kiranya itulah sebabnya mazmur ini diberi judul yang menarik, “Terpujilah Penolong Israel.”

Pengalaman shalom, aman, tenteram itulah yang dipadatkan dalam rumusan keyakinan iman terakhir dalam ayat 8 itu, yang kiranya sangat terkenal di telinga dan hati kita karena sering sekali dipakai sebagai sebuah doa: “Pertolongan kita adalah dalam nama Tuhan, yang menjadikan langit dan bumi.” Sang pencipta langit dan bumi menjadi sumber pertolongan dan keselamatan kita. Kiranya tidak ada lagi sumber shalom yang lebih tinggi dan lebih mantap dan meyakinkan dari itu sebab shalom itu berasal dari sang pencipta itu sendiri. Maka segala macam bentuk ancaman kehidupan menjadi relatif, menjadi tidak berarti apa-apa lagi sebab kita mengalami sumber pertolongan dan shalom itu dari Tuhan sang pencipta itu sendiri.

Bandung, akhir Desember 2015.
Oleh: Fransiskus Borgias M.
Dosen Teologi Biblika FF-UNPAR Bandung.

MEMAHAMI DAN MENIKMATI MAZMUR 123

Oleh: Fransiskus Borgias M.


Judul mazmur ini ialah “Berharap kepada anugerah TUHAN.” Memang hidup kita ini dilandaskan pada anugerah Tuhan semata-mata. Bahkan hidup kita ini seluruhnya adalah anugerah Allah belaka yang diberikan secara cuma-cuma kepada kita, gratia gratis data. Tuhan yang telah memberikan rahmat kehidupan ini kepada kita. Maka dalam segala hal, kita harus senantiasa mengarahkan pandangan dan hati kita kepada-Nya. Tuhan yang bertahta di surga menjadi arah dan tujuan pandangan mata kita untuk memohonkan bantuan dan berkat untuk hidup ini (ay 1).

Hal itulah yang dilukiskan dalam mazmur ini dengan mengambil metafora hubungan antara tuan-puan dan para hambanya (ay 2). Dikatakan di sana bahwa para hamba laki-laki dan hamba perempuan memandang kepada tangan tuan dan puannya (ay 2bc) untuk memohon belas kasihan dan pemahaman. Memang para hamba dulu selalu siap-sedia untuk menunggu perkataan dan arah tangan sang tuan menunjuk dan memberi perintah atau mengatur segala pekerjaan yang harus dilakukan. Si Pemazmur mengambil metafora itu untuk melukiskan kesetiaan jiwa manusia untuk menantikan petunjuk dan perintah dari Tuhan. Kita memandang kepada Tuhan dengan tujuan agar Tuhan akhirnya berbelaskasihan kepada kita dan mengasihani kita (ay 2de).

Hal itu kita lakukan karena kita sedang dalam keadaan kesusahan hidup. Hal itulah yang coba dilukiskan secara sangat singkat dalam kedua ayat yang terakhir (ay 3-4). Pemazmur memohon kepada Tuhan agar Tuhan sudi mengasihani dia karena mereka sudah lama mengalami penghinaan. Sedemikian lamanya mereka mengalami penghinaan itu sampai dikatakan bahwa mereka sudah kenyang dengan penghinaan itu (ay 3). Karena ia memakai kata kenyang, berarti itu menyangkut perut, atau tubuh secara keseluruhan. Dalam ayat 4 ia menyinggung jiwa yang juga menderita karena olok-olokan orang-orang yang merasa aman. Dikatakan bahwa jiwa pun sudah kenyang dengan olok-olokan itu. Jadi penderitaan itu menyangkut jiwa dan badan (terwakili oleh perut). Suatu pelukisan pengalaman derita yang bersifat menyeluruh.

Saya tergelitik untuk bertanya, siapakah orang-orang yang menghina dan mengolok-olok kelompok pemazmur ini? Di ayat 4 disebutkan dua kelompok orang. Pertama, orang-orang yang merasa aman, dan kedua orang-orang yang sombong. Kedua kelompok ini pada dasarnya satu dan sama saja. Tetapi ada baiknya kalau dilihat secara lebih rinci. Orang-orang yang merasa aman ialah orang yang merasa hidupnya serba berkecukupan secara ekonomis dan sosial. Dalam keadaan seperti itu, orang lalu menjadi tidak tahu diri dan cenderung meremehkan orang lain yang dipandangnya tidak beruntung. Biasanya orang seperti ini juga, walau tidak semua tentu saja, mudah menjadi orang yang sombong alias tinggi hati. Dari sikap batin seperti inilah, maka mereka mudah menjadi angkuh dan menghina serta mengolok-olok orang lain. Tidak jarang penderitaan batin (psikologis) akibat penghinaan seperti ini menjadi sangat berat sehingga orang hanya berlari kepada Tuhan untuk memohonkan perlindungan dan juga jalan keluar dari kesesakan. Hal seperti itulah yang dilakukan si pemazmur di sini. Mereka berharap Tuhan menjadi benteng hidup mereka (bdk.Mzm 27:1; Yer 16:19).

Bandung, akhir Desember 2015.
Oleh: Fransiskus Borgias M.
Dosen Teologi Biblika FF-UNPAR Bandung.


Sunday, January 10, 2016

MEMAHAMI DAN MENIKMATI MAZMUR 122

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Ada banyak alasan untuk melakukan sesuatu, termasuk alasan untuk berdoa. Dalam Mazmur ini diberikan alasan mengapa orang harus berdoa bagi Yerusalem. Mazmur 122 ini cukup singkat; hanya 9 ayat. Karena itu saya tidak membaginya menjadi beberapa unit. Saya membahasnya sebagai satu kesatuan. Judul mazmur ini ialah sbb: “Doa sejahtera untuk Yerusalem.” Judul ini dengan tepat mengungkapkan isi pokok Mazmur ini. Bersama dengan Mzm 120-134, Mazmur ini termasuk dalam kategori Mazmur ziarah. Biasanya dipakai oleh para peziarah ketika mereka berziarah ke Yerusalem.

Maka dalam ayat 1 pemazmur langsung melukiskan suatu pengalaman religius yaitu satu perasaan sukacita ketika ada orang yang mengajak dirinya untuk pergi ke rumah Tuhan. Ajakan seperti itu membuat dia merasa senang. Ada sebuah disposisi batin dalam diri pemazmur untuk mengarahkan orientasi sukacitanya ke rumah Tuhan. Beda dengan orientasi rasa sukacita kita sekarang: lebih bersukacita kalau diajak ke mall, ke tempat rekreasi, dll. Tidak hanya berhenti pada ajakan saja, melainkan mereka sungguh-sungguh melakukan ziarah itu, sehingga dalam ayat 2 dikatakan bahwa mereka sudah berdiri di pintu gerbang kota tujuan ziarah, Yerusalem. Jadi, rumah Tuhan itu ialah Yerusalem sebab di sana ada Bait Allah.

Selanjutnya bagian sisa mazmur ini (ayat 3-9) berbicara tentang Yerusalem itu. Ada beberapa hal yang diungkapkan di sana. Pertama, ada pelukisan mengenai Yerusalem sebagai kota yang dibangun dengan benteng berupa tembok keliling yang bersambung rapat (ay 3). Ke sanalah suku-suku Tuhan berziarah; menarik bahwa tujuan ziarah itu ialah untuk mengucapkan syukur kepada nama Tuhan (ay 4); dan hal itu dilakukan sesuai dengan peraturan bagi Israel. Hal itu berbeda sekali dengan tujuan ziarah kita dewasa ini, yang kebanyakan kali dilakukan untuk memohon dan memohon.

Kedua, dalam ayat 5 diberikan alasan mengapa Yerusalem menjadi sentrum ziarah para bangsa. Alasannya ialah karena di kota itulah ada kursi pengadilan keluarga Daud. Sedemikian pentingnya Yerusalem bagi Israel sehingga ia menjadi pusat ziarah dan pernah menjadi pusat pemerintahan. Karena itu, selain penting, posisi Yerusalem itu juga senantiasa sangat genting. Sebab ia terletak di tengah percaturan kekuatan politik Utara dan Selatan pada masa itu. Itulah sebabnya dalam ayat 6 pemazmur mengajak para peziarah untuk berdoa bagi kota itu agar orang-orang yang mencintainya (peziarah yang datang dari luar kota) menjadi sentosa (konotasi kenyamanan politik) dan orang-orang yang mendiami kota itu mendapat sejahtera (konotasi kenyamanan ekonomi, ayat 7). Doa itu dilanjutkan terus dalam ayat 8 dan di sini doa itu dimaksudkan untuk memohon damai sejahtera bagi para penghuni kota Yerusalem itu.

Akhirnya dalam ayat 9 diberikan alasan paling penting mengapa para peziarah itu diwajibkan untuk berdoa bagi kota Yerusalem dan para penghuninya. Alasannya tidak lain karena di kota Yerusalem itu terletak rumah Tuhan. Jadi, Yerusalem itu menjadi pusat ziarah yang harus didoakan karena Rumah Tuhan ada di sana.

Bandung, akhir Oktober 2015.
Oleh: Fransiskus Borgias M.
Dosen Teologi Biblika FF-UNPAR Bandung.

MEMAHAMI DAN MENIKMATI MAZMUR 121

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Mazmur 121 ini cukup singkat; hanya 8 ayat. Karena itu saya tidak membaginya menjadi beberapa unit seperti biasanya. Saya membahasnya sebagai satu kesatuan. Judul mazmur ini dalam Alkitab kita ialah sbb: “TUHAN, Penjaga Israel.” Judul ini memang dengan tepat mengungkapkan isi dan pesan pokok Mazmur ini. Bersama dengan Mzm 120-134, Mazmur ini termasuk dalam kategori Mazmur ziarah. Biasanya dipakai oleh para peziarah ketika mereka berziarah ke Yerusalem.

Langsung dalam ayat 1, pemazmur mulai dengan sebuah pernyataan di mana ia melayangkan pandangan matanya ke gunung-gunung. Ia tampak seperti orang yang sedang kebingungan, ketakutan dan serba gelisah. Dalam kebingungan itu ia mencari-cari dari manakah ia bisa mengharapkan datangnya pertolongan. Rupanya ia sedang dalam situasi terancam sehingga ia sangat mengharapkan pertolongan. Yang menarik ialah mengapa ia mengarahkan pandangan matanya ke gunung. Ini misteri bagi saya.

Yang menarik ialah bahwa pertanyaan dalam ayat 1 itu langsung dijawab secara tegas dan positif dalam ayat 2. Jawaban tegas itu ialah: “Pertolonganku ialah dari TUHAN, yang menjadikan langit dan bumi.” Bagian lanjutan Mazmur ini berbicara tentang Tuhan Allah. Tuhan sang penolong itu akan menjaga kaki kita saat kaki itu dipergunakan untuk berdiri dan berjalan (ay 3). Kaki itu akan kuat, kokoh, tidak akan goyah. Tuhan sang penolong itu adalah sang penjaga yang tidak akan pernah tertidur, Gusti ora sare. Hal itu ditegaskan lagi dalam ayat 4. Tuhan tidak akan terlelap dalam tugasnya menjaga dan melindungi kita. Selain sebagai penjaga, Tuhan juga menjadi naungan bagi kita (ay 5). Ia berdiri di sebelah kanan kita. Karena kita dilindungi dan dinaungi Tuhan, maka kita tidak akan pernah kepanasan akibat matahari di waktu siang (ay 6); juga di waktu malam, bulan tidak akan menyakiti kita (ini terasa aneh).

Sebagai pelindung dan naungan bagi kita, maka Tuhan menjaga kita dari segala celaka, segala nasib buruk. Tuhan menjaga hidup kita (ay 7). Dalam kehidupan kita sehari-hari, tentu kita akan keluar-masuk rumah kediaman kita untuk melakukan pelbagai pekerjaan dan kegiatan kita. Tentu hal itu yang menjadi rutinitas dalam hidup kita. Pada saat kita melakukan rutinitas itu pun Tuhan juga tetap menjaga dan melindungi kita. Dan hal itu tidak hanya berlangsung sekarang ini saja, melainkan akan berlangsung terus menerus hingga kekal (ay 8).

Tentu ini adalah sebuah pengalaman rohani yang amat menarik: mulai dengan sebuah pengalaman kebingungan dan ketidak-tahuan, tetapi kemudian bermuara pada kepastian iman bahwa Tuhan adalah penjaga dan pelindung hidup kita. Di tanganNyalah kita aman sentosa. Tidak perlu ada kecemasan dan ketakutan. Tidak usah ada gelisah. Kira-kira itulah dan begitulah pesan pokok dari Mazmur ini bagi kita.

Bandung, akhir November 2015.
Oleh: Fransiskus Borgias M.
Dosen Teologi Biblika FF-UNPAR Bandung.

Friday, December 4, 2015

MEMAHAMI DAN MENIKMATI MAZMUR 120

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Mazmur 120 ini cukup singkat; hanya 7 ayat. Di sini saya tidak membaginya menjadi beberapa unit sebagaimana biasanya. Saya membahasnya sebagai satu kesatuan.

Judul mazmur ini: “Dikejar-kejar fitnah.” Di sini pemazmur mempersonifikasi (membuat menjadi seperti person/orang) fitnah; personifikasi fitnah itu sedang mengejar pemazmur. Itu yang menyebabkan dia merasa kesesakan (ay 1). Dari dalam kesesakan itu, ia lambungkan permohonan kepada Tuhan dan Tuhan mengabulkannya. Apa isi doanya? Pemazmur meminta kepada Tuhan agar Tuhan membebaskan dia dari dua sosok yang mengancam hidupnya: Pertama, pendusta (bibir dusta, ay 2), kedua, penipu (lidah penipu, ay 2). Keduanya sinonim, tetapi diungkapkan dengan dua ungkapan berbeda, yang satu memakai bibir, yang lain memakai lidah. Keduanya adalah alat ucap (artikulasi) yang memungkinkan manusia bisa berbicara, berbahasa.

Kedua alat-tutur itu bisa dipakai sebagai sarana pendidikan (didaktik), tetapi di sini dipakai untuk penyesatan/penipuan. Karena itu dalam ayat 3 pemazmur terdorong mengajukan pertanyaan retoris terhadap pendusta/penipu itu: “Apakah yang diberikan kepadamu dan apakah yang ditambahkan kepadamu, hai lidah penipu?” Jawabannya jelas dalam ayat 4: ia tidak mendapat apa-apa, selain kekerasan yang pasti menimpa penipu-pendusta itu. Secara khusus di sini disebutkan dua bentuk kekerasan: panah tajam, bara kayu arar. Panah menusuk, melukai; bara api menghanguskan, membakar. Para pendusta/penipu pasti mengalami kengerian seperti ini. Itu keyakinan pemazmur.

Rupanya pengalaman pemazmur ini bertolak dari pengalaman kongkret yaitu pergaulan dengan orang yang tidak menghendaki hidup rukun, perdamaian, melainkan pertikaian, peperangan. Pemazmur menyebut nama tempat Mesekh dan Kedar (ay 5). Rupanya orang di sana adalah orang yang tidak mau hidup berdampingan secara damai dengan orang lain, dengan orang asing, dengan pendatang. Itu sebabnya pemazmur merasa hidup sebagai orang asing di tengah mereka. Ia merasa tidak betah, merasa tidak diterima, karena watak, perilaku, perangai berbeda. Di satu pihak, pemazmur yakin bahwa ia adalah orang suka damai, dan suka membicarakan perdamaian (ay 7), tetapi orang di sekitarnya membenci perdamaian (ay 6). Mereka mengembangkan wacana berbeda: Pemazmur wacana damai (ay 7), mereka wacana perang (ay 7).

Tidak mudah hidup dengan orang seperti itu. Dan itu tidak hanya tantangan bagi pemazmur dulu, tetapi juga tantangan bagi kita sekarang. Betapapun itu tidak mudah, tetapi sebagai pengikut Kristus kita dipanggil untuk hidup berdamai dengan orang lain, sebab Yesus berkata: “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah” (Mat 5:9). Kalau kita mau disebut anak-anak Allah, hiduplah dalam damai. Kalau tidak, maka kita adalah.... bisa diisi sendiri.

Bandung, akhir Oktober 2015.
Oleh: Fransiskus Borgias M.
Dosen Teologi Biblika FF-UNPAR Bandung.

Thursday, November 12, 2015

MEMAHAMI DAN MENIKMAT MAZMUR 119 BAGIAN VI

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Dengan ini, akhirnya kita sampai pada bagian akhir dari ulasan singkat mengenai Mazmur 119 yang paling panjang dari antara semua mazmur-mazmur yang lain (mencapai 176 ayat). Ini adalah bagian yang keenam. Seperti biasa saya akan membagi bagian akhir Mazmur 119 ini dalam beberapa sub-unit lagi. Unit I meliputi ayat 151-160. Unit II meliputi ayat 161-168. Unit III meliputi ayat 169-176. Dalam bagian berikut saya akan mencoba melihat masing-masing bagian itu.

Dalam bagian pertama kita masih dapat merasakan kesinambungan renungan bagian ini dengan bagian yang terdahulu (Bagian V). Misalnya, langsung dalam bagian awal ini, si Pemazmur mengungkapkan kesadarannya bahwa Tuhan dekat padanya dan ia menemukan kebenaran dalam perintah-perintah Tuhan yang ada dalam Taurat-Nya (ay 151). Ia sudah mengetahui hal itu sejak dahulu (ay 152). Ia menempatkan diri dalam relasi yang sangat dekat dengan Allah. Oleh karena itu, ia berdoa agar Allah sudi meringankan deritanya (ay 153), dan mengurus perkaranya (ay 154). Tidak lupa ia juga meminta kepada Allah agar menghidupkan dia sesuai dengan janji-Nya. Dalam konteks itu ia sadar bahwa rahmat Allah itu sangat berlimpah (ay 156). Sebaliknya, orang-orang fasik dan durhaka tidak mendapat shalom (ay 155.157). Alasannya jelas: karena orang-orang ini tidak mencari hukum Allah. Selanjutnya, walau ia dihimpit oleh orang-orang fasik dan durhaka tadi, si pemazmur tidak menyimpang sedikit pun dari jalan Allah. Sebab sangat gampang terjadi bahwa dalam situasi terhimpit orang bisa menjauh dari Tuhan. Tidak demikianlah halnya dengan si pemazmur. Ia merasa bosan melihat orang-orang pengkhianat; ya, kira-kira seperti halnya kita bosan melihat badut-badut politik di TV. Di akhir unit ini si pemazmur lagi-lagi mengatakan bahwa ia tetap cinta akan perintah-perintah Allah (ay 159), dan ia ingin hidup oleh kasih setia (hesed) Allah. Ia yakin karena firman Tuhan itu kokoh dan berlaku untuk selama-lamanya. Segala sesuatu boleh berubah, tetapi firman Tuhan akan berlangsung selama-lamanya.

Dalam unit berikut ini (II) ia mulai berbicara tentang relasi dengan penguasa. Para penguasa, mungkin karena kuasa yang ada di tangannya, bisa menjadi sewenang-wenang, menjadi rusak dan busuk, seperti kata Lord Acton itu (power tends to corrupt). Di sini pemazmur merasa dikejar-kejar tanpa alasan yang jelas; tetapi walau demikian ia tidak takut karena ia berharap pada Allah, ia mengharapkan pertolongan dari Allah sendiri (ay 161). Oleh karena itu, hidupnya pun ditandai oleh kegembiraan, karena ia berharap pada janji Allah; dan sukacita itu besar (ay 162). Ia cinta akan Taurat dan karena itu ia tidak akan dusta (ay 163). Dalam ay 164 ia menyinggung tentang tradisi tujuh-waktu doa Yahudi, yang juga ada dalam tradisi Kristiani. Si pemazmur yakin bahwa hidup menurut Taurat akan mendatangkan rasa aman dan bahkan nyaman; tidak ada batu sandungan (ay 165). Oleh karena ia melakukan perintah Allah (Taurat), maka ia berharap mendapat shalom (keselamatan) dari Allah (ay 166). Selanjutnya kita melihat bahwa si pemazmur juga amat cinta pada hukum Allah, dan oleh karena itu ia memegangnya dengan teguh (ay 167). Pemazmur merasa bahwa hidupnya serba terbuka (sama sekali tidak ada yang tertutup) di hadapan Allah, dan oleh karena itu ia tidak mau menyimpang dari hukum-hukum Allah.

Akhirnya kita sampai ke Unit ke-III. Dalam dua ayat awal dari penggalan ini ia melukiskan diri sedang berdoa dan ia berharap bahwa doanya sampai ke hadapan Allah; ia juga berharap, moga-moga Allah segera membebaskan dia (ay 169-170). Doa-doa itu masih diteruskan dalam ayat berikut ini: (ay 171-172). Ia memberikan juga alasan bagi doa dan pujian itu: alasannya tidak lain ialah karena perintah Allah itu benar dan karena Allah mengajarkan ketetapan-ketetapanNya kepadanya. Doa itu diteruskan dalam ay 173, di mana ia berharap agar Allah dapat menjadi penolong baginya. Dalam tiga ayat yang terakhir terasa ada sebuah hal yang baru dan semakin menarik juga. Pertama, ia sedang mengungkapkan rasa rindunya akan Allah. Kedua, ia meminta juga agar Allah membiarkan jiwanya tetap hidup. Ketiga, ia berharap agar Allah mencari dia jika dia tersesat laksana domba yang hilang itu dalam kisah-kisah injil (174, 175, 176). Jadi, Mazmur ini ditutup dengan sebuah metaphor, yaitu Allah sebagai sang gembala, tema yang sudah sering sekali muncul dalam Kitab Suci kita.

Bandung, akhir Oktober 2015.
Oleh: Fransiskus Borgias M.
Dosen Teologi Biblika FF-UNPAR Bandung.


Friday, October 9, 2015

MEMAHAMI DAN MENIKMATI MAZMUR 119 BAGIAN V

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Relasi kedekatan dan kecintaan pemazmur dengan Tuhan dan Tauratnya, masih juga menjadi pokok refleksi utama Bagian V ini (sebagaimana Bagian IV). Bagian V ini mencakup ayat-ayat sbb: 121-150. Bagian V ini dapat dibagi menjadi empat bagian. Bagian I: ay 121-128. Bagian II: ay 129-136. Bagian III: ay 137-144. Bagian IV: ay 145-150. Uraian selanjutnya mengikuti alur pembagian di atas, bagian demi bagian.

Dalam Bagian I, refleksi dimulai pemazmur dengan menegaskan bahwa dirinya telah mentaati hukum dan keadilan Tuhan, dan karena itu ia berharap agar Tuhan tidak menyerahkan dirinya kepada para pemerasnya (ay.121). Ia berharap agar orang yang kurang ajar, jangan memeras dirinya; ia juga berharap agar Tuhan menjadi jaminan kebaikan bagi dirinya di hadapan lawannya (ay 122). Rupanya situasi hidup pemazmur sangat gawat, sehingga ia mendambakan janji keselamatan dari Tuhan (ay 123). Atas dasar janji keselamatan itu, pemazmur berharap agar Tuhan memperlakukan dirinya berdasarkan kasih setia-Nya (hesed); ia juga berharap agar Tuhan mengajarkan ketetapan-ketetapanNya kepada dirinya (ay 124), agar ia bisa memahami semuanya itu (ay 125) sebab dirinya adalah hamba Tuhan. Di tengah masyarakat manusia ini ada juga orang yang tidak taat kepada Taurat Tuhan, bahkan mereka merombak Taurat itu, maka pemazmur berharap agar Tuhan segera bertindak agar mereka tidak mendatangkan kerusakan yang lebih parah (ay 126). Dalam hidup di dunia ini, pemazmur mencintai Taurat Tuhan melebihi apa pun, termasuk barang paling berharga di mata manusia (emas; ay 127). Karena ia mencintai Taurat Tuhan maka ia menjalani hidup jujur menurut perintah Tuhan, dan ia menjauhi hidup yang penuh dusta (ay 128).

Dalam Bagian II, refleksi pemazmur dilanjutkan dengan pengalamannya akan Hukum Tuhan yang serba ajaib, dan karena itu ia berpegang teguh padanya (ay 129). Bagi orang yang tekun mencari Firman Tuhan, maka firman itu akan tersingkap dan apabila ia tersingkap maka Firman itu akan menerangi jalan hidup manusia (ay 130); bahkan orang bodoh pun bisa mendapat pencerahan dan pengertian karena Firman ini. Dalam ay 131 kita menemukan metafora yang menarik: karena sangat mendambakan Hukum Tuhan, maka pemazmur merasa bahwa mulutnya menganga dan megap-megap karena terengah oleh rindu (ay 131). Dalam megap-megap rindu itu, ia berharap agar Tuhan berpaling segera kepadanya sebagaimana sudah seharusnya sikap Tuhan terhadap orang yang mencintaiNya (ay 132). Lalu ia memohon dua hal: agar Tuhan meneguhkan langkahnya, dan agar jangan sampai ia dikuasai oleh yang jahat (ay 133). Pemazmur juga berharap agar Tuhan membebaskan dia dari pemeras (ay 134). Ia juga berharap agar Tuhan menyinari wajahnya dengan cahaya wajahNya dan juga agar Tuhan mengajarkan ketetapanNya kepada dirinya (ay 135). Bagian ini ditutup dengan refleksi personal di mana ia menjadi sedih dan menangis karena orang di sekitarnya hidup tanpa berpegang pada Taurat (ay 136). Dengan kata lain, sikap hidup manusia yang tiada mempedulikan Taurat Tuhan, membuat dia menjadi bersedih hati.

Bagian III dilanjutkan dengan refleksi teologis mengenai keadilan dan hukum Tuhan; ia mengalami secara nyata bahwa Tuhan itu adil dan hukumNya benar (ay 137). Pemazmur juga mengalami bahwa Tuhan memerintah dengan keadilan dan kesetiaan, dua sifat Tuhan (ay 138). Pemazmur merasa bahwa ia mencintai Hukum Tuhan; cinta itu diibaratkannya laksana api yang berkobar-kobar dan membakar sampai ia merasa terhangus karena menyaksikan orang yang tiada mempedulikan hukum Tuhan (ay 139). Dalam ay 140 pemazmur melanjutkan refleksi mengenai setia-janji Tuhan, hal mana menyebabkan para hambaNya mencintai janji tersebut. Kemudian refleksi pemamzur menukik ke dalam dirinya dan ia sampai pada sebuah kesadaran paradoksal: walau pun ia merasa kecil dan hina-dina, namun dalam kedinaannya ia tidak melupakan perintah Tuhan (ay 141). Pemazmur juga sadar bahwa keadilan dan Hukum Tuhan akan berlangsung hingga kekal (ay 142). Selanjutnya dalam ay 143, kembali pemazmur berefleksi menukik ke dalam hidupnya sendiri: walau ia terdesak dan tersesak, namun kondisi itu tidak sampai menyebabkan dia lupa hukum Tuhan; sebaliknya ia sangat menyukai hukum Tuhan. Dalam ay 144 kita menemukan sebuah unsur menarik: ia meminta agar Tuhan menumbuhkan pengertian dalam dirinya akan peringatan Tuhan yang adil, dan pengertian itu akan menjadi prasyarat hidup baginya. Dengan kata lain, ia meminta agar ia hidup di atas dasar pengertian dan pemahaman akan perintah Tuhan.

Bagian IV dimulai dengan dialog yang dengan Tuhan. Ia berharap agar Tuhan menjawab seruannya (ay 145). Ia memohon agar Tuhan sudi menyelamatkan dirinya (ay 146). Menarik bahwa untuk kedua ayat ini (145-146) ia teguhkan dengan sebuah niat untuk berpegang-teguh pada ketetapan (145) dan peringatan Tuhan (146). Di pagi hari pemazmur sudah berseru kepada Tuhan (doa pagi) agar Tuhan menolongnya (ay 147). Sebelum waktu jaga malam tiba, pemazmur sudah bangun untuk merenungkan janji Tuhan (ay 148), sebuah cara hidup yang benar-benar berdisiplin di dalam Tuhan. Tiada hentinya pemazmur berharap agar Tuhan mendengarkan suaranya karena Tuhan itu penuh kasih dan setia; ia juga berharap agar Tuhan menghidupkan dia sesuai dengan hukumNya (ay 149). Untaian refleksi ini ditutup dalam ay 150 dengan sebuah refleksi yang paradoksal: orang yang berniat jahat terhadap pemamzur mendekati dirinya, tetapi justru dengan itu sebaliknya mereka semakin menjauh dari Taurat Tuhan.

Jakarta, 15 Juli 2015.

Monday, September 7, 2015

MEMAHAMI DAN MENIKMATI MAZMUR 119 BGN IV

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Dari penggal Mazmur ini kita bisa melihat betapa kuat dan dalamnya relasi pemazmur dengan Taurat. Relasi itulah yang menjadi pokok refleksi pemazmur dalam penggal keempat ini. Bagian IV dari Mazmur 119 ini mencakup ayat 97-120. Secara garis besar, Bagian IV ini dapat dibagi lagi menjadi tiga unit yang lebih kecil. Unit I terdiri atas ay.97-104; unit II terdiri atas ay.105-112; unit III terdiri atas ay.113-120. Saya akan mencoba mengulasnya dengan mengikuti alur pembagian unit-unit di atas tadi.

Dalam unit pertama, ia semakin secara mendalam melukiskan relasinya dengan Taurat Tuhan. Relasi itu sudah sedemikian rupa sehingga masuk ke dalam relasi cinta; karena ia sangat mencintainya maka ia merenungkannya sepanjang hari (ay.97). Sebagai buah hasilnya, pemazmur merasa bahwa ia lebih bijaksana karena Taurat itu sudah ada dalam dirinya (ay.98), sudah “ditulis dalam hatinya” kalau meminjam gagasan “teologi perjanjian baru” dari Yeremia dan Yehezkiel. Kita bisa menyebut hal ini peran didaktik (didactic role) dari relasi yang intens dengan Taurat; relasi itu mengubah orang dari dalam dan orang itu pun menjadi lebih bijaksana. Peran didaktik itu dilanjutkan dalam dua ayat berikutnya, di mana pemazmur merasa lebih berakal budi (ay.99) dan merasa lebih mengerti (ay.100) karena kedekatan relasinya dengan Taurat Tuhan. Dalam dua ayat berikutnya pemazmur melukiskan dua implikasi praktis dari pengetahuannya akan Taurat. Karena Taurat Tuhan ia menjauhkan langkah kakinya dari lorong kejahatan (ay.101); ia juga tidak mau menyimpang sedikitpun dari Taurat Tuhan, sebab Tuhan sendirilah yang bersabda di dalamnya (ay.102). Pemazmur merasakan betapa Taurat itu sangat manis bagai madu (ay.103). Berkat Taurat itulah ia merasa menjadi lebih berhikmat dan hal itu juga mempunyai implikasi praktis bagi perilaku hidup, yaitu ia benci akan segala dusta (ay.104; ingat perintah ke-8 dari Dekalog).

Di bagian awal unit kedua, kita menemukan sebuah ayat yang terkenal karena menjadi ayat ulangan dalam mazmur antar bacaan: Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku (ay.105). Fungsi Taurat itu tidak lagi hanya untuk mulut, otak, hati, melainkan juga untuk kaki, menjadi petunjuk praktis untuk jalan hidup, perilaku hidup. Bisa dimengerti bahwa pemazmur kembali bersumpah untuk tidak akan pernah meninggalkan hukum Tuhan, melainkan ia akan selalu menepatinya (ay.106). Selanjutnya, kita menemukan lagi sebuah sisi gelap dari hidup pemazmur; ia merasa tertindas, namun demikian ia tetap berharap agar Tuhan menghidupkan dia (ay.107). Ia meminta agar Tuhan senantiasa mengajarkan hukum-Nya kepada dia, dan ia selalu mempunyai kesempatan untuk melambungkan puji-pujian kepada Tuhan; ia yakin bahwa pujian seperti itulah yang sungguh berkenan kepada Tuhan (ay.108). Hidup menurut Taurat Tuhan rupanya selalu mengandung risiko sosial dan moral berupa tantangan dari dunia sekitar; namun demikian pemazmur tidak pernah melupakan Taurat Tuhan (ay.109). Bahkan ada orang fasik yang memasang jerat baginya, tetapi ia tetap tidak tergoda sedikitpun untuk menyimpang dari perintah Tuhan (ay.110). Mungkin kita bertanya, mengapa pemazmur begitu dekat dengan Taurat Tuhan? Jawabannya ada dalam dua ayat terakhir dari unit ini. Itu tidak lain karena Taurat Tuhan sudah menjadi milik pusakanya (ay.111), dan sudah menjadi kecenderungan dasar hidupnya untuk melakukan perintah-perintah Tuhan (ay.112). Taurat sudah menjadi kebiasaan, menjadi habitus baginya.

Dalam unit ketiga, pemazmur merenungkan beberapa hal penting dan menarik. Karena ia sendiri teguh mencintai dan mentaati Taurat Tuhan, maka ia tidak suka akan orang-orang yang suka dilanda bimbang hati dalam melaksanakan Taurat; hal itu berbeda dengan dirinya yang selalu mencintai Taurat tersebut (ay.113). Pemazmur merasa bahwa Tuhanlah pelindung dan perisai hidupnya; maka ia hanya berharap pada firman Tuhan (ay.114). Karena ia sudah mempunyai keinginan kuat untuk berpegang teguh pada firman Tuhan, maka ia menghalau para penjahat (ay.115).

Dalam ayat berikut ada sebuah doa yang dirumuskan dengan sangat indah, di mana pemazmur mengungkapkan harapannya agar Tuhan selalu menopang hidupnya; hal itu penting bagi dia agar ia tidak menjadi malu karena pengharapannya akan Tuhan (ay.116). Doa pengharapan dan permohonan yang indah itu dilanjutkan dalam ayat berikut; di sini ia memakai kata lain tetapi tetap mengungkapkan ide pokok yang sama: sokonglah aku agar ia hidup; kalau ia hidup maka ia akan selalu bersukacita dalam hukum Tuhan (ay.117). Dalam dua ayat berikut pemazmur melukiskan dua model hidup dari orang yang bertentangan dengan Taurat Tuhan; pertama adalah orang-orang yang sesat (ay.118) yang ditolak Tuhan karena tipu muslihat dalam hidup mereka. Kedua adalah orang-orang fasik yang dipandangnya sebagai sanga (KUBI: buih atau kotoran logam yang dilebur; ay.119). Maka di akhir ayat 119 ia kembali menegaskan relasi cintanya dengan Taurat Tuhan. Segi lain dari relasi itu, ia ungkapkan dalam bagian akhir dari unit ini (ay.120). Ia mengungkapkan rasa takutnya akan Tuhan; tetapi takut yang dimaksudkan di sini bukanlah seperti takut akan setan, melainkan sebuah ketakutan yang suci, atau biasa disebut takwa. Jadi, akhirnya, dalam refleksinya, ia bermuara pada ketakwaan. Luar biasa.

Geithersburg, Maryland, USA, Medio Desember 2014.
KUBI: Kamus Umum Bahasa Indonesia.

Tuesday, August 4, 2015

MENIKMATI MAZMUR 119 BAGIAN III

Oleh: Fransiskus Borgias M.


Refleksi pemazmur dalam bagian terdahulu, dilanjutkan terus di sini, sehingga refleksi itu harus dilihat sebagai satu kesatuan utuh. Sekarang saya mau membahas penggal yang ketiga. Bagian III dari Mazmur 119 ini mencakup ayat 73-96. Secara garis besar, Bagian III ini dapat dibagi lagi menjadi tiga unit yang lebih kecil. Unit I terdiri atas ay.73-80; unit II terdiri atas ay.81-88; unit III terdiri atas ay.89-96. Saya akan mencoba mengulasnya dengan mengikuti alur pembagian unit-unit di atas tadi.

Dalam unit pertama, pemazmur merenungkan beberapa hal penting. Pertama, ia merenungkan misteri awal mula hidup dan keberadaannya di dunia ini: ia mengaku dengan rendah hati bahwa Tuhanlah yang telah menjadikan dia (ay.73). Oleh karena itu ia pun memohon agar Tuhan sudi memberinya pengertian agar ia dapat mempelajari perintah Tuhan. Ia juga hidup dengan berharap pada firman Tuhan (ay.74) dan hal itu menimbulkan rasa sukacita dalam diri orang-orang yang takut akan Tuhan. Ia juga menyadari bahwa hukum-hukum Tuhan itu adil dan keadilan hukum Tuhan itulah yang terkadang menghukum dia dan hal itu pasti terasa pedih sebagai orang yang beriman sebab di sini terasa sesuatu yang bertentangan (ay.75). Kemudian dalam lima ayat berturut-turut pemazmur seakan-akan menampakkan sikap pasrahnya kepada kerahiman dan penyelenggaraan Tuhan. Hal itu tampak jelas dalam pemakaian kata biarlah yang muncul di awal dari masing-masing kelima ayat tadi. Dua kata biarlah yang pertama (ay.76-77) menyangkut dirinya sendiri: Ia ingin agar kasih setia Tuhan menjadi penghiburannya; ia juga ingin agar rahmat Tuhan menjadi sumber kehidupannya. Dua kata biarlah berikutnya (ay.78-79) menyangkut orang-orang lain di sekitarnya: Ia juga berharap agar semua kebaikan Tuhan terhadap dirinya bisa mendatangkan efek pertobatan bagi orang-orang yang selama ini berlaku kurang ajar terhadapnya. Dan satu kata biarlah yang terakhir (ay 80) kembali menyangkut dirinya sendiri: Ia berharap agar ia tetap mempunyai hati yang tulus dalam mengikuti ketetapan Tuhan, dengan demikian ia tidak akan mendapat malu.

Dalam unit kedua, kita dapat membayangkan betapa situasi pemazmur ini berat karena ia dikejar-kejar orang tanpa alasan yang jelas, juga karena ada orang yang memasang jebakan (lubang) bagi langkah kakinya (ay.84-86). Dalam situasi seperti ini ia tetap merindukan Tuhan dan pelbagai janjiNya (ay.81-82). Ia rindu agar Tuhan menjadi pokok keselamatannya. Ia rindu agar Tuhan menjadi penghiburannya (bdk.ay.76). Kepengapan situasi hidupnya ia ibaratkan seperti kirbat (kantong air) yang diasapi. Dalam kondisi itu ia tetap tidak melupakan hukum Tuhan (ay.83). Ia merasa bahwa ia sudah hampir sampai pada situasi batas, situasi terjepit oleh para pengejarnya; namun ia tetap tidak meninggalkan Tuhan dan hukumNya (ay.87). Oleh karena itu di akhir unit ini, pemazmur kembali meminta kepada Tuhan agar Tuhan tetap memberikan kehidupan kepadanya agar dalam kesempatan hidup yang kedua itu, ia masih tetap bisa bersaksi tentang hidup dan kasih setia Tuhan, dengan cara berpegang teguh pada peringatan Tuhan (ay.88).

Dalam unit ketiga, pemazmur melanjutkan renungannya tentang hidup dan relasinya dengan Tuhan dan sesama. Ia menegaskan bahwa firman Tuhan itu kekal abadi di surga (ay.89). Ia yakin bahwa kesetiaan Tuhan itu tidak akan berkesudahan, sebab akan terus dirasakan dari angkatan yang satu ke angkatan yang lain (ay.90); kesetiaan Tuhan itulah yang menjadikan bumi ini bisa ada dan tegak berdiri kokoh pada tempatnya. Bahkan segala sesuatu bisa berada hanya karena ketetapan hukum Tuhan belaka (ay.91). Hukum-hukum Tuhan itu tidak lain ialah Taurat; dan selama hidupnya pemazmur telah mentaati Taurat; Taurat itu menjadi kegemaran hidupnya, dan itulah yang membuat dia selamat dari sengsara (ay.92). Karena itu, dalam ay.93, pemazmur seakan-akan sedang bersumpah bahwa ia tidak akan melupakan hukum-hukum Tuhan sampai selama-lamanya. Karena selama ini, ia merasa telah hidup menurut hukum Tuhan, maka ia merasa bahwa dirinya adalah milik Tuhan; atas dasar itu ia meminta agar Tuhan menyelamatkan dia (ay.94). Bagi dia, permohonan ini sangat penting, sebab ia berada dalam situasi genting, situasi krisis, yakni adanya ancaman orang fasik, orang yang tidak memperdulikan hukum Tuhan; orang-orang ini menghendaki kebinasaan pemazmur (ay.95). Akhirnya, sampailah pemazmur pada kesadaran bahwa perintah Tuhan itu sangat luas (ay.96), tidak ada batasnya. Dalam hidup di dunia ini, pemazmur merasa sudah pernah melihat batas-batas kesempurnaan, tetapi ia akhirnya sadar bahwa masih ada yang serba melampaui kesempurnaan itu, yakni perintah Tuhan sendiri, yang teramat luas, tiada terselami, tiada terukur oleh akal budi manusia.


Geithersburg, Maryland, USA, Medio Desember 2014.

Friday, May 8, 2015

MEMAHAMI DAN MENIKMATI MAZMUR 119 BAGIAN II

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Secara garis besar, seluruh Bagian II ini melukiskan perjuangan orang yang mencoba hidup dengan setia dalam lorong, ketetapan dan firman Allah. Ia sadar bahwa itu tidak mudah, bahkan menyakitkan, tetapi jika dijalankan dengan tekun, akan mendatangkan buah rohani yang baik dalam hidup orang itu sendiri. Dalam bagian ini saya fokus pada Bagian II, yang mencakup ayat 41-72. Dengan berpatokan pada pemakaian beberapa kata kerja yang ada di sana, saya membagi penggal ini dalam beberapa unit. Unit I: ayat 41-48; unit II: ayat 49-56; unit III: ayat 57-64; unit IV: ayat 65-72.

Saya langsung melihat Unit I. Ayat 41 masih melanjutkan refleksi dari Bagian I. Pemazmur berharap agar kasih setia (hesed) Tuhan menaungi dia (ay.41). Dengan hesed dan shalom Tuhan, ia hadapi para pencelanya selama ini (ay.42). Ia minta agar Tuhan tidak mencabut firmanNya dari mulutnya agar tetap melekat pada mulutnya (ay.43). Lalu dalam 5 ayat berikutnya ia menyatakan niatnya, yang diungkapkan dengan “aku hendak” yang muncul beberapa kali di sini: hendak berpegang pada Taurat Tuhan (ay.44), hendak hidup menurut titah Tuhan (ay 45), hendak berbicara tentang peringatanTuhan (ay 46), hendak bersukacita dalam firman Tuhan (ay 47), hendak merenungkan ketetapan Tuhan (ay 48).

Dalam unit II kita melihat orang yang sungguh berjuang hidup menurut jalan Tuhan. Ia sadar bahwa harapan dapat muncul dalam hatinya karena harapan itu dibangkitkan oleh Firman Tuhan (ay 49). Ia sadar bahwa sumber hiburan baginya ialah janji Tuhan sendiri (ay 50). Ia sadar bahwa untuk hidup dalam lorong Tuhan tidak mudah, sebab ada pencemooh; tetapi cemoohan itu tidak membuat dia menyimpang (ay.51). Sebaliknya, ia semakin ingat akan firman Tuhan, dan hal itu menjadi sumber hiburan baginya (ay 52). Jika ada orang mangkir dari Firman Tuhan, ia akan marah (ay 53). Ia menjadikan hukum Tuhan sebagai nyanyian mazmurnya (ay 54). Ia tidak melupakan nama Tuhan, biarpun itu di waktu malam; ia selalu ingat nama Tuhan (ay 55). Ia mendapati dirinya tetap setia berpegang pada hukum Tuhan (ay 56).

Unit III dimulai dengan sebuah niatan suci (ay 57) untuk selalu berpegang pada firman Tuhan. Atas dasar itu ia berani memohon agar dikasihani Tuhan (ay 58). Ia juga berniat untuk mengatur hidupnya menurut hukum Tuhan (ay 59). Dalam hal ini ia tidak mau menunda-nunda, melainkan ia bertindak segera (ay 60). Ia menegaskan bahwa walaupun ada kesulitan hidup, ia tidak melupakan firman Tuhan (ay 61). Tiada hentinya ia mengucapkan syukur kepada Tuhan, bahkan malam pun tidak menghalangi dia untuk melambungkan puji-syukur itu (ay 62). Ia tidak mau sendirian dalam mengupayakan hidup di jalan Tuhan, melainkan ia mau melakukan hal itu dengan sesama (ay 63). Jika demikian, seluruh bumi penuh kasih setia Tuhan (ay 64); hal itu mendorong pemazmur untuk terus berharap agar Tuhan mengajarkan ketetapanNya kepadanya.

Kita sampai pada Unit IV. Di sini ada beberapa hal menarik. Pertama, ia sadar bahwa Tuhan telah bertindak sesuai firmanNya sendiri, yaitu melakukan kebajikan kepada dirinya (ay 65). Ia merasa bahwa bekal terbaik dalam hidup ini ialah kebijaksanaan dan pengetahuan yang baik, maka ia meminta kepada Tuhan agar Ia sudi mengajarkan hal itu kepadanya (ay 66). Kemudian muncul kesadaran bahwa kesusahan hidupnya (tertindas) disebabkan oleh karena ia menyimpang dari Tuhan (ay 67). Namun Tuhan tetap berbuat baik kepadanya dengan mengajarkan ketetapanNya kepadanya (ay 68). Tidak mudah untuk hidup saleh dan benar; selalu ada orang yang kurang ajar (ay 69); tetapi ada dan kehadiran mereka itu tidak membuat pemazmur menjadi ciut hati dan menyimpang. Sebaliknya, pemazmur tetap menjadikan ketetapan Tuhan sebagai sumber sukacita hidupnya (ay 70).

Menjelang akhir unit ini (ay 71) kita temukan sebuah paradoks yang amat penting dan menarik, walau tidak mudah dipahami. Pemazmur merasa bahwa situasi ketertindasan hidupnya, mempunyai fungsi didaktis, yaitu supaya ia semakin belajar dan belajar. Jadi, sengsara karena hidup menurut hukum Tuhan itu, dipandang secara positif, mempunyai peranan didaktik dan bahkan penyembuhan (didactic and therapeutic role). Akhirnya seluruh untaian ini diakhiri dengan sebuah perbandingan menarik: Ia merasa bahwa ribuan keping emas dan perak, tidak ada bandingannya sama sekali dengan Taurat yang berasal dari Tuhan sendiri (ay 72).

Catholic University of America, Washington DC, Medio Desember 2014.

MEMAHAMI DAN MENIKMATI MAZMUR 119 BGN I

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Ada banyak alasan orang menjadi bahagia dalam hidup di dunia ini. Ada yang bahagia karena tumpukan materi: uang, harta. Ada yang bahagia karena bisa membahagiakan orang lain dalam pelbagai karya pelayanan kemanusiaan, lewat ilmu dan karya kemanusiaan lain. Ada juga orang yang bisa merasa bahagia karena melihat orang lain menderita, kebahagiaan sado-masokhistis. Ada juga orang yang bahagia karena hidup menurut hukum Tuhan yang tertuang dalam kitab-kitabNya.

Itulah yang dibahas dalam Mazmur 119 yang sangat panjang ini: 176 ayat. Karena itu, tidak mungkin dibahas dalam satu uraian. Saya membahasnya dalam enam unit. Pembagiannya saya atur menurut prinsip perimbangan, artinya, membagi mazmur ini dengan membaginya secara imbang; bukan prinsip pembagian berdasarkan dinamika isi mazmur itu. Saya membaginya sbb: Bagian I: ayat 1-40. Bagian II: 41-72. Bagian III: 73-96. Bagian IV: 97-120. Bagian V: 121-150. Bagian VI: 151-176.

Sekarang saya fokus pada Bagian I: 1-40, yang bisa dibagi menjadi beberapa unit: ayat 1-8; ayat 9-16; ayat 17-24; ayat 25-32; ayat 33-40. Mazmur ini dimulai dengan sebuah pernyataan berbahagia. Definisi orang bahagia menurut mazmur ini adalah orang yang hidupnya tidak bercela, dan hidup menurut hukum Tuhan, memegang peringatanNya (ay.1.2). Inilah definisi positif hidup bahagia. Dalam ay 3 ada definisi negatif hidup bahagia, tetapi sekaligus juga menekankan lagi definisi positif. Hukum itu disampaikan Tuhan sendiri (ay.4). Pemazmur menandaskan bahwa arah dan tujuan hidupnya ialah mau memegang ketetapan Tuhan (ay.5). Ia yakin bahwa jika ia memegang hukum Tuhan maka ia tidak mendapat malu (ay.6). Dalam ay 7-8 ia membuat sebuah tekad untuk berpegang teguh pada hukum Tuhan dan ia berharap agar dengan itu Tuhan tidak meninggalkan dia.

Dalam unit II (9-16) ada refleksi mengenai hidup kaum muda yang penuh tantangan dan godaan, tetapi mereka bisa mengatasinya dengan menjaga firman Tuhan (ay.9), dengan mencari Tuhan setiap waktu (ay.10), dengan terus menyimpan janji Tuhan dalam hati (ay.11), dengan meminta kepada Tuhan agar mengajarkan hukum itu kepadanya (ay.12), dengan mewartakan firman itu kepada yang lain (ay.13), dengan merenungkan titah Tuhan dan mengamati jalan Tuhan (ay.15), dengan menyukai firman Tuhan dan tidak melupakannya (ay.16). Orang muda harus mengupayakan hidup yang sukacitanya bukan harta melainkan peringatan Tuhan (ay.14).

Dalam unit III (17-24), ia melanjutkan refleksinya tentang hukum Tuhan. Ia sadar bahwa ia hanya bisa hidup karena hukum Tuhan dan berpegang padaNya (ay.17). Hal itu hanya mungkin jika ia bisa melihat keajaiban Hukum Tuhan (ay.18); maka ia memohon agar Tuhan membuka matanya, meningkatkan kemampuannya melihat keajaiban itu. Ia meminta hal ini karena ia merasa sebagai orang asing di dunia ini (ay.19). Ia juga mengungkapkan kerinduannya akan Hukum Tuhan dengan bahasa puitis: hancur jiwaku karena rindu (ay.20). Ia sadar bahwa Tuhan menghukum manusia jika menyimpang (ay.21). Ia berharap agar Tuhan menghapus cela dari hidupnya karena ia bertekun dalam firmanNya (ay.22). Dalam dua ayat terakhir ia canangkan program hidupnya: hanya merenungkan perintah Tuhan dan menjadikan perintah Tuhan itu sumber kegemaran hidupnya dan ia yakin bahwa dengan itu ia tidak goyah biarpun ada banyak yang merencanakan hal jahat terhadapnya (ay.23-24).

Dalam unit IV (25-32) ada niat untuk hanya hidup semata-mata bagi Tuhan dan melaksanakan hukumNya; hal itu ia ungkapkan dengan pelbagai cara (ay.25.26). Ia mohon agar ia dibantu untuk memahami hukum Tuhan (ay.27). Ia juga memohon agar ia dijauhkan dari jalan dusta (ay.29). Karena Hukum Tuhan telah ia jadikan sebagai jalan hidup (ay.30), maka ia memohon agar setia pada jalan itu (ay.31). Ia merasa bahwa hal itu akan melapangkan hatinya (ay.32). Dalam unit V (33-40) ia meminta beberapa hal penting dalam rangka hidup menurut hukum Tuhan: agar Tuhan menunjukkan hukum itu (ay.33), agar dibantu dalam pemahaman (ay.34), dibantu agar menyukainya (ay.35), dibantu agar hatinya dicondongkan kepada hukum itu (ay.36). Dalam ay.37.39 ia meminta agar Tuhan menghindarkan matanya dari hal-hal hampa (ay.37); ia juga meminta agar ia tidak mendapat celaka (ay.39). Akhirnya dalam ay.38.40, ia meminta agar Tuhan sudi memperkuat niat dan keinginan hatinya (38), dan ia menegaskan bahwa ia sungguh rindu akan hukum Tuhan, dan memohon agar ia boleh hidup berdasarkan keadilan Tuhan (ay.40).

Catholic University of America, Washington DC, Medio Desember 2014.

Monday, April 13, 2015

MENIKMATI MAZMUR 118

OLEH: Fransiskus Borgias M.

Pengalaman akan Allah bisa mempunyai banyak wujud. Salah satunya, pengalaman akan kasih-setia dan kerahimanNya. Ada orang lain yang mengalami keagungan Allah dan merasa terpesona oleh keagungan itu dan terdorong menyerukannya dengan lantang. Ada juga orang lain yang mengalami pengalaman Allah itu secara negatif, dalam rupa pengalaman yang kurang menyenangkan, tetapi oleh si subjek pengalaman itu, pengalaman tersebut diolah sedemikian rupa sehingga bernilai rohani. Dalam Mazmur 118 ini kita menemukan model pertama, yaitu orang yang mempunyai pengalaman akan kasih-setia dan kerahiman Allah.

Sebelum melangkah lebih lanjut, baiklah kita melihat beberapa hal terkait mazmur ini. Pertama, judul mazmur ini ialah “Nyanyian puji-pujian.” Mazmur ini cukup panjang, 29 ayat. Untuk menikmatinya, saya membaginya dalam beberapa unit. Pertama: ayat 1-4. Kedua: 5-9. Ketiga: 10-12. Keempat: 13-18. Kelima: 19-21. Keenam: 22-23. Ketujuh: 24-25. Kedelapan: 26-27. Kesembilan: 28-29. Kita nikmati mazmur ini dengan melangkah dari unit pertama sampai terakhir. Mazmur ini dibuka dan ditutup dengan seruan yang sama: Bersyukurlah kepada TUHAN, sebab Ia baik! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya (ay.1.29). Kedua ayat ini menjadi bingkai awal dan akhir. Di tengah bingkai ini, pemazmur menguraikan dinamika pengalaman rohaninya secara rinci.

Unit pertama, hanya mengulang keyakinan bahwa kasih-setia (hesed) Tuhan itu kekal abadi. Penekanan itu ia lakukan dengan mengajak tiga kelompok: Israel (ay.2), Harun (ay.3), dan orang yang takut akan TUHAN (ay.4). Jika dua kelompok pertama terasa eksklusif, maka kelompok ketiga, menjadi sangat inklusif, merangkul siapa saja, sejauh mereka itu adalah orang yang takut akan TUHAN. Berdasarkan keyakinan bahwa kasih-setia TUHAN itu kekal, maka dalam unit kedua, ia mencanangkan keyakinannya bahwa Ia hanya mengandalkan TUHAN dalam hidup ini. Apapun yang ia alami, ia tidak goyah: Ia berpegang teguh pada Tuhan, penolong, pembebas (ay.5), pelindung (ay.9). Segala kekuasaan lain relatif, tidak berarti apa-apa di hadapan Tuhan yang menjadi segala-galanya di dalam segala-galanya.

Pengalaman negatif itu dilanjutkan dalam unit ketiga. Ia merasa bahwa semua orang mengelilingi, untuk mengepung dia, tetapi ia tidak takut. Ia bisa mengalahkan mereka karena Tuhan melindungi dia (ay.10.11.12). Dalam ay.12 kita melihat metafora kehadiran para musuh dalam rupa lebah yang datang mengerubungi dia, dan juga api duri. Agak susah memahami metafora kedua ini. Singkatnya sbb: di gurun ada sejenis semak berduri, yang kalau terbakar, apinya tidak mudah dipadamkan, karena api terus menyala di dalam tanah, melalui akarnya, yang mengandung oksigen tinggi. Jadi, api itu tidak hanya mengepung dia di permukaan tanah, melainkan juga mengancam dia dari dalam tanah, berupa panas membara.

Gema pengalaman itu masih dilanjutkan dalam unit keempat. Di sini ada unsur baru, yaitu pengalaman ditolak (ay.13). Memang ia merasa ditolak, tetapi ia tidak terjatuh karena ia ditolong TUHAN. Atas dasar itulah ia mengungkapkan keyakinannya dalam ay.14 bahwa TUHAN adalah kekuatan dan keselamatanku. Karena Tuhan ada di pihak dia, maka dia pasti menang dan bersorak karenanya (ay.15). Secara khusus ia menyinggung tindakan Tuhan, melalui tangan kananNya (ay.16) yang melakukan keperkasaan. Atas dasar itu ia yakin bahwa ia tidak akan mati, melainkan hidup, tetapi bukan hidup demi dirinya sendiri, melainkan untuk mewartakan karya Tuhan (ay.17). Dalam ay.18 kita temukan sebuah pengalaman kontras: Tuhan memang menghajar dia, tetapi Tuhan tidak menyerahkan dia kepada maut. Jadi, ia tetap hidup.

Unit kelima. Setelah seuntaian pengalaman selamat dan luput dari maut seperti yang diungkapkan dalam beberapa unit terdahulu, sekarang pemazmur siap masuk ke dalam gerbang kebenaran. Apa itu? Itu adalah kediaman Tuhan, bahkan Tuhan itu sendiri; Tuhan adalah kebenaran. Si pemazmur mau masuk ke dalam gerbang kebenaran itu, dengan tujuan yaitu bersyukur kepada Tuhan karena Ia telah menjawab semua permohonannya, dan Tuhan telah menjadi keselamatan bagi dia (ay.21).

Unit keenam. Di sinilah kita menemukan sebuah ayat yang terkenal dan semoga kita hafal ayat 22: “Batu yang dibuang oleh tukang-tukang bangunan telah menjadi batu penjuru.” Ini juga adalah pengalaman kontras. Apa yang tampak sepele di mata dunia, justru diangkat Allah. Dan itu adalah perbuatan TUHAN; itu adalah mukjizat agung bagi kita, perbuatan ajaib (ay.23). Unit ketujuh. Ayat 24 juga terkenal dan akrab bagi kita karena teks ini sering diangkat oleh komponis untuk dijadikan lagu. Mungkin kita akrab dengan Latinnya: Haec dies quam fecit, Dominus. Exultemus, et laetemur in Ea. (ay.24). Dalam ayat 25 kita masih membaca permohonan pemazmur agar diberi keselamatan dan kemujuran. Unit kedelapan. Ayat 26 juga terkenal karena dipakai dalam teks Kudus TPE. Setelah tinggal di dalam Rumah Tuhan dan mengalami keselamatan Tuhan, sekarang ia mau membagi berkat itu kepada orang lain. Itulah aspek lain dari ayat 26. Dalam ayat 27 ia melukiskan pengalaman lain akan Allah, yaitu sebagai Terang, yang menerangi kita. Bagian kedua dari ayat 27 itu mengingatkan kita akan kesibukan hari raya, di mana orang membawa banyak hewan kurban untuk dipersembahkan kepada Tuhan di mezbahNya.

Unit kesembilan. Puncak semua ini adalah ekspresi maksimal dari pemazmur yang dengan lantang mengatakan bahwa ia mau melambungkan lagu pujian dan syukur kepada Tuhan penyelamat (ay.28). Akhirnya, dalam ayat 29, seperti dikatakan tadi, pemazmur mengulang kembali refrein awal dengan meriah lagi: Bersyukurlah kepada TUHAN, sebab Ia baik! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya.

Georgetown University, Washington DC, USA, Desember 2014.

Friday, April 10, 2015

MEMAHAMI DAN MENIKMATI MAZMUR 117

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Inilah mazmur paling pendek dari 150 mazmur yang ada dalam Kitab Suci. Mazmur ini hanya terdiri atas dua ayat. Mazmur ini termasuk kategori mazmur pujian yang berciri universal (umum). Universal, artinya mazmur ini bisa dipakai oleh siapa saja, di mana saja dan kapan saja.

Pemazmur mulai dengan ajakan meriah untuk memuji dan memuliakan Yahweh, Pujilah Tuhan, Halleluyah. Ia mengajak segala bangsa untuk ikut serta dalam lagu pujian itu. Sedemikian besarnya keagungan dan kemuliaan Tuhan sehingga ia merasa tidak cukup untuk memujinya sendirian saja. Ia pun mengundang segala bangsa yang lain. Ia mengajak segala bangsa untuk memegahkan Tuhan. Bangsa dan sukubangsa adalah sinonim; sesungguhnya yang dimaksudkan sama, tetapi diungkapkan dengan kata lain.

Lalu dalam ayat 2 dia memberikan alasan pujian itu. Ia mencoba meyakinkan orang yang diajaknya itu, mengapa kita harus memuji-memuji Tuhan. Alasannya ada dua. Sebab kasih-Nya hebat atas kita dan kesetiaan Tuhan untuk selama-lamanya. Kasih dan setia adalah terjemahan dari kata hesed, salah satu sifat Tuhan. Hesed Yahweh itu menyertai kita, semacam love in action, cinta yang tampak nyata dalam perbuatan, dalam tindakan nyata. Hal itu akan berlangsung selama-lamanya. Tidak hanya sesaat saja; itulah janji kekal Allah. Mazmur ini ditutup dengan cara yang sama seperti pembukanya: Halleluiah, Pujilah Tuhan.

Gaithersburg, Maryland, USA, Awal Desember 2014.

Wednesday, February 25, 2015

MEMAHAMI DAN MENIKMATI MAZMUR 116

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Ada banyak alasan bagi manusia beriman menghaturkan syukur berlimpah kepada Allah, pencipta dan penyelenggara hidup. Memang sudah seharusnya seluruh hidup manusia beriman senantiasa ditandai dengan untaian ucapan rasa syukur itu. Struktur dasar hidup seorang beriman ialah hidup penuh syukur. Ada bermacam-macam alasan untuk syukur tersebut. Salah satunya ialah pengalaman luput dari belenggu maut. Memang hidup adalah serba rapuh. Hidup secara niscaya terarah kepada kematian. Tidak ada makhluk hidup yang tidak akan mati. Semuanya pasti mati. Sein zum Tode, kata filsuf, Martin Heidegger. Tetapi Allah menolong kita dari kerapuhan hidup kita. Menurut orang beriman, maut bukanlah kata-kata terakhir, sebab akhirnya hidup itu akan kembali bermuara dalam kehidupan juga. Itu sudah pasti.

Hal seperti inilah yang, dengan kata-kata dan rumusan sendiri, direnungkan dalam Mazmur 116 ini. Mazmur ini termasuk cukup panjang, mencapai 19 ayat. Judul Mazmur ini dalam Alkitab kita ialah “Terluput dari belenggu maut”. Untuk dapat memahami dan menikmatinya dengan baik, maka sebaiknya Mazmur ini dibagi-bagi. Dalam pembacaan saya, Mazmur ini dapat dibagi tiga bagian. Bagian I, meliputi ay.1-11. Bagian II, meliputi ay.12-14. Bagian III, meliputi ay.15-19.

Ada dua tindakan Allah yang mendorong pemazmur bersyukur. Karena Allah mendengarkan; juga diungkapkan dengan kata kerja menyendengkan telinga (ay.2 dan 1). Allah membebaskan dia dari maut (diungkapkan dengan beberapa ungkapan, ay.3). Tetapi ia bebas karena menyerukan nama Allah (ay.4). Atas dasar semua pengalaman itu ia pun bersyukur kepada Allah. Dalam ay.5 ia menegaskan sifat-sifat Allah. Dalam ayat 6 ia menegaskan karya-karya Allah. Atas dasar kedua pengalaman itu (ay.5-6), ia pun meminta kepada jiwanya agar tenang, tidak usah takut dan cemas; du brauchts keine Angst zu haben (ay.7).

Ayat 8 ada perubahan gaya sebab ia seperti berbicara secara langsung dengan Allah. Berbeda dengan yang di atas tadi, di mana ia berbicara sebagai orang ketiga tentang Allah. Ia berwarta kepada orang lain di sekitar. Dalam ayat 8 ia berbicara langsung dengan Allah. Ada permainan dan perubahan antara tentang dan dengan. Dalam ayat 9 ia kembali seperti berbicara kepada yang lain tentang Allah. Ayat 10: pelukisan tentang pengalaman paradoks: tertindas tetapi tetap percaya. Iman tidak mati karena tertindas atau penindasan. Ayat 11 sangat terkenal: omnis homo mendax. Semua manusia pembohong. Dan hal itu sudah berlangsung sedari mula. Sebenarnya agak sulit memahami ucapan ini. Tetapi ayat 11a kiranya memberi kita kunci pemahaman. Ia mengaku bahwa pernyataan itu keluar dari kebingungannya. Ia mengucapkan pernyataan itu ketika ia bingung. Memang dalam situasi bingung, orang bisa berbuat dan mengucapkan apa saja yang bisa membingungkan orang lain. Tetapi pernyataan itu mengandung kebenaran juga, sebab memang sedari mula manusia sering melakukan kebohongan, bahkan kepada Allah (bdk.Kej.3).

Sekarang kita melihat bagian II yaitu ayat 12-14. Refleksi pemazmur terus berlanjut dalam bagian ini. Dan refleksi itu dimulai dalam ayat 12 dengan pertanyaan reflektif. Pertanyaan reflektif itu menyangkut pelbagai pengalaman positif pemazmur akan Allah di masa silam: Bagaimana akan kubalas kepada TUHAN segala kebajikan-Nya kepadaku? (ay.12). Pertanyaan reflektif itu dijawab dalam ayat 13-14, berupa dua buah untaian janji. Rupanya di masa silam, si pemazmur pernah bernazar, dan sekarang, setelah mengalami kebaikan Tuhan, ia bermaksud melunasi nazar-nazarnya itu (ay.13-14).

Dalam ayat 15 kita dapat merasakan peralihan. Ini bagian III mazmur ini. Dalam bagian ini, pemazmur mencoba menguraikan beberapa hal penting. Kematian adalah tidak terhindarkan. Semua makhluk hidup pasti mati. Tetapi apresiasi terhadap kematian itu berbeda-beda untuk setiap orang sesuai dengan olah kehidupannya di dunia ini. Orang yang dikasihi Tuhan, ketika mereka mati, itu bukan kematian sia-sia, sebab kematian mereka adalah sesuatu yang berharga di mata Tuhan. Sadar akan hal itu, pemazmur pun sampai kepada suatu kesadaran bahwa relasi dia dengan Allah adalah relasi yang sangat akrab laksana hubungan darah, antara ibu dan anak. Anak dan ibu merasa dekat satu sama lain (ayat 16). Dalam kesadaran akan relasi akrab-familial seperti itu, ia merasa sudah mengalami tindakan pembebasan yang dilakukan Allah dalam hidupnya. Itu sebabnya, dalam ayat 17, ia bernazar: mau mempersembahkan korban syukur kepada Allah, dan menyerukan nama TUHAN. Ia juga tidak menyembunyikan nazarnya itu kepada Tuhan, melainkan ia akan melunaskan nazar-nya itu di depan seluruh umat (ay.18). Tidak hanya di depan seluruh umat, melainkan juga ia akan mempersembahkan nazar itu di Yerusalem, di pelataran rumah Tuhan (ayat 19).

Georgetown University, Washington DC USA, Medio Desember 2014.

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...