Monday, September 7, 2015

MEMAHAMI DAN MENIKMATI MAZMUR 119 BGN IV

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Dari penggal Mazmur ini kita bisa melihat betapa kuat dan dalamnya relasi pemazmur dengan Taurat. Relasi itulah yang menjadi pokok refleksi pemazmur dalam penggal keempat ini. Bagian IV dari Mazmur 119 ini mencakup ayat 97-120. Secara garis besar, Bagian IV ini dapat dibagi lagi menjadi tiga unit yang lebih kecil. Unit I terdiri atas ay.97-104; unit II terdiri atas ay.105-112; unit III terdiri atas ay.113-120. Saya akan mencoba mengulasnya dengan mengikuti alur pembagian unit-unit di atas tadi.

Dalam unit pertama, ia semakin secara mendalam melukiskan relasinya dengan Taurat Tuhan. Relasi itu sudah sedemikian rupa sehingga masuk ke dalam relasi cinta; karena ia sangat mencintainya maka ia merenungkannya sepanjang hari (ay.97). Sebagai buah hasilnya, pemazmur merasa bahwa ia lebih bijaksana karena Taurat itu sudah ada dalam dirinya (ay.98), sudah “ditulis dalam hatinya” kalau meminjam gagasan “teologi perjanjian baru” dari Yeremia dan Yehezkiel. Kita bisa menyebut hal ini peran didaktik (didactic role) dari relasi yang intens dengan Taurat; relasi itu mengubah orang dari dalam dan orang itu pun menjadi lebih bijaksana. Peran didaktik itu dilanjutkan dalam dua ayat berikutnya, di mana pemazmur merasa lebih berakal budi (ay.99) dan merasa lebih mengerti (ay.100) karena kedekatan relasinya dengan Taurat Tuhan. Dalam dua ayat berikutnya pemazmur melukiskan dua implikasi praktis dari pengetahuannya akan Taurat. Karena Taurat Tuhan ia menjauhkan langkah kakinya dari lorong kejahatan (ay.101); ia juga tidak mau menyimpang sedikitpun dari Taurat Tuhan, sebab Tuhan sendirilah yang bersabda di dalamnya (ay.102). Pemazmur merasakan betapa Taurat itu sangat manis bagai madu (ay.103). Berkat Taurat itulah ia merasa menjadi lebih berhikmat dan hal itu juga mempunyai implikasi praktis bagi perilaku hidup, yaitu ia benci akan segala dusta (ay.104; ingat perintah ke-8 dari Dekalog).

Di bagian awal unit kedua, kita menemukan sebuah ayat yang terkenal karena menjadi ayat ulangan dalam mazmur antar bacaan: Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku (ay.105). Fungsi Taurat itu tidak lagi hanya untuk mulut, otak, hati, melainkan juga untuk kaki, menjadi petunjuk praktis untuk jalan hidup, perilaku hidup. Bisa dimengerti bahwa pemazmur kembali bersumpah untuk tidak akan pernah meninggalkan hukum Tuhan, melainkan ia akan selalu menepatinya (ay.106). Selanjutnya, kita menemukan lagi sebuah sisi gelap dari hidup pemazmur; ia merasa tertindas, namun demikian ia tetap berharap agar Tuhan menghidupkan dia (ay.107). Ia meminta agar Tuhan senantiasa mengajarkan hukum-Nya kepada dia, dan ia selalu mempunyai kesempatan untuk melambungkan puji-pujian kepada Tuhan; ia yakin bahwa pujian seperti itulah yang sungguh berkenan kepada Tuhan (ay.108). Hidup menurut Taurat Tuhan rupanya selalu mengandung risiko sosial dan moral berupa tantangan dari dunia sekitar; namun demikian pemazmur tidak pernah melupakan Taurat Tuhan (ay.109). Bahkan ada orang fasik yang memasang jerat baginya, tetapi ia tetap tidak tergoda sedikitpun untuk menyimpang dari perintah Tuhan (ay.110). Mungkin kita bertanya, mengapa pemazmur begitu dekat dengan Taurat Tuhan? Jawabannya ada dalam dua ayat terakhir dari unit ini. Itu tidak lain karena Taurat Tuhan sudah menjadi milik pusakanya (ay.111), dan sudah menjadi kecenderungan dasar hidupnya untuk melakukan perintah-perintah Tuhan (ay.112). Taurat sudah menjadi kebiasaan, menjadi habitus baginya.

Dalam unit ketiga, pemazmur merenungkan beberapa hal penting dan menarik. Karena ia sendiri teguh mencintai dan mentaati Taurat Tuhan, maka ia tidak suka akan orang-orang yang suka dilanda bimbang hati dalam melaksanakan Taurat; hal itu berbeda dengan dirinya yang selalu mencintai Taurat tersebut (ay.113). Pemazmur merasa bahwa Tuhanlah pelindung dan perisai hidupnya; maka ia hanya berharap pada firman Tuhan (ay.114). Karena ia sudah mempunyai keinginan kuat untuk berpegang teguh pada firman Tuhan, maka ia menghalau para penjahat (ay.115).

Dalam ayat berikut ada sebuah doa yang dirumuskan dengan sangat indah, di mana pemazmur mengungkapkan harapannya agar Tuhan selalu menopang hidupnya; hal itu penting bagi dia agar ia tidak menjadi malu karena pengharapannya akan Tuhan (ay.116). Doa pengharapan dan permohonan yang indah itu dilanjutkan dalam ayat berikut; di sini ia memakai kata lain tetapi tetap mengungkapkan ide pokok yang sama: sokonglah aku agar ia hidup; kalau ia hidup maka ia akan selalu bersukacita dalam hukum Tuhan (ay.117). Dalam dua ayat berikut pemazmur melukiskan dua model hidup dari orang yang bertentangan dengan Taurat Tuhan; pertama adalah orang-orang yang sesat (ay.118) yang ditolak Tuhan karena tipu muslihat dalam hidup mereka. Kedua adalah orang-orang fasik yang dipandangnya sebagai sanga (KUBI: buih atau kotoran logam yang dilebur; ay.119). Maka di akhir ayat 119 ia kembali menegaskan relasi cintanya dengan Taurat Tuhan. Segi lain dari relasi itu, ia ungkapkan dalam bagian akhir dari unit ini (ay.120). Ia mengungkapkan rasa takutnya akan Tuhan; tetapi takut yang dimaksudkan di sini bukanlah seperti takut akan setan, melainkan sebuah ketakutan yang suci, atau biasa disebut takwa. Jadi, akhirnya, dalam refleksinya, ia bermuara pada ketakwaan. Luar biasa.

Geithersburg, Maryland, USA, Medio Desember 2014.
KUBI: Kamus Umum Bahasa Indonesia.

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...