Friday, July 1, 2016

MEMAHAMI DAN MENIKMATI MAZMUR 127

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Mazmur ini dalam Alkitab kita mempunyai judul berikut ini: “Berkat TUHAN pangkal selamat.” Keselamatan bisa terjadi karena berkat Tuhan. Tentu itu adalah sebuah pengalaman iman yang snagat menarik. Mazmur ini termasuk dalam kategori sebuah mazmur ziarah. Tetapi di sini diberikan sebuah keterangan khusus, yaitu nyanyian ziarah Salomo. Judul mazmur di atas tadi kiranya sudah menggambarkan seluruh isi mazmur itu sendiri. Tidak ada sumber lain bagi shalom kita, selain Tuhan itu sendiri. Oleh karena itu, manusia tidak boleh mengharapkan keselamatan dari sumber-sumber yang lain.

Ada dua aktifitas hidup manusia yang diangkat si pemazmur di sini untuk melukiskan penyelenggaraan Tuhan atas hidup manusia. Kedua aktifitas itu termasuk dalam kategori aktifitas dasar dalam hidup manusia. Pertama, ialah aktifitas membangun rumah. Rumah adalah tempat tinggal, dalam artian bangunan fisik, sebuah space. Tetapi rumah juga di sini bisa diartikan secara rohani. Yang dimaksudkan ialah hidup rumah tangga, hidup keluarga itu sendiri yang memang tinggal dalam sebuah rumah, sebuah home sweet home. Upaya manusia membangun “rumah” dalam artian luas tadi, akan menjadi sia-sia jika upaya itu tidak dilakukan dalam dan bersama Tuhan. Atau kalau upaya itu dilakukan tidak dalam kesadaran akan kuasa kasih dan penyelenggaraan Tuhan sendiri. Kiranya itu sebabnya dalam pelbagai kebudayaan orang selalu membangun rumah dengan diawali dengan sebuah ritual tertentu, ritual membangun rumah.

Kedua, aktifitas mengawal kota. Ini adalah tugas para peronda atau penjaga malam. Tugas ini dimaksudkan untuk menjaga dan menjamin keamanan kota. Tugas utama mereka ialah untuk bisa mengetahui apakah kota itu aman, apakah tidak ada musuh yang datang menyerang. Menurut si pemazmur, tugas ini juga akan menjadi sia-sia belaka, jika dilakukan tanpa bantuan Tuhan sendiri. Itulah pokok yang diungkapkan dalam ayat 1 mazmur ini.

Ayat 2 cukup sulit juga untuk dipahami. Di sini dilukiskan mengenai kesibukan dan aktifitas manusia, mulai dari pagi hari hingga malam hari. Tentu yang dimaksudkan di sini adalah aktifitas pekerjaan manusia di siang hari; aktifitas yang baik-baik maksudnya (bukan merampok, membunuh, mencuri, membunuh, korupsi, dll). Semuanya itu akan terasa sia-sia juga kalau tidak dilandaskan pada iman akan Tuhan. Sebab hasil dari usaha dan jerih payah manusia tidak lagi ditentukan oleh manusia itu sendiri, melainkan oleh campur tangan Tuhan sendiri. Buah hasil upaya manusia, yaitu roti atau makanan, pada akhirnya diberikan oleh Tuhan sendiri kepada orang-orang yang dikasihiNya. Dan yang menarik ialah bahwa justru buah hasil upaya itu diberikan oleh Tuhan pada waktu si manusia itu tidur. Dengan kata lain, buah hasil itu bukan jerih payah manusia, melainkan rahmat dan kasih Allah belaka.

Ayat 3-5 mengandung suatu isi yang lain sama sekali. Di sini kita dapat melihat sebuah lompatan. Di sini pemazmur berbicara tentang anak dan keturunan. Anak-anak (walaupun disebut secara eksplisit di sana, anak-anak lelaki, tetapi kiranya saya mau memperluasnya juga kepada anak-anak perempuan) adalah milik pusaka dari Tuhan. Seperti kata Kahlil Gibran, anak-anak adalah milik sang Pencipta. Mereka datang melalui orang tua yang melahirkan, tetapi mereka (anak-anak tadi) bukanlah milik mereka (orang tua). Mereka adalah upah yang diberikan atau berasal dari Tuhan (ay 3). Anak-anak itu adalah kebanggaan. Terutama anak-anak yang dilahirkan pada masa muda. Anak-anak itu, diibaratkan sebagai anak panah di tangan para pahlawan (ay 4).

Dalam ayat 5 kita menemukan sebuah metafora yang lain. Seorang pahlawan (ksatria) biasanya membawa bekal senjata busur dengan tabung anak panah yang penuh terisi. Seorang pahlawan seperti itu menjadi ibarat bagi orang yang mempunyai anak di masa mudanya. Orang seperti ini dinilai perkasa dan mempunyai otoritas (kewibawaan) dan kekuatan di mata masyarakat, di ruang publik (ay 5). Jika ia tampil berbicara di ruang publik (pintu gerbang) maka ia tidak akan mendapat malu, dan tidak ada musuh yang bisa membuatnya takut dan gentar di pintu gerbang kota.

Ketika membahas poin terakhir ini, saya tergelitik untuk bertanya bagaimana dengan orang yang tidak mempunyai anak? Dalam bingkai konteks Perjanjian Lama, di satu pihak, hal itu dianggap sebagai sebuah kutukan (terutama bagi kaum perempuan yang tidak bisa memberi anak dan keturunan bagi suaminya). Tetapi di pihak yang lain, dalam Perjanjian Baru kita menemukan pujian bagi rahim yang tidak pernah mengandung, dan susu yang tidak pernah menyusui (Luk 23:29). Para pembaca Katolik cenderung membaca teks ini dan mengkaitkannya dengan cara hidup para perawan yang tidak menikah. Tetapi kiranya ada cara baca yang lain yang mengkaitkan teks ini dengan sebuah bingkai visi akhir jaman (eskatologi). Bahkan mereka dipuji jauh lebih berbahagia daripada semua yang lain. Ini juga sebuah paradoks dalam pandangan hidup manusia. Tidak selalu mudah untuk memahaminya. Tetapi paradoks akan berhenti menjadi indah jika selalu bisa dijelaskan dan dipahami.

Bandung, akhir Maret 2016
Fransiskus Borgias M. (Dosen Teologi Biblika FF-UNPAR Bandung).

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...