Sunday, May 8, 2016

MEMAHAMI DAN MENIKMATI MAZMUR 126

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Mazmur ini dalam Alkitab kita mempunyai judul menarik: “Pengharapan di tengah-tengah penderitaan.” Mazmur ini terdiri atas enam ayat. Jadi, mazmur ini termasuk cukup pendek. Judul itu mengandung sebuah paradoks yang tidak selalu mudah untuk dihayati: berharap di tengah himpitan derita. Memang penderitaan adalah sebuah pengalaman negatif. Tidak jarang pengalaman negatif itu bisa membuat manusia jatuh terjerembab dalam situasi putus-asa. Tetapi ternyata dalam refleksi si pemazmur ini, situasi penderitaan justru membangkitkan pengharapan. Tidak selamanya penderitaan itu membelenggu manusia. Gelombang penderitaan itu ada akhirnya juga. Itulah yang menjadi keyakinan si pemazmur di sini. Pada saat itulah ia akan mengalami situasi keceriaan, situasi penuh sukacita dan tawa.

Itulah sebabnya begitu seseorang keluar dari sebuah kungkungan pengalaman negatif, ia tidak pernah menduga bahwa hal itu terjadi. Ia bahkan menduga bahwa itu mungkin hanya sekadar sebuah mimpi saja. Tetapi ternyata tidak. Itu adalah pengalaman yang amat nyata: Tuhan memulihkan keadaan Sion (ay 1). Ketika hal itu terjadi maka kita menjadi sangat bersukacita, penuh tawa gembira, lidah bersorak-sorai (ay 2). Perasaan hati, diungkapkan lewat mulut, lewat lidah, lewat alat tutur kita. Maka orang-orang lain di sekitar kita pun bisa melihat pengalaman sukacita itu. Bahkan mereka juga bisa melihat pengalaman penyelamatan yang dikerjakan Tuhan.

Itu sebabnya dalam ayat 2bc kita melihat para bangsa bersaksi mengenai perbuatan ajaib yang telah dikerjakan Tuhan bagi umatNya. Mereka menegaskan kembali pengalaman mukjizat itu sehingga harus diungkapkan dalam rasa sukacita yang besar (ay 3). Di ayat 4 ada sebuah permohonan agar Tuhan sudi memulihkan keadaan umat sebagaimana Tuhan memulihkan batang air kering di tanah Negeb. Tidak jelas bagi saya, mukjizat historis mana yang dimaksudkan di sini.

Lalu disusul dengan ayat 5 yang sangat terkenal itu: “Orang-orang yang menabur dengan mencucurkan air mata, akan menuai dengan bersorak-sorai.” Di sini dilukiskan sebuah paradoks: apa yang awalnya dilakukan dalam suasana duka, akan diakhiri dalam suasana sukaria. Pengalaman paradoksal itu dilanjutkan terus dalam ayat 6, masih dengan memakai ungkapan yang diangkat dari dunia pertanian. Ini adalah sebuah paradoks dalam pekerjaan pertanian, mengolah ladang.

Ketika orang mengolah ladang, orang bersusah payah, berlelah-lelah, badan menjadi letih, menjadi sakit karena kerja keras. Tetapi aktifitas bercocok-tanam itu selalu dibingkai sebuah bayang-bayang dan harapan bahwa suatu hari kelak, apa yang telah ditabur itu akan menghasilkan buah berlimpah. Saat ditanam atau ditaburkan, memang penuh dengan keletihan badan. Tetapi nanti, saat dituai, dipanen, ada juga kerja-keras untuk melakukan hal itu, tetapi lebih banyak ditandai oleh pengalaman sukacita dan sorak-sorai.

Semua itu terjadi di dalam Tuhan dan karena Tuhan. Jerih-payah yang dikeluarkan dalam proses mengolah ladang dan menabur benih, dibayang-bayangi dengan harapan bahwa nanti akan ada hasil dari bumi yang melimpah, yang bisa menjamin hidup dan masa depan. Tidak akan ada kelaparan dan segala macam penyakit yang terkait atau disebabkan oleh kelaparan tersebut. Jerih-payah bertani selalu dilakukan dalam bingkai musim panen kelak. Derita saat ini selalu dihayati dalam bingkai harapan bahwa semuanya akan segera berlalu. Harapan selalu lebih besar daripada himpitan derita. Itu pesan dasar mazmur ini bagi kita sekalian. Hiduplah selalu dalam perspektif pengharapan. Itulah inti dari hidup dalam iman. Hidup dalam pengharapan adalah tanda adanya iman dan hidup yang ditandai oleh harapan dan iman itu hanya dimungkinkan dalam landasan dan bingkai kasih.

Bandung, akhir Desember 2015.
Oleh: Fransiskus Borgias M.
Dosen Teologi Biblika FF-UNPAR Bandung.


No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...