Wednesday, August 3, 2016

MEMAHAMI DAN MENIKMATI MAZMUR 128

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Judul mazmur ini dalam Alkitab kita ialah “Berkat atas rumah tangga”. Mazmur ini juga masih termasuk dalam kategori mazmur Ziarah. Mazmur ini terdiri atas enam ayat. Ada banyak rumusan dan persepsi mengenai orang yang bahagia dan kebahagiaan (hidup bahagia). Hidup bahagia itu sendiri, menurut Failasuf Aristoteles, adalah tujuan dasar hidup manusia. Manusia hidup untuk menjadi (mencari, mengupayakan) bahagia. Kebahagiaan itu bisa didefinisikan secara ekonomis, psikologis, sosiologis, moral. Tetapi dalam Mazmur 128 ini ada sebuah definisi teologis mengenai orang yang berbahagia dan kebahagiaan.

Menurut ayat 1, ada dua kriteria bagi orang yang berbahagia. Pertama, orang yang berbahagia adalah orang yang takut akan TUHAN. Ketakutan yang dimaksudkan di sini, bukanlah sebuah ketakutan yang biasa, seperti takut akan setan, takun akan binatang buas, atau takut akan kegelapan, ketakutan akan ketinggian, ketakutan akan ruang tertutup. Semua jenis ketakutan ini adalah sejenis phobia. Ketakutan yang terutama dimaksudkan di sini bukanlah semacam fobia itu. Melainkan rasa takut yang suci, yang biasanya disebut dengan kata lain yaitu takwa, sebuah rasa takut yang suci.

Kedua, orang yang berbahagia adalah orang yang hidup menurut jalan TUHAN. Jalan Tuhan yang dimaksudkan tentu saja hukum Taurat dan juga para nabi dan pelbagai wejangan kaum berhikmat. Ayat 1 di atas tadi menetapkan sebuah syarat teologis-vertikal untuk kebahagiaan itu. Ayat 2 menetapkan sebuah syarat manusiawi-horizontal untuk kebahagiaan itu. Menurut ayat 2 ini, orang disebut berbahagia dan baik keadaannya jika orang itu menikmati hasil jerih-payah dan kerja-tangannya sendiri. Itulah kebahagiaan seorang manusia, yaitu jika ia beres dalam relasinya dengan Tuhan dan juga beres dengan relasinya dengan dirinya sendiri.

Sekarang dalam ayat 3, ditunjukkan secara jelas mengenai buah hasil dari hidup yang berbahagia itu, atau hasil dari relasi yang serba beres itu. Di sana disebutkan dua pihak lain dalam hidup berumah-tangga. Pertama, ialah isteri, dan kedua ialah anak-anak. Secara eksplisit disebutkan di sana bahwa dalam relasi hidup yang beres dan benar itu, sang isteri akan menjadi seperti pohon anggur yang subur. Pohon anggur itu bisa hidup subur karena ada kondisi yang memungkinkan hal itu terjadi, ada kesuburan. Maka pohon anggur itu, bisa bertumbuh subur dan tentu saja diharapkan akan berbuah banyak juga. Begitu juga halnya dengan anak-anak. Mereka menjadi seperti tunas pohon zaitun. Kedua pohon ini, anggur dan ziatun, adalah pohon yang sangat penting dalam kehidupan orang-orang Israel dulu. Dua pohon itu sering sekali dijadikan sebagai tanaman yang diupayakan dan dibudidayakan untuk kehidupan manusia. Jika kedua hal ini terjadi, yaitu ketika kehidupan isteri dan anak-anaknya hidup bahagia, maka itu adalah kebahagiaan sejati bagi seorang pria, seorang ayah, seorang suami. Ia akan mendapatkan dan mengalami sebuah situasi ketenangan rohani dan jasmani.

Tetapi sekali lagi di dalam ayat 4 itu ditekankan sebuah syarat, yaitu orang laki-laki yang takut akan Tuhan. Jika orang hidup dalam ketakutan akan Tuhan, maka orang itu akan diberkati Tuhan. Relasi yang benar dengan Tuhan, juga akan menentukan relasi yang benar dengan Sion, dengan Yerusalem, tempat kudus milik Tuhan sendiri. Dikatakan dengan jelas dalam ayat 5, Tuhan akan memberkati dia dari Sion, agar orang itu bisa menyaksikan dan mengalami Yerusalem yang berbahagia, makmur dan damai sejahtera. Kalau Yerusalem mengalami situasi damai-sejahtera, maka orang bisa datang berziarah ke sana dengan tenang, tanpa ada rasa ketakutan sama sekali. Tidak ada kecemasan dan gelisah, misalnya karena takut akan musuh yang tiba-tiba datang menyerang. Kondisi tenang dan penuh damai-sejahtera ini juga menjadi “hadiah” bagi orang yang hidup dalam relasi yang baik dan benar dengan Tuhan.

Dan akhirnya, orang yang hidup dengan baik dan benar juga akan diberkati dengan umur panjang. Memang umur panjang, dalam pandangan Perjanjian Lama, adalah pertanda bahwa orang itu mendapat rahmat dan perkenanan Tuhan sendiri. Umur pendek, atau mati muda adalah pertanda keadaan terkutuk. Oleh karena seseorang itu berusia panjang dalam hidupnya di dunia ini, maka ia bisa menyaksikan anak-anak cucunya. Umur panjang juga termasuk salah satu berkat yang berasal dari Tuhan sendiri. Kiranya bagi orang ini, tidak berlaku apa yang dikatakan dalam Mazmur 90:9: “Sungguh, segala hari kami berlalu karena gemasMu, kami menghabiskan tahun-tahun kami seperti keluh”. Oleh karena itu, kiranya dapatlah dipahami bahwa untaian mazmur ini di akhir ayat 6 ditutup dengan sebuah seruan tentang Damai sejahtera atas Israel.

Bandung, Mei 2016.
Dosen Teologi Biblika, UNPAR Bandung.


No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...