Friday, December 4, 2015

MEMAHAMI DAN MENIKMATI MAZMUR 120

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Mazmur 120 ini cukup singkat; hanya 7 ayat. Di sini saya tidak membaginya menjadi beberapa unit sebagaimana biasanya. Saya membahasnya sebagai satu kesatuan.

Judul mazmur ini: “Dikejar-kejar fitnah.” Di sini pemazmur mempersonifikasi (membuat menjadi seperti person/orang) fitnah; personifikasi fitnah itu sedang mengejar pemazmur. Itu yang menyebabkan dia merasa kesesakan (ay 1). Dari dalam kesesakan itu, ia lambungkan permohonan kepada Tuhan dan Tuhan mengabulkannya. Apa isi doanya? Pemazmur meminta kepada Tuhan agar Tuhan membebaskan dia dari dua sosok yang mengancam hidupnya: Pertama, pendusta (bibir dusta, ay 2), kedua, penipu (lidah penipu, ay 2). Keduanya sinonim, tetapi diungkapkan dengan dua ungkapan berbeda, yang satu memakai bibir, yang lain memakai lidah. Keduanya adalah alat ucap (artikulasi) yang memungkinkan manusia bisa berbicara, berbahasa.

Kedua alat-tutur itu bisa dipakai sebagai sarana pendidikan (didaktik), tetapi di sini dipakai untuk penyesatan/penipuan. Karena itu dalam ayat 3 pemazmur terdorong mengajukan pertanyaan retoris terhadap pendusta/penipu itu: “Apakah yang diberikan kepadamu dan apakah yang ditambahkan kepadamu, hai lidah penipu?” Jawabannya jelas dalam ayat 4: ia tidak mendapat apa-apa, selain kekerasan yang pasti menimpa penipu-pendusta itu. Secara khusus di sini disebutkan dua bentuk kekerasan: panah tajam, bara kayu arar. Panah menusuk, melukai; bara api menghanguskan, membakar. Para pendusta/penipu pasti mengalami kengerian seperti ini. Itu keyakinan pemazmur.

Rupanya pengalaman pemazmur ini bertolak dari pengalaman kongkret yaitu pergaulan dengan orang yang tidak menghendaki hidup rukun, perdamaian, melainkan pertikaian, peperangan. Pemazmur menyebut nama tempat Mesekh dan Kedar (ay 5). Rupanya orang di sana adalah orang yang tidak mau hidup berdampingan secara damai dengan orang lain, dengan orang asing, dengan pendatang. Itu sebabnya pemazmur merasa hidup sebagai orang asing di tengah mereka. Ia merasa tidak betah, merasa tidak diterima, karena watak, perilaku, perangai berbeda. Di satu pihak, pemazmur yakin bahwa ia adalah orang suka damai, dan suka membicarakan perdamaian (ay 7), tetapi orang di sekitarnya membenci perdamaian (ay 6). Mereka mengembangkan wacana berbeda: Pemazmur wacana damai (ay 7), mereka wacana perang (ay 7).

Tidak mudah hidup dengan orang seperti itu. Dan itu tidak hanya tantangan bagi pemazmur dulu, tetapi juga tantangan bagi kita sekarang. Betapapun itu tidak mudah, tetapi sebagai pengikut Kristus kita dipanggil untuk hidup berdamai dengan orang lain, sebab Yesus berkata: “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah” (Mat 5:9). Kalau kita mau disebut anak-anak Allah, hiduplah dalam damai. Kalau tidak, maka kita adalah.... bisa diisi sendiri.

Bandung, akhir Oktober 2015.
Oleh: Fransiskus Borgias M.
Dosen Teologi Biblika FF-UNPAR Bandung.

1 comment:

Marbun said...

Trima Kasih artikel Bapak sangat memberkati saya memberi wawasan pemahaman yang lebih kaya Lagi untuk mazmur 120.

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...