Thursday, November 12, 2015

MEMAHAMI DAN MENIKMAT MAZMUR 119 BAGIAN VI

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Dengan ini, akhirnya kita sampai pada bagian akhir dari ulasan singkat mengenai Mazmur 119 yang paling panjang dari antara semua mazmur-mazmur yang lain (mencapai 176 ayat). Ini adalah bagian yang keenam. Seperti biasa saya akan membagi bagian akhir Mazmur 119 ini dalam beberapa sub-unit lagi. Unit I meliputi ayat 151-160. Unit II meliputi ayat 161-168. Unit III meliputi ayat 169-176. Dalam bagian berikut saya akan mencoba melihat masing-masing bagian itu.

Dalam bagian pertama kita masih dapat merasakan kesinambungan renungan bagian ini dengan bagian yang terdahulu (Bagian V). Misalnya, langsung dalam bagian awal ini, si Pemazmur mengungkapkan kesadarannya bahwa Tuhan dekat padanya dan ia menemukan kebenaran dalam perintah-perintah Tuhan yang ada dalam Taurat-Nya (ay 151). Ia sudah mengetahui hal itu sejak dahulu (ay 152). Ia menempatkan diri dalam relasi yang sangat dekat dengan Allah. Oleh karena itu, ia berdoa agar Allah sudi meringankan deritanya (ay 153), dan mengurus perkaranya (ay 154). Tidak lupa ia juga meminta kepada Allah agar menghidupkan dia sesuai dengan janji-Nya. Dalam konteks itu ia sadar bahwa rahmat Allah itu sangat berlimpah (ay 156). Sebaliknya, orang-orang fasik dan durhaka tidak mendapat shalom (ay 155.157). Alasannya jelas: karena orang-orang ini tidak mencari hukum Allah. Selanjutnya, walau ia dihimpit oleh orang-orang fasik dan durhaka tadi, si pemazmur tidak menyimpang sedikit pun dari jalan Allah. Sebab sangat gampang terjadi bahwa dalam situasi terhimpit orang bisa menjauh dari Tuhan. Tidak demikianlah halnya dengan si pemazmur. Ia merasa bosan melihat orang-orang pengkhianat; ya, kira-kira seperti halnya kita bosan melihat badut-badut politik di TV. Di akhir unit ini si pemazmur lagi-lagi mengatakan bahwa ia tetap cinta akan perintah-perintah Allah (ay 159), dan ia ingin hidup oleh kasih setia (hesed) Allah. Ia yakin karena firman Tuhan itu kokoh dan berlaku untuk selama-lamanya. Segala sesuatu boleh berubah, tetapi firman Tuhan akan berlangsung selama-lamanya.

Dalam unit berikut ini (II) ia mulai berbicara tentang relasi dengan penguasa. Para penguasa, mungkin karena kuasa yang ada di tangannya, bisa menjadi sewenang-wenang, menjadi rusak dan busuk, seperti kata Lord Acton itu (power tends to corrupt). Di sini pemazmur merasa dikejar-kejar tanpa alasan yang jelas; tetapi walau demikian ia tidak takut karena ia berharap pada Allah, ia mengharapkan pertolongan dari Allah sendiri (ay 161). Oleh karena itu, hidupnya pun ditandai oleh kegembiraan, karena ia berharap pada janji Allah; dan sukacita itu besar (ay 162). Ia cinta akan Taurat dan karena itu ia tidak akan dusta (ay 163). Dalam ay 164 ia menyinggung tentang tradisi tujuh-waktu doa Yahudi, yang juga ada dalam tradisi Kristiani. Si pemazmur yakin bahwa hidup menurut Taurat akan mendatangkan rasa aman dan bahkan nyaman; tidak ada batu sandungan (ay 165). Oleh karena ia melakukan perintah Allah (Taurat), maka ia berharap mendapat shalom (keselamatan) dari Allah (ay 166). Selanjutnya kita melihat bahwa si pemazmur juga amat cinta pada hukum Allah, dan oleh karena itu ia memegangnya dengan teguh (ay 167). Pemazmur merasa bahwa hidupnya serba terbuka (sama sekali tidak ada yang tertutup) di hadapan Allah, dan oleh karena itu ia tidak mau menyimpang dari hukum-hukum Allah.

Akhirnya kita sampai ke Unit ke-III. Dalam dua ayat awal dari penggalan ini ia melukiskan diri sedang berdoa dan ia berharap bahwa doanya sampai ke hadapan Allah; ia juga berharap, moga-moga Allah segera membebaskan dia (ay 169-170). Doa-doa itu masih diteruskan dalam ayat berikut ini: (ay 171-172). Ia memberikan juga alasan bagi doa dan pujian itu: alasannya tidak lain ialah karena perintah Allah itu benar dan karena Allah mengajarkan ketetapan-ketetapanNya kepadanya. Doa itu diteruskan dalam ay 173, di mana ia berharap agar Allah dapat menjadi penolong baginya. Dalam tiga ayat yang terakhir terasa ada sebuah hal yang baru dan semakin menarik juga. Pertama, ia sedang mengungkapkan rasa rindunya akan Allah. Kedua, ia meminta juga agar Allah membiarkan jiwanya tetap hidup. Ketiga, ia berharap agar Allah mencari dia jika dia tersesat laksana domba yang hilang itu dalam kisah-kisah injil (174, 175, 176). Jadi, Mazmur ini ditutup dengan sebuah metaphor, yaitu Allah sebagai sang gembala, tema yang sudah sering sekali muncul dalam Kitab Suci kita.

Bandung, akhir Oktober 2015.
Oleh: Fransiskus Borgias M.
Dosen Teologi Biblika FF-UNPAR Bandung.


1 comment:

canticumsolis said...

Artikel ini akan dimuat dalam BERGEMA edisi 220 November 2015 TAHUN XXI.

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...