Showing posts with label renungan hari ini. Show all posts
Showing posts with label renungan hari ini. Show all posts

Monday, October 13, 2008

TIDAK KAWIN DEMI KERAJAAN ALLAH

Oleh: Fransiskus Borgias M (EFBE@fransisbm)

Dalam beberapa kesempatan, teman-teman saya dari kalangan Protestan selalu bertanya kepada orang Katolik (termasuk saya sendiri) mengenai hidup selibat yang dihayati oleh para imam dan biarawan dan biarawati Katolik. (Tetapi tidak hanya dari kalangan Protestan, melainkan juga dari kalangan saudara-saudara yang muslim). Tidak hanya sekadar bertanya, melainkan mereka juga menganggap dan mencapnya sebagai suatu praksis hidup yang melawan kodrat. Bahkan mereka juga menganggapnya sebagai suatu yang melawan perintah Allah untuk kawin dan berkembang biak, beranak-cucu, dan memenuhi muka bumi ini. Bahkan ada juga yang secara berkelakar dengan mengatakan bahwa cara hidup seperti itu adalah cara hidup yang tidak mau menikmati indahnya surga di dunia ini, tidak mau menikmati kenikmatan dunia ini. Ada juga yang mengatakan (dan ini biasanya datang dari orang-orang yang tahu sejarah gereja, dan juga sejarah pemikiran teologi) bahwa cara hidup seperti itu dilatar belakangi oleh suatu visi negatif dan pandangan dualistik akan tubuh, akan dunia, akan perkawinan, dan juga akan seksualitas itu sendiri. Biasanya teks yang selalu ditunjuk atau diangkat sebagai dasar biblis dari semua anggapan dan pandangan mereka di atas tadi adalah Kej.1:26-28. (Isinya sudah disinggung dalam beberapa baris di tengah alinea ini).

Terhadap pandangan, anggapan dan bahkan tuduhan seperti itu, biasanya saya memberi beberapa rangkaian penjelasan sebagai berikut. Dan di bawah ini saya memberikan beberapa tanggapan saya. Pertama, dalam Mateus 19 Yesus membedakan tiga jenis orang yang tidak kawin. Yang kesatu, ialah orang yang tidak kawin karena dari sono-nya orang itu memang tidak bisa kawin. Alias onderdil-nya kurang lengkap, atau peralatannya memang kurang memadai. Yang kedua, orang yang tidak kawin karena dibuat menjadi seperti itu oleh orang-orang lain. Kategori yang kedua ini adalah orang yang tidak bisa kawin karena dipaksa orang lain agar tidak bisa kawin. Inilah kelompok yang dalam kitab suci disebut kaum sida-sida (Dalam Kisah Para Rasul kita baca mengenai salah satu dari orang sida-sida dari Etiopia yang kemudian dibaptis oleh Filipus). Dalam bahasa Yunaninya disebut kaum eunuch (harfiah: orang yang dikebiri). Yang ketiga, orang yang tidak kawin karena kerajaan Allah.

Nah, jenis yang ketiga inilah yang menjadi dasar biblis untuk praksis hidup selibat, yaitu hidup yang tidak kawin dan tidak dikawinkan. Hidup mereka adalah hidup seperti para malaekat. Dan di dalam surga para malaekat itu memang tidak kawin dan tidak dikawinkan. Hidup di dalam surga itu adalah hidup seperti para malaekat. Itulah dimensi eskatologis dari iman Kristiani. Itulah dimensi eskatologis dari iman. Orang yang tidak kawin dan tidak dikawinkan karena atau demi kerajaan Allah mempunyai satu obsesi saja, yaitu mau mementaskan hidup eskatologis itu sekarang dan di sini, yaitu di dunia ini. Jadi, cara hidup ini memang sangat membutuhkan iman yang kuat dan mendalam. Tanpa hidup iman yang kuat dan mendalam, orang akan mustahil dapat menghayati cara hidup ini. Sebab cara hidup memang adalah cara hidup dari dan karena iman dan pengharapan dan cinta kasih.

Kedua, dewasa ini semakin kuat muncul kesadaran baru di kalangan kaum Protestan mengenai tidak adanya kesaksian hidup eskatologis di kalangan mereka sendiri. Kesadaran itulah yang telah mendorong terjadi atau munculnya esperimen baru di Taize itu. Pelopornya ialah orang yang bernama Roger Schutz (biasanya disebut Bruder Roger). Sesungguhnya dia ini adalah seorang Protestan (atau paling tidak berasal dari keluarga dengan latar belakang protestan yang kental, walau tidak disangkal ada pengaruh-pengaruh Katolik juga dalam dirinya). Apa yang dilakukan orang ini? Yang dilakukan orang ini tidak lain ialah, ia merintis hidup membiara ekumenis di Taize, Prancis. Ia bermimpi dan berobsesi mudah-mudahan lewat cara ini ia bisa mengupayakan ekumenisme Kristiani. Di beberapa tempat, orang-orang Protestan mulai menghayati hidup wadat demi Kerajaan Allah, walau ada juga yang mencoba menghayatinya secara sementara saja. Jadi, semacam selibat temporer.

(Bandung, 04 Oktober 2008).

BIBLIA PAUPERUM

Oleh: Fransiskus Borgias M (EFBE@fransisbm)

Tanggal 24 September 2008 yang lalu, seperti biasa saya ikut dalam perayaan ekaristi pagi di Katedral Bandung. Itu adalah suatu hal yang sudah ritin saya lakukan selama ini. Sesaat sebelum perayaan ekaristi dimulai, ketika saya sedang terhanyut dalam alunan ombak doa pribadi, saya mengarahkan fokus pandangan mata dan perhatian saya ke altar. Dan di sana saya merasa sangat tertarik ketika memandang dan mengamati gambar pada kaca hias (fresco) di dinding di atas altar itu. Walau pun sudah tua (berumur), tetapi memang gambarnya sangat indah dan bernada biblis. Itulah yang menjadi latar belakang altar. Lukisan yang paling mencolok ialah balada penyaliban Tuhan Yesus. Sementara sedang bermenung memandang gambar-gambar itu, tiba-tiba muncul satu ilham pemikiran teologis dalam diri saya. Itulah yang mau saya beberkan dalam tulisn singkat dan sederhana ini.

Secara tradisional selalu dikatakan dalam sejarah gereja dan sejarah teologi (juga sejarah liturgi) bahwa hiasan dan terutama lukisan dinding dalam gereja pada abad pertengahan tidak lain dimaksudkan sebagai biblia pauperum, yaitu kitab suci bagi orang-orang miskin. Orang miskin, justru karena miskin adalah kelompok orang yang tidak bisa memiliki buku. Memang pada saat itu buku adalah sesuatu yang lux, yang mewah dan sangat mahal. Karena tidak memiliki buku, maka mereka juga tidak bisa membacanya. Aktifitas membaca buku memang merupakan hak istimewa kelompok atau kalangan tertentu. Membaca dan menulis adalah sebuah profesi yang langka, yang karena itu menjadi cukup mahal. jasa baca dan tulis saat itu adalah jasa yang mahal kalau ada orang yang memang pandai membaca dan menulis.

Tetapi apakah orang-orang yang tidak bisa membaca huruf itu lalu tidak bisa berbuat apa-apa? Misalnya, tidak bisa memahami dan menghayati injil suci? Tentu saja jawabannya: tidak. Sebab masih ada jalan dan cara lain. Mereka masih bisa melihat dan menikmati atau membaca gambar-gambar. Dengan melihat gambar-gambar suci yang kebanyakan diilhami dengan teks-teks Kitab Suci, orang yang buta huruf, biasanya langsung dengan mudah menangkap isi Kitab Suci. Jadi, dengan kata lain, gambar-gambar itu mempunyai nilai didaktis.

Persoalannya sekarang ini ialah, apakah kalau orang sudah bisa membaca dan menulis semua (sebab angka buta huruf dewasa ini sudah semakin langka), lalu lukisan-lukisan itu kehilangan maknanya dan karena itu dibuang saja dan tidak perlu lagi. Tunggu dulu. Jangan terburu-buru. Menurut hemat saya, gambar-gambar dan semua karya seni itu masih tetap perlu. Jadi, jangan dibuang menjadi sampah. Sebab menurut kata Rublev, ikon adalah theology in colors atau theology in arts. Sebab, selain fungsi didaktis, gambar-gambar suci juga mempunyai nilai dan fungsi lain yaitu nilai dan fungsi estetis, yang biasanya bisa mengisi hati, mengisi intuisi, dan imajinasi, membangun citra, gambar, image, imago. Selain itu, semua karya seni menurut hemat saya dapat berfungsi untuk meredam tendensi logosentrisme (yang sudah lama disuarakan oleh Levinas) dengan apa yang disebut art-sentrisme, bersentrum pada art, pada seni. Sebab pada akhirnya, seni itu juga adalah sarana dan bahasa komunikasi.

Jadi, dalam artian itu seni dan karya seni khususnya gambar dan patung, tetap perlu dan diperlukan. Tanpa seni, hidup menjadi sepi, menjadi tanpa arti, bisa menjadi kering. Seni adalah oase kehidupan. Ia bisa membawa kesegaran dan kesejukan tertentu di tengah padang pasing kehidupan. Apresiasi seni tetap perlu sebagai alat didik (didaktik), dan sekaligus juga ia dapat berfungsi sebagai alternatif cara berteologi, dan juga alternatif cara berkatekese.

Sehubungan dengan semua wacana ini, saya perlu mengingatkan bahwa jangan sampai muncul fenomena antigambar, anti patung, yang dalam sejarah gereja dikenal dengan sebutan ikonoklasme itu. Ikon, dalam dirinya sendiri tetap baik juga. Sebagai realitas jasmani yang tercipta (jadi ini pun ciptaan Allah yang baik adanya), ia adalah sesuatu yang baik. Maka marilah kita menggambar, membangun dan mengembangkan imago. Marilah kita berteologi dengan gambar, mari mengajar anak-anak dengan gambar. Sebab saya sangat yakin bahwa “Verba vollant, imago manet in aeternum.” Di tempat lain orang juga berseru: “Ars longa, vita brevis.” Kesenian abadi, hidup itu serba singkat, serba sebentar, serba pendek, hanya sekejab. Mari menghias vita yang brevis itu dengan ars. Sebab betapa tragisnya vita yang brevis itu menjadi kering dan kerdil karena terasing dari ars.

(Bandung, 24 September 2008).


Friday, October 10, 2008

BUNGKUK DI HADAPAN ALLAH TRITUNGGAL MAHAKUDUS

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)

Selama ini saya mengajak para mahasiswa saya mengawali kuliah kami tentang Allah Tritunggal Mahakudus dengan sebuah praksis doa yang sangat unik. Saya meminta agar kami bersama-sama membungkukkan badan sedalam-dalamnya, seraya mengucapkan doa ini: Kemuliaan kepada Bapa dan Putera, dan Roh Kudus, seperti pada permulaan, sekarang, selalu, dan sepanjang segala abad, Amin. Saya sendiri sudah mempraktekkan hal ini sejak lama dalam kuliah yang saya berikan tentang Allah Tritunggal. Tetapi mengapa saya melakukan hal ini? Apa arti penting dari praksis seperti ini bagi saya? Saya mengajak para mahasiswa untuk berefleksi bersama tentang pertanyaan itu.

Bagi saya artinya yang paling paling penting dan paling dalam ialah bahwa dengan cara membungkukkan badan sedalam-dalamnya, saya mau dengan sengaja memberi ruang yang seluas-luasnya kepada kehadiran Allah Tritunggal Mahakudus. Seperti kata Yohanes dalam injilnya, Ia harus menjadi semakin besar, dan aku harus menjadi semakin kecil. Dengan cara itu pula, saya ingin menyadari secara lebih intens ada dan kehadiran dari Allah Tritunggal Mahakudus itu. Pada gilirannya saya berharap bahwa dengan cara itu saya semakin menyadari bahwa dalam doa doxologi itu saya sesungguhnya sedang berusaha membangun relasi pribadi dengan Allah Tritunggal yang juga adalah persekutuan pribadi-pribadi. Mengucapkan doa itu dengan sikap hormat seperti itu, bagi saya berarti suatu pengakuan eksplisit akan adanya pribadi-pribadi di dalam Allah Tritunggal Mahakudus.

Praksis doa seperti ini telah membantu saya semakin menyadari bahwa doa doxologi itu bukan hanya sebuah rumusan verbal yang kosong belaka, melainkan doa itu adalah tindakan menyapa pribadi, dan membangun relasi pribadi. Jadi, yang dibangun di sana ialah relasi dan interaksi antar pribadi. Menjadi semakin jelas bagi saya bahwa doa itu bukan sekadar rumusan baku-verbal. Bukan sekadar kata-kata mati, melainkan membangun relasi yang hidup. Sebab ada bahaya bahwa kata-kata akan menjadi verbal belaka dan sama sekali tidak mampu membangun imajinasi yang hidup tentang pribadi-pribadi, dalam hal ini adalah pribadi Tritunggal. Praksis ini saya dapatkan dari praksis dalam biara dulu: kalau mengucapkan doxology ini di akhir mazmur dan kidung, kami selalu membungkukkan badan kami sedalam-dalamnya. Hal ini semakin diperkuat lagi dengan perjumpaan saya dengan seorang teman dari Yunai, Vasilis Xiravas. Ia seorang yang beragama Ortodoks Yunani. Dia memberi kesaksian kepada saya bahwa ketika mereka menyebut Allah Tritunggal Mahakudus, mereka akan membungkukkan badan mereka. Itu adalah tanda penghormatan. Sikap itu sama seperti sikap yang dituntut dari Musa ketika Musa datang mendekati semak bernyala tetapi yang tidak terbakar itu.

Menurut hemat saya, kita orang-orang Katolik harus berusaha mengembalikan kembali rasa hormat seperti ini ketika mengucapkan nama Allah Tritunggal Mahakudus. Sebab pengucapan itu selalu berarti kehadiran, pengucapan yang menghadirkan. Kita orang-orang Katolik rasanya sudah tidak lagi mempunyai cita rasa penghormatan akan nama Allah Tritunggal Mahakudus, dan menjadi sekadar sebuah nama atau bahkan untaian kata-kata saja. Sayang kalau demikian. Maka mari kita mulai lagi.

Bandung, 10 Oktober 2008


AYAT-AYAT CINTA


Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)

Tanggal 12 September 2008 silam, dalam rangka kuliah moral seks dan perkawinan, saya dan para mahasiswa S2 saya nonton bareng di Sinesofia. Film yang kami tonton adalah film yang beberapa waktu yang lalu menjadi tontonan menarik di Indonesia. Film yang saya maksudkan tidak lain ialah Ayat-ayat Cinta. Film ini melukiskan secara sangat wajar peristiwa jatuh cinta antara anak manusia. Cinta dating dari mana? Menurut Maria, dating dari atas. Sedangkan menurut Fahri, cinta itu dating dari dalam hati. Sehubungan dengan ini saya lalu bertanya, siapa subjek kehendak dan tindakan manusia? Ini sebuah pertanyaan yang sulit dijawab. Secara tersirat, menurut Fahry adalah manusia yang menjadi subjek tindakan dan kehendak itu: Aku sudah memilih kamu, satu kali. Tetapi menurut Aisya, itu adalah termasuk dalam rahasia Allah. Ada rencana dan kehendak Allah yang tidak dapat kita ketahui. Kita pasrah dan iklas saja. Lalu, dalam hal ini siapa subjek tindakan dan pilihanku? Ini menjadi sebuah persoalan besar. Sang teman di dalam penjara itu sangat menggaris-bawahi sikap iklas dan pasrah ini. Film itu berbicara tentang poligami. Dan mungkin juga berusaha membelanya, dan mungkin juga sedikit banyak membenarkan dan mempromosikannya. Tetapi harus disadari bahwa ternyata tidak mudah poligami itu. Itu tampak kentara dari dialog yang ada dalam film itu juga antara Fahry dan Syaiful, yang menyangkut topic yang sulit dan sekaligus menarik: antara menyatukan dua wanita dan prinsip keadilan. Sebab di sana juga dikatakan manusia tidak bisa bersikap adil. Hanya Allah saja yang adil. Keadilan adalah sifat Allah. Sebuah refleksi yang lebih tinggi adalah dari Maria, yaitu tentang perbedaan antara cinta dan hal memiliki.

Seperti sudah dikatakan di atas, film ini tampaknya mau mencoba membela dan menjelaskan poligami. Tetapi sekaligus menggambarkan juga betapa hal itu tidak serba mudah. Mungkin lebih mudah monogamy daripada poligami. Dalam poligami ada yang berkorban, dan ada juga yang dikorbankan. Salah satu pihak, selalu mencoba untuk mengalah atau bahkan mungkin juga dikalahkan. Maria akhirnya, mencoba mengalah secara radikal, yaitu dengan mati. Dan menurut saya, mati adalah mengorbankan diri, dan itu terjadi dalam konteks relasi cinta poligami. Menurut saya, inilah paradoks film yang mencoba membela poligami itu. Jujur saja, film ini indah. Betapa indahnya jatuh cinta itu. Tetapi betapa sulitnya juga hal memilih di dalam proses dan peristiwa jatuh cinta. Dan kalau sudah memilih, pasti ada yang menjadi korban, menjadi sedih, murung, menangis. Paling-paling yang bisa mereka lakukan hanya mencoba menghibur diri dalam nostalgia yang pahit dan getis. Film ini seakan-akan menampilkan sudut pandang perempuan tentang poligami. Tetapi menurut saya justru tidak: bagaimana pun juga sudut pandang film ini akhirnya adalah sudut pandang pria saja. Si pria yang melakukan poligami itu dilukiskan saleh: hanya percaya pada Allah dan ikut usulan sang isteri. Maka sekali lagi, muncul pertanyaan itu, siapa yang menjadi subjek tindakan dan kehendak dalam diri manusia. Manusia itu sendiri, ataukah ada dalangnya? Jangan-jangan manusia ini hanya wayang saja dan tidak mempunyai otonomi rasio dan kehendak. Kalau ini benar, betapa filsafat manusia di belakang film ini tidak dapat saya terima.

Bandung, 14 September 2008.

Thursday, October 9, 2008

EKSISTENSI KRISTIANI BERSTRUKTUR TRINITARIAN

EKSISTENSI KRISTIANI BERSTRUKTUR TRINITARIAN

Oleh: Fransiskus Borgias M (EFBE@fransisbm)

Hari ini saya memberi kuliah tentang misteri Allah Tritunggal Mahakudus Tuhan yang Mahaesa; sesuatu yang sudah saya jalankan sejak tahun 2003. Fokus saya selama ini ialah bagaimana kesaksian Kitab Suci tentang hal ini. Saya mau mengarahkan mahasiswa ke kesaksian Kitab Suci. Kalau kesadaran itu semakin kuat, barulah saya mengarahkan mereka kepada dogma. Sebab kalau langsung ke dogma, saya melihat ada bahaya bahwa orang akan sampai pada kesimpulan bahwa ajaran Tritunggal mahakudus adalah produk dogma belaka dan tidak mempunyai jejak-jejak pendasarannya di dalam Kitab Suci. Karena itu saya menempuh jalan terbalik. Sesungguhnya jalan ini tidak seluruhnya baru, sebab saya melihat jalan itu juga ditempuh oleh teolog lain. Saya melihat hal itu dilakukan Leonardo Boff dalam bukunya Allah Persekutuan. Hal itu juga dilakukan oleh Walter Kasper, dalam bukunya The God of Jesus Christ itu. Gerald O.Collins, sebagai ahli kitab suci juga membaktikan sebagian hidupnya, dengan menggali beberapa aspek pendasaran biblis dari ajaran iman Trinitas ini.

Salah satu ide yang saya angkat ialah kenyataan bahwa seluruh eksistensi orang Kristiani pada dasarnya bercorak dan berstruktur Trinitarian. Itulah tesis dasar yang saya angkat dengan mengikut Walter Kasper.

Untuk menjelaskan hal ini saya memakai dua poin penjelasan sebagai berikut: pertama, kita semua menjadi Kristiani (jadi titik awalnya) dengan cara ditenggelamkan dalam nama misteri agung Allah Trinitas Mahakudus. Sebab kita semua dibaptis dalam nama Bapa, Putera, dan Roh Kudus. Kedua, hidup kita selanjutnya dan seluruhnya dari waktu ke waktu (mudah-mudahan) dihayati di dalam kesadaran akan ada dan kehadiran dari Allah Trinitas itu. Bahkan seluruh peristiwa wahyu Perjanjian Baru berstruktur dan bercorak Trinitarian juga.

Hari ini, teks yang saya angkat sebagai ilustrasi untuk menjelaskan pokok itu ialah Galatia 4:4-6. Ketika saya menguraikan teks ini, tiba-tiba muncul sebuah ilham yang luar biasa dalam benak saya. Menurut hemat saya, ini adalah salah satu teks yang dengan amat kuat menyiratkan ciri dan struktur Trinitarian dari peristiwa wahyu dalam Perjanjian Baru: Allah Bapa mengutus Anak-Nya yaitu Yesus Kristus (misteri inkarnasi), ke dunia. Inilah misteri penjelmaan, sabda menjelma menjadi daging, menjadi manusia, verbum caro factum est. Inkarnasi itu tidak lain dimaksudkan agar kita bisa mejadi anak juga (divinisasi). Karena kita sudah menjadi anak, maka Allah pun sudi mengutus Roh-Nya yang Kudus untuk masuk dan tinggal di dalam hati kita. Di tempat lain dikatakan bahwa cinta kasih Allah sudah dicurahkan ke dalam hati kita, oleh Roh Ilahi. Pada gilirannya Roh yang tinggal dalam hati kita itulah yang mendorong dan menggerakkan kita untuk berseru dan menyapa ya Abba, ya Bapa. Dengan kata lain, Roh yang measukkan kita ke dalam misteri hidup Tritunggal itu. Roh itulah yang memasukkan kita ke dalam misteri dan dinamika relasi kasih Tritunggal Mahakudus. Roh itulah yang membawa kita kepada pengenalan akan Allah sebagai Abba. Bahkan dalam masa-masa kegelapan jiwa, Roh itulah yang berdoa bagi kita dengan kata-kata dan gumaman-gumaman yang tidak terucap. Luar biasa bukan pengalaman seperti ini?

(Bandung 12 September 2008).


DI ATAS UMUR 60 TAHUN

Oleh: Fransiskus Borgias M (EFBE@fransisbm)

Sangat menarik bahwa sejauh yang dapat saya amati selama ini, semua atau sebagian besar para teolog (Katolik dan beberapa yang Protestan/Lutheran) yang menulis buku tentang misteri Allah Tritunggal Mahakudus, rata-rata sudah berusia di atas 60 tahunan. Saya sampai pada penemuan dan kesadaran seperti ini karena sudah sejak tahun 2003 silam saya mengajar teologi Allah Tritunggal Mahakudus itu pada Fakultas Filsafat (Teologi) Universitas Katolik Parahyangan Bandung. Tentu saja dalam rangka kuliah itu saya harus membaca banyak buku yang memberi uraian dan penjelasan tentang Allah Tritunggal Mahakudus itu. Saya juga harus menulis diktat kuliah. Di tengah dan dalam upaya pembacaan itulah saya sadari kenyataan yang sudah saya sebut di atas tadi. Saya beri saja beberapa contoh: Leonardo Boff menulis buku tentang Trinitas setelah ia berusia di atas 65 tahunan. Alhasil, munculnya yang sangat matang dan mendalam, yang memberikan perspektif teologi pembebasan bagi teologi Trinitas itu. Judulnya pun sangat menarik: Allah Persekutuan. Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Alex Armanjaya, dkk., dan diterbitkan oleh LPBAJ, Maumere. Herbert Vorgrimler baru menulis buku tentang Trinitas di atas usia 60 tahun juga. Buku ini juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia seorang teolog yang bernama Gisbert Greshake. Buku orang ini pun sudah diterjemahkan juga ke dalam bahasa Indonesia. Sejauh yang saya amati, Jurgen Moltmann juga baru menulis buku tentang teologi Allah Trinitas sesudah ia berumur enampuluhan. Begitu juga dengan seorang Yesuit yang bernama Anselm K.Min.

Nah, pertanyaannya ialah, mengapa? Apakah ada kaitan yang erat antara usia enampuluhan tahun dan kemampuan menulis tentang teologi Allah Tritunggal itu? Sesungguhnya agak sulit juga melihat kaitan antara hal-hal itu. Tetapi, saya melihat beberapa kemungkinan alasan dan penjelasan. Pertama, mungkin dibutuhkan kematangan hidup rohani dan kematangan intelektual tertentu, dan kematangan iman tertentu agar orang bisa menulis sesuatu tentang misteri iman Trinitas ini. Sebab kita semua tahu bahwa Allah Tritunggal Mahakudus adalah misteri iman Kristiani. Tidak serba gampang orang sampai kepada iman ini. Butuh pengalaman iman yang kuat dan mendalam akan Allah. Kedua, mungkin hal itu juga disebabkan karena objek kajian dalam teologi ini adalah sesuatu yang sangat mendalam, yang sangat rumit, tetapi sekaligus juga sangat sederhana. Oleh karena itu, orang tidak mau menulisnya secara gegabah, dan dengan tergopoh-gopoh. Melainkan orang berusaha menulisnya dari suatu relung kedalaman pengalaman iman dan rohani yang tenang dan hening-bening. Ketiga, orang cenderung sangat berhati-hati di dalam menulis sesuatu tentang teologi Allah Tritunggal ini, karena sejarah sudah membuktikan bahwa teologi ini merupakan salah satu poin yang mudah menjebloskan orang ke dalam jurang bidaah dan kesesatan. Saya kira, mungkin itulah sebabnya orang sangat berhati-hati di dalam membicarakan apalagi menuliskan topik ini. Arius, jatuh ke dalam bidaah, Apolinarius jatuh ke dalam bidaah, kaum pneumatomachi jatuh ke dalam bidaah, dan masih banyak lagi yang lain. Paling tidak, itulah beberapa poin penjelasan yang saya lihat ketika menyadari hal ini.


(Ditulis di Bandung pada 26 Agustus 2008).

Tuesday, October 7, 2008

THE WORKER OF NATURE

The Worker of Nature
By: EFBE@fransisbm (Fransiskus Borgias M).

I remember, once I stood near a big tree in the garden of our minor seminary in Kisol, Manggarai, West Flores (NTT). The outer skin of the tree is already hard and dry. But it seemed that it becomes a play-ground for small insects and also a lot of small black-ants. When you close up to the dry surface of the skin of the tree, you will see a beautiful play-ground for small creatures of God. At that time I was interested in watching the busy activity of those ants. They are the workers of nature. They are, as if, created to work. Or they are born to work, as the saying goes, born to be music, born to be free. Working, as if, has become the second nature of their very existence. Working is their mode of existence. Stop working seemed to them meaning stop to live. And stop to live means dead. That is why they always work very hard. They are hard workers in the nature. And they seemed did not stop at all with their job. Their job is everything for them.

I have to tell you also that I often stood near that tree because it gives me fresh air. It is really a natural freshness. And also it gives me a certain “classroom” of natural life. On the natural level, we can easily see that life is totally struggle. And at that level, there is also a certain natural law that is the law of “survival of the fittest.” If you are strong enough you will be lucky to survive on the plane of living creatures. But If your are weak, then you will be thrown away.

Once I remember that I was curious, while standing under the shadow of the tree. I just want to know how they (ants) would react to the external disturbances. Then I start to blow them with the breath of my mouth. And look, what they are doing to defend themselves. They were trying to defend themselves by stick down their small black-bottom to the skin of the tree. They try to stick to the place where they are at the very moment. They try very hard, I know. They try to do it in order not to be swept out of the natural play-ground by the power of my breath which is for them maybe like a storm, or even a tsunami.

In a certain sense they are trying to defend the place where they are. And they did it almost spontaneously. When I stopped blowing they move around again as quickly as possible. Yes, they search and search. It is a never-ending search.

Now I know why there are a lot of wise words in the languages of the human race in the world saying, “Learn the ethos of working from the ants.” Or it just went like those words: “Learn hard work from ants.” Wise man always encourages the lazy people in the society to go and watch the ants, hoping that they (lazy people) will learn the discipline of working from those ants. Yes, they are the teacher of nature, teaching the discipline of working. Because working is very important for human being in order to be able to live in this world. I think that is why St.Paul once said in one of his famous letter in the New Testament, that those who did not work let them eat nothing. What a terrible and horrible punishment for laziness, for lazy people. Because by working you earn something for living. You cannot earn money (for your living) if you did not work. By working you open your gracious and generous hand and heart to God, the nature. Thanks God.


(Bandung, 07 Oktober 2008).


Monday, September 22, 2008

Antara Cinta dan Pelayanan

Oleh: Fransiskus Borgias M., (EFBE@fransisbm)

Menjelang akhir tahun 80-an, saya membaca sebuah buku. Buku ini merupakan hasil karya seorang pengarang Perancis yang kenamaan yaitu Andre Gide. Judulnya, Simfoni Pastoral. Buku ini ditulis dalam bentuk sebuah buku harian, sebagai catatan pribadi seorang pendeta dalam pergumulan dan pergulatan karya pelayanan pastoralnya. Buku ini sekaligus juga merupakan semacam “pengakuan” seorang pendeta yang mengalami kebingungan akibat suatu konflik batin yang mendua. Oleh karena itu, tema buku ini adalah kemenduaan hati atau hati yang mendua: antara cinta akan isteri yang sah dan cinta lain yang bersemi di dalam karya pelayanan pastoral. Semacam gejala “Torn between to lovers.” Kalimat ini kiranya dengan amat tepat mengungkapkan situasi batin sang pendeta. Ia mengalami konflik batin antara kewajiban moral dalam layanan pastoral, dan kewajiban serta tanggung-jawab terhadap keluarga. Kedua-duanya mesti dilandasi oleh cinta dan pengabdian yang tulus dan murni. Ini kisah selingkuh sang pendeta yang tidak kesampaian.
*****
Buku ini terdiri atas dua bagian besar: Buku I dan Buku II. Buku I menggambarkan perjumpaan sang pendeta dengan seorang putri, ketika sang pendeta itu sedang dalam tugas pelayanan dan kegembalaannya. Putri malang itu buta dan amat memprihatinkan. Maka hati sang pendeta pun tergerak oleh rasa iba dan belas kasih. Kemalangan putri itu dilukiskan antara lain sebagai berikut: “….seperti sebuah onggokan yang tidak mempunyai kemauan. Garis-garis wajahnya teratur, cukup bagus, tetapi benar-benar kosong.” (6). Ia “….bagaikan daging tanpa jiwa.” (7). Ia buta dan sebatang kara. Keadaan ini menggerakkan hati pendeta untuk mengurusnya. “Semoga suatu cahaya berkat-Mu menyentuhnya, ya Tuhan! Dan mungkin Engkau akan memperkenankan kasihku menguakkan kegelapannya yang mengerikan.” Demikian doa sang pendeta di dalam hati (7).
Maka sejak itu, dimulailah suatu karya layanan pastoral “tambahan.” Di sini ia harus berjumpa dengan Amelia, isterinya. Amelia menganggap tugas ini sebagai sebuah tugas yang menambah kerepotan urusan keluarga dan tugas pokok kegembalaan. Berarti Amelia kurang suka menerimanya. “Bapak tahu, aku tidak pernah menyetujui kehadiran anak itu di antara kami” (40). Ia memperhitungkan kedermawanan, walau hatinya mulia. Di matanya cinta adalah harta yang bisa habis dipakai. Sebagai seorang ibu yang tugasnya cukup berat, ia memang tidak mau merepotkan diri lagi dengan beban baru.
Amelia menganggap putri itu sebagai “benda”: “Maksudmu hendak kamu apakah itu?” (8). Pertanyaan itu amat menyakitkan hati dan perasaan sang pendeta. Tetapi ia tetap berpegang teguh pada prinsip pastoralnya: “Aku membawa pulang domba yang hilang” (9). “….apakah mungkin baginya meninggalkan seseorang yang jelas tidak mempunyai tempat bergantung dalam keadaan putus asa” (10), katanya untuk meyakinkan Amelia. Tetapi bagaimana pun juga kehadiran anak malang itu dianggap sebagai “bencana”: mula-mula karena ia jorok dan penuh kutu, kemudian karena ada “sesuatu” yang lebih ruwet dan rumit lagi.
Sang pendeta mendampingi anak itu dengan sabar dan tekun. Anak itu dipanggil Getrude. Ketekunan dan kesabaran ini, tidak dapat dibenarkan Amelia. “Kamu tidak pernah mengurusi satu pun anakmu sendiri sampai seperti itu.” (18, 28-29). Pendeta itu ditantang Amelia. Tetapi hatinya berbangga. Buah usahanya mulai cepat tampak. Gertrude memperlihatkan kemajuan pesat. Pikirannya selalu berjalan. Onggokan itu kini menunjukkan bahwa ia berpenghuni; hampir tidak kentara lagi bahwa otak itu pernah tidur begitu lama (31).
Lambat laun kehadiran Gertrude menimbulkan keresahan. Jacques, putra sang pendeta, ternyata jatuh cinta pada Gertrude (33-37). Tragisnya lagi, ternyata ayah dan ibunya tidak menyetujui hubungan itu. Maka dibuatlah rencana (diatur) agar mereka dipisahkan untuk sementara waktu (41), sampai perasaan itu hilang atau berlalu dari hati mereka. Namun bagi pendeta sendiri masih ada persoalan lain. Rasa iba dan belas kasih yang dulu, kini berubah menjadi “cinta” yang sulit dijelaskan juga oleh pendeta itu sendiri. Kenyataan ini disadari baik oleh si pendeta maupun si Gertrude. Keduanya sama-sama bingung. Dialog ini membuktikan hal itu: “Bapa tahu betul bahwa kau-lah yang kucintai. Bapa….oh! Mengapa kau tarik tanganmu? Aku tidak akan berbicara seperti itu seandainya Bapa tidak menikah. Tidak ada orang yang mau menikah dengan seorang gadis buta. Jadi, mengapa kita tidak bisa saling mencintai? Katakan, Bapa pendeta, apakah menurut pendapatmu itu adalah dosa?” (46). Tentu ini sebuah pertanyaan yang tidak gampang dijawab. Buku I selesai.
*****
Buku II diawali dengan konflik batin sang pendeta tentang pengalaman cintanya ini. “Aku masih ragukan bahwa aku mencintainya.” Karena “aku cenderung untuk tidak mengakui cinta yagn sah di luar perkawinan, dan dalam perasaan yang menyeretku secara mendalam ke arah Gertrude, aku cenderung untuk tidak mengakui adanya hal-hal yang terlarang” (49).
Perkembangan intelektual Gertrude amat pesat. Bahkan ia pintar main piano. Jalinan hatinya dengan pendeta pun semakin mendalam. Setiap dialog mereka sangat mendalam: tentang cinta, hidup, masa depan, dosa, kebajikan, iman, dan Kitab Suci. Mereka tidak bisa lagi menyangkal bahwa mereka saling mencintai dalam artian seluas-luasnya. “Tetapi aku tidak bisa berhenti mencintaimu,” (64), kata Gertrude. Sementara sang pendeta merasakan suatu hal yang tidak enak karena hukum sosial membatasinya: ia terikat perkawinan sah. Maka ia pun berseru seakan-akan mencoba menyampaikan sebuah protes tersirat: “Bila ada pembatasan dalam cinta, yang membuatnya bukan kau, Tuhanku, melainkan maanusia. Meskipun di mana mereka cintaku adalah dosa, oh! Katakan padaku bahwa di mataMu cintaku suci” (65), demikian protesnya.
Sementara itu antara Jacques dan Gertrude pun terjalin cinta juga, cinta anak muda, hal mana menyebabkan sang ayah marah besar karena dililit “cemburu” berat. Ayah dan anak jatuh cinta pada gadis yang satu dan sama. Itulah soalnya. Gadis itu merasa sedih dan terkejut dalam pertemuan pertama setelah operasi. Ia melihat “sesuatu”, yang tidak pernah dilihatnya selama ini, walau ia bisa merasakanya. Mata yang terbuka berarti penyingkapan segala sesuatu, hal mana menyebabkan dia mau bunuh diri (70). Penyingkapan itu adalah hal ini: Gertrude merasa bersalah karena telah merebut hati dan cinta sang pendeta. Amelia sangat murung dan sedih karenanya. Gertrude mampu melihat dan merasakan hal itu, walau Amelia mencoba menyembunyikan perasaannya dalam-dalam. Karena itu, dia menganjurkan pendeta untuk mengembalikan cintanya pada Amelia. Tetapi anjuran itu justru membuat hati sang pendeta menjadi sangat sedih (71).
Lagipula setelah matanya bisa melihat, Gertrude merasa sebetulnya ia mencintai Jacques. Bayangan ideal sosok pendeta ditemukannya dalam diri Jacques. Memang cinta mereka sudah berlangsung lama dan mendalam. Tetapi mereka tidak bisa memadu kasih itu, karena sesudah menjadi Katolik Jacques masuk biara dan menjadi imam dan Gertrude meninggal. Boleh dikatakan bahwa sang pendeta “kehilangan” banyak: Jacques, Gertrude, dan cinta Amelia (sang Isteri) yang selama ini telah “terganggu.”
*****
Menurut saya, walaupun buku ini berakhir sedih, tetapi isinya sangat bagus. Gaya bahasa terjemahannya umumnya lancar dan tidak canggung juga. Bahasanya enak, mudah dicerna, dan sederhana. Tentu keahlian si penerjemah karya ini ke dalam bahasa Indonesia. Buku ini bisa dan seharusnya dibaca oleh setiap orang sebagai bahan permenungan tentang cinta dalam karya pelayanan pastoral dan cinta keluarga. Isinya amat bagus. Pengarang melukiskan dengan amat baik dua bidang kehidupan dan pelayanan yaitu keluarga dan layanan kegembalaan. Keduanya mesti dilandai cinta. Tetapi justru karena itu juga keduanya menjadi sulit dibedakan. Orang tergoda untuk memilih mana yang harus didahulukan. Di sini orang bisa jatuh bila pertimbangan skala nilainya tidak matang. Tetapi pelaku-pelaku yang telah disebutkan tadi, tidak pernah jatuh, kendati nyaris jatuh. Justru di situlah letak indahnya: “Setiap saat terancam jauh, tetapi tidak pernah sampai terjatuh.” Buku ini pun pantas dibaca oleh orang yang mau memungut seorang anak, apalagi yang cacat.

Friday, September 12, 2008

Prioritas Mendengar di atas Melihat

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Salah satu teks injil Yohanes yang melukiskan mengenai peristiwa kebangkitan Yesus dari alam maut dan yang selalu menyentuh dan menarik perhatian saya ialah Yohanes 20:11-18. Kalau kita baca teks itu dengan teliti, maka kita akan menemukan sebuah hal yang menarik dan sangat penting, karena menyangkut sebuah pandangan teologi mengenai iman akan Yesus Kristus dan juga terutama hubungan dengan Yesus Kristus. Di sana dikisahkan tentang peristiwa penampakan Yesus kepada Maria Magdalena, sebab inilah salah satu rangkaian dari kisah-kisah penampakan Yesus menurut Yohanes.

Dikatakan bahwa Maria menangis sedih tatkala pagi-pagi ia pergi mengunjungi tempat Yesus dimakamkan. Mungkin ia sudah menangis sepanjang perjalanan menuju ke makam itu. Mungkin juga ia sudah menangis sedih sejak hari penyaliban itu. Entah mulai kapan dan berapa lama, yang jelas sekali lagi dikatakan bahwa ia menangis sedih. Ia semakin sedih lagi tatkala tahu dan menyadari bahwa makam itu sudah kosong. Ia pasti menangis sejadi-jadinya. Sebab ia datang untuk melihat jenazah-Nya, tetapi ia hanya menemukan makam yang kosong. Jadi dapat dibayangkan bahwa air mata menggelinang di pelubuk matanya.

Kita semua juga tahu bahwa kalau kita menangis maka biasanya penglihatan kita menjadi kabur, penglihatan kita menjadi tidak serba jelas karena mata kita tertutup oleh butir-butir air mata yang menggenang di sana. Akibatnya, kita akan sulit mengenal orang dengan cepat dan tepat. Dari kondisi ini akan muncul kebingungan dan salah paham. Juga akan muncul miskomunikasi. Persis itulah yang terjadi dan dilukiskan di dalam teks ini. Maria salah memahami Yesus. Kiranya itulah sebabnya ketika menoleh, Maria tidak langung mengenal Yesus. Ia pangling. Salah paham ini terus berlanjut dan menghasilkan dialog-dialog seperti yang kita baca di sana.

Tetapi lalu dikatakan bahwa Yesus menyebut namanya: Maria. Ya, Yesus menyebut nama Maria. Saya lebih suka memakai kata memanggil (to call) daripada menyebut (to mention). Sebab ada beda di antara keduanya. Memanggil itu membutuhkan suatu tanggapan personal dari orang yang namanya dipanggil. Menyebut itu tidak mutlak membutuhkan tanggapan personal dari orang yang namanya dipanggil itu. Dan yang sangat menarik ialah bahwa ketika ia (Maria) mendengar suara yang menyebut atau memanggil namanya, barulah Maria langsung mengenal si empunya suara yang memanggil atau menyebut namanya tadi. Maka sebagai reaksi atau tanggapan, ia pun berseru dengan suara nyaring dan penuh kegiarangan: Guru. Maria baru mengenal sang guru lewat suaranya, ia baru bisa mengidentifikasi sang Guru lewat telinga, dan bukan terutama dengan melihat, atau mengidentifikasi dengan mata. Hal ini patut dicatat dan digaris-bawahi dengan baik-baik.

Terus terang saja, bukan baru kali ini saya membaca dan merenungkan teks ini. Saya sudah selalu membaca teks ini berkali-kali selama ini. Saya juga sudah merenungkannya terus menerus. Ada banyak hal yang muncul sebagai hasil dari permenungan saya atas teks ini. Ya, ketika mulai mencoba merenungkan teks dan peristiwa yang terkandung dalam teks ini sekarang ini, sesungguhnya saya secara spontan teringat akan beberapa hal berikut ini.

Pertama, saya teringat akan santo Paulus yang di salah satu tempat dalam surat-suratnya mengatakan bahwa iman itu terjadi atau datang melalui dan karena pendengaran. Istilah kerennya dalam bahasa Latin ialah fides ex auditu. Artinya, iman yang muncul dari atau karena mendengar (Rom.10:17). Yang terjadi di sini ialah, orang mengenal dan sampai pada pengenalan justeru karena mendengar, dan bukan terutama karena melihat. Jadi jelas bahwa di sini ada prioritas mendengarkan di atas melihat (sebagaimana dikatakan dalam judul tulisan ini). Kedua, saya juga secara spontan teringat akan Tomas, sang Rasul yang tidak mudah percaya begitu saja akan berita sensasi yang dikisahkan temat-temannya. Dalam kaitan dengan Tomas ini, jelas Maria adalah paradoks Tomas. Kalau Tomas baru mau dan bisa percaya kalau sudah melihat, maka Maria justeru sudah percaya begitu saja bukan terutama karena melihat, melainkan karena sudah mulai mendengarkan. Dan camkanlah dan ingatlah selalu bahwa kisah Maria mendahului kisah Tomas. Jadi, ada prioritas Maria dalam urutan ruang dan waktu kisah. Ada prioritas mendengar di atas melihat. Menurut saya, itulah maknanya.

Ketiga, saya juga secara spontan langsung teringat akan Yohanes 10 tentang hubungan yang baik antara gembala yang baik dan kawanan dombanya. Salah satu wujud dari adanya relasi yang baik itu ialah saling mengenal suara, antara gembala dan kawanan domba. Sehubungan dengan ini, Maria menjadi prototipe domba yang baik yang langsung mengenal suara sang gembala. Dan hal ini menandakan adanya suatu keakraban dan kedekatan relasi. Begitu suara terdengar, maka terjadilah keakraban dan cinta pun mulai mengalir dan bersemi ria. Sebab dalam Yohanes 10 Yesus mengatakan bahwa “Aku mengenal domba-dombaKu dan domba-dombaKu mengenal Aku; Aku mengenal suara dan nama mereka, dan mereka juga mengenal suaraKu.” Dan dalam kisah ini terbuktilah sudah bahwa Maria menjadi dan merupakan domba yang baik, karena ia mengenal suara Yesus, sang gembala-Nya.

Tetapi yang menarik ialah fakta bahwa yang justeru menjadi pokok warta Maria ialah: Aku telah melihat Tuhan. Bukan, aku telah mendengar Tuhan. Jadi, terjadi pergeseran dari mendengar ke melihat. Dasar pewartaan bukan pendengaran (yang menjadi dasar percaya), melainkan penglihatan (yang justru tidak disebut atau diandalkan dalam proses menjadi percaya). Inilah juga yang menjadi inti pewartaan para rasul kepada yang lain: Aku atau kami telah mendengar Tuhan. Menurut hemat saya, teks ini mempunyai arti penting di masa-masa yang akan datang dalam hidup iman Gereja. Kiranya ini bukan salah tulis melainkan ada maknanya yang kuat dan mendalam. Bahwa iman kita tidak tergantung pada melihat (penglihatan) melainkan tergantung pada mendengarkan (pendengaran). Iman datang melalui pendengaran. Berbahagialah orang yang tidak melihat namun percaya. Begitulah yang dikatakan Yesus sendiri dalam menanggapi loncatan iman Tomas. Kalau kita mendengar, kita tidak melihat, tetapi kita bisa percaya akan apa yang kita dengar. Dan pendengaran kita itulah penglihatan kita, sehingga Maria bisa berkata berdasarkan apa yang didengarnya, Aku telah melihat Tuhan. Ada pergeseran dari mendengar ke melihat. Sikap percaya dari seorang yang beriman tidak lain ialah melihat dengan mendengar dan melihat karena sudah mendengarkan.


Wednesday, September 3, 2008

Roh Berdoa Untuk Kita

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)

Dalam rapat rutin Komisi Kerasulan Kitab Suci minggu yang lalu di Seminari Tinggi Fermentum, Citepus, Pa Herman Anwar (Ketua K3S Keuskupan Bandung) telah meminta saya, agar dalam rangka dan selama tahun Paulus ini, terutama dalam rangka Bulan Kitab Suci Nasional tahun 2008 ini, untuk mencari teks-teks renungan yang diangkat dari surat Paulus kepada jemaat di Roma. Teks itu akan dibagi-bagikan kepada teman-teman anggota K3S untuk direnungkan bersama-sama selama satu minggu. Setelah satu minggu merenungkan hal itu dengan tekun dan serius, akhirnya hari ini saya menemukan sebuah teks yang sangat menarik, dan saya anggap sangat tepat untuk dijadikan bahan renungan bersama selama seminggu ini. Teks itu saya ambil dari Rom.8:26. Teks itu berbunyi sbb: “Demikian juga Roh membantu kita dalam kelemahan kita; sebab kita tidak tahu, bagaimana seharusnya brdoa; tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan.” Bagi saya teks kutipan ini sangat luar biasa. Ia mengandung sebuah kekuatan rohani yang sangat dahsyat. Inilah beberapa pokok renungan dan refleksi saya tentang teks ini.

Terus terang, sudah lama sekali saya sangat terkesan dengan teks ini. Dulu ketika masih dalam biara, saya mempunyai sebuah pengalaman dengan bapa rohani saya, Pater Vincente Kunrath OFM. Ia adalah seorang pendoa yang baik, seorang pendoa sejati. Ia juga adalah seorang bapa rohani yang baik dan pintar. Pada suatu saat saya menghadap dia untuk meminta bimbingan rohani sehubungan dengan apa yang disebut sebagai gejala “kekersangan rasa” dalam hidup rohani dan doa. Sebab memang pada saat itu saya sedang dilanda oleh fenomena kekeringan rasa dalam hidup rohani dan doa. Dalam pengalaman seperti itu, kadang-kadang kita menjadi sangat bingung, dan tidak tahu lagi bagaimana cara berdoa, mengapa harus berdoa, dan terutama sekali untuk apa berdoa. Kita bahkan mempertanyakan dan mempersoalkan arti dan fungsi serta peran doa itu. Bahkan kita juga bisa sampai pada titik krisis dalam hidup doa, dan krisis itu bisa jatuh ke dalam situasi fatal, yaitu berhenti berdoa, tidak mau lagi berdoa.

Mendengar sharing saya yang tampak bingung dan mumet itu, Pater Vicente tidak banyak omong; ia hanya terdiam. Ia juga tidak mencoba mencekoki saya dengan menguraikan banyak teori tentang hidup doa dan hidup rohani. Ia malahan mengajak saya untuk melakukan hal yang sangat sederhana saja. Yaitu mengambil alkitab masing-masing. Ya ia hanya mengajak saya untuk sama-sama membuka Kitab Suci, yaitu teks dari Rom.8:26 tadi. Lalu kami bacakan bersama teks itu. Setelah dibaca satu kali, dan hampir tanpa penjelasan yang panjang lebar, saya langsung merasa lega, merasa tercerahkan. Ada sebuah kelegaan baru yang masuk dan menyelinap ke dalam diri saya. Ini sebuah penyingkapan yang saya luar biasa. Dan Pater Vicente bisa merasakan dan melihat perubahan dalam diri saya itu.

Jauh di kemudian hari saya terus menerus memikirkan dan mencoba merumuskan buah pikiran mengenai arti penting teks ini bagi hidup rohani kita. Dan pada suatu saat saya pun sampai pada satu keyakinan bahwa teks ini penting bagi perjuangan hidup rohani kita. Ada beberapa alasan yang penting mengapa saya berani mengatakan hal itu. Pertama sekali, teks ini bisa membantu kita untuk menghindari keangkuhan manusiawi kita. Kadang-kadang kita merasa bahwa kita sendirilah yang mampu berdoa, atau kita sendirilah yang membuat diri kita mampu berdoa. Bahkan kita sendirilah yang bisa merumuskan doa-doa kita dengan kata-kata yang sangat indah dan puitis bahkan. Kata-kata itu mengalir seperti air dari mata air gunung. Ya boleh-boleh saja merasa seperti itu. Tetapi tentu saja bagi saya ini bisa menjadi sebuah keangkuhan rohani. Sebab yang sesungguhnya ialah, bahwa kita tidak tidak tahu bagaimana cara berdoa. Teks ini sudah mengatakan hal itu.

Kedua, teks ini adalah sebuah penyadaran bagi kita mengenai teori doa atau teologi doa. Intinya ialah, bahwa doa tidak selalu bersifat verbal, doa tidak selalu harus terucap dengan kata-kata, apalagi terucap dengan keras-keras, teriak-teriak segala. Sebab bisa saja ada sebuah doa hati, atau doa dalam hati, doa dalam diam, dalam keheningan, tanpa kata-kata yang kadang-kadang bisa membantai sunyi. Kadang-kadang kita merasa bahwa doa yang baik adalah doa yang terumuskan dalam dan dengan kata-kata, apalagi kata-kata yang indah dan puitis. Dalam konteks itu, kita lalu cenderung menghina atau memandang rendah orang yang tidak bisa berdoa dengan lancar dalam kata-kata atau bahkan bahasa Roh.

Ketiga, teks ini juga menyadarkan kita semua akan sebuah teologi mengenai Roh, yaitu bahwa Roh itu menjadi wakil atau pengantara atau juru bicara atau advocata kita di hadapan dan kepada Allah. Dengan jaminan Roh ini, maka doa kita selalu bisa menjadi efektif, tidak akan pernah dikecewakan. Tetapi hendaknya diingat dengan baik bahwa teks ini bukanlah sebuah pembenaran untuk malas berdoa. Jangan sampai karena kita sudah malas berdoa, lalu kita membenarkan kemalasan itu dengan berkata: tidak apa-apa kalau sekarang ini saya malas, karena saya tahu Roh akan berdoa bagi saya. Teks itu tidak dapat dipakai sebagai pembenaran dan legitimasi teologis kemalasan seperti itu. Bagaimana pun juga nasihat ini muncul dari suatu pengalaman rohani seorang pendoa sejati. Ucapan itu mengalir atau memancar keluar dari spiritualitas doa Paulus yang sangat mendalam. Oleh karena itu, sekali lagi, teks ini tidak dapat dipakai sebagai pembenaran kemalasan hidup doa dan hidup rohani pada umumnya.

Keempat, teks ini juga bisa memberi hiburan dan penguatan di dalam kesesakan dan ketidaktahuan dan bahkan kebingungan kita dalam doa. Argumentasinya ialah, bahwa kita tidak boleh jatuh oleh dan dalam kelemahan kita, karena Roh membantu kita justru di dalam kelemahan kita. Dan salah satu dari kelemahan kita ialah kelemahan dalam doa: kita tidak tahu cara berdoa yang benar dan seharusnya. Dalam hal itu Roh akan membantu kita. Roh yang berdoa untkkita dan doa itu akan membumbung ke hadapan hadirat Allah. Dan itu terjadi lewat keluhan-keluhan yang tidak terucapkan. Yang hanya ada dalam hati kita, bahkan mungkin tidak kita ketahui, atau tidak kita sadari. Juga, bahkan terjadi dalam situasi kebingungan kita. Kebingungan itu pun bahkan bisa menjadi doa itu sendiri. Mungkin itulah sebabnya, dan saya sangat yakin akan hal itu, kita tidak pernah jatuh secara sangat tragis dan fatal ke dalam kegagalan hidup doa kita, karena Roh membantu kita. Dia mengangkat dan menjunjung kita di dalam kelemahan kita.

Bagi saya ini sebuah penghiburan rohani yang sangat luar biasa. Tidak ada lagi penghiburan rohani yang lebih besar dari pada itu. Mari kita mencoba menghayatinya lagi, dan terus menerus. Semoga kita tidak segera berputus asa di dalam doa-doa kita, bahkan di dalam situasi-situasi di mana kita tidak bisa berdoa sekalipun. Sebab bahkan situasi seperti itu, juga bisa menjadi doa itu sendiri. Ajaib bukan!


Tuesday, June 10, 2008

Aku-ku.

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Dalam aku-ku

ada sebuah rongga misteri

tempat aku-ku yang lain dan sadar

kadang-kadang bertualang

dalam ketidak-tahuan

maka tenggelamlah aku itu

dalam ronga-rongga nan dalam nian,

dan entah sejak kapan

tertera tulisan pada gerbang wajahku

“aku adalah misteri bagi aku”

dan kulihat yang sama pada

gerbang-gerbang wajah aku-aku lain di luar sana;

ya barangkali karena

aku dan aku-aku yang lain itu (dia-dia itu)

senantiasa berjalan

berubah

Panta rei kai uden menei

lalu kemarinku

seolah-olah menjadi tanah terasing

yang harus kupelajari kembali

bagai membalik buku ke depan

menuju halaman termuda

karena sudah dilupakan sesudah terlampaui.

Jakarta, 1988.

Dimuat dalam majalah bulanan Mawas Diri, No.5, Thun.XVIII, 25 Mei, 1989, hal.60.

Tapak-tapak Mencari Arah.....

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Kuinjakkan lagi tapakku terbelah

seratus dan seribu

seribu dan beribu-ribu

untuk kemudian setiap kali sampailah

aku pada satu kesimpulan

untuk kembali bertanya

di manakah KAU???????

Tapak terbelahku melaju

terik mentari terpantul bumi

dari segala arah menyusup tubuh

lalu di nyali berpadu

(bayangkanlah keperpaduan itu)

terik dan lelah menggental

menjelmakan serenade sumbang

ah KAU,

(ini barangkali tanyaku yang terakhir)

di manakah KAU???????

“AKU adalah di belakang kau!”

Terkejut aku,

lelah aku,

aku berbaring menatap langit senja

untuk esok mulai lagi kembaraku

dan KAU

di situ

mengalir dalam kelelapan damai!!!!!!!

Jakarta 1983

Dimuat dalam majalah bulanan Mawas Diri, No.4, Tahun XVIII, 25 April 1989, hal.24.

Siapakah kau??

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Dalam kembaraku

sampailah aku di mulut lembah ngarai

dalam dan kelam.

Sunyi dan sepi mencengkam

di mulut malam hitam.

Berteriaklah aku sekerasnya

memanggil-manggil

entah apa dan siapa.

Dari balik tirai kesunyian

terdengar sebuah suara.

Seolah-olah sebuah jawaban untukku.

“Siapakah kau?????”

teriakku lagi bertanya.

“Aku adalah kau yang terbang pergi,

dan kau adalah aku yang terbang pergi!”

menggema sebuah jawaban

terpantul pada dinding-dinding

kesunyian yang terdalam.

Lama aku terdiam bisu,

memikirkan kedalaman misteri ikatan primordial itu

kau dan aku adalah satu:

ternyata aku tidak sendiri

dalam kembara ini;

ternyata kembara ini

kuarungi dalam samudera KITA.

Dan berjalanlah aku

terus menuju

bengawan jati diri

dengan derap-derap langkah baru.

Yogyakarta, Desember 1988.

Dimuat dalam majalah bulanan Mawas Diri No.4, Thn.XVIII, 25 April 1989, hal.64.

Mencari.....

Oleh: Fransiskus Borgias M.


I.

Telah lama kuarungi

jalan-jalan dan lorong-lorong ini

menerobos belantara mencari bengawan jati-diri;

manakala aku merasa sudah sampai di ambang bengawan jati-diri

seolah-olah aku merasa baru saj amulai

dan aku pun kembali melangkah lagi

karena panta rhei, kai uden menei

refrain Parmenides nan abadi

dan rona-rona mega-alpa kelabu

kembali melaburi semesta pagi

awal kembaraku ini

kapankah aku gapai dikau Resi Abadi?


II.

Sarat duka sara lara

aku pun terus berjalan

sembari menahan dada nan perih

mengandung selaksa getar udara lorong-lorong semesta

yang penuh-tepu beribu-ribu derap langkah persaingan

dan denagn tenang kusenandungkan kelelahan kembaraku

pada pucuk-pucuk cemara bergoyang

seakan-akan mewartakan sisi lain kehidupan.


III.

Di sebuah pantai berlaut biru

pernah aku merasa sampai di ambang keabadian

namun sayang aku kini masing me-ruang dan me-waktu

sehingga ada ketersendatan kala aku mereguk menikmati

aroma semerbak madu dan susu keabadian,

dan terasa pula ada seonggok keengganan

untuk meloncat menyeberang dari kekinian

Tetapi, ………

cukuplah, “pra-kecap” itu telah menggambarkan

adanya kemungkinan tualangku

berlanjut dan berlabuh dalam relung-relung keabadian.


IV.

Ya, aku ada maka aku mencari

aku mencari dan mencari maka aku ada.

hari-hariku, malam-malamku kurajut dalam selaksa langkah

mencari dan mencari nan tiada henti

hingga kugapai gerbang emas

bengawan jati-diri.

Diketik kembali di Bandung, 11 Juni 2008.

Catatan:

1). Dimuat dalam bulanan Mawas Diri, No.4, Thn.XX, 30 April 1991, hal.64-65.

2). Panta rhei kai uden menai (dari bahasa Yunani), artinya Segala sesuatu mengalir, dan tidak ada sesuatu punyang tinggal tetap atau stabil.

3). “Pra-kecap,” istilah yang saya ciptakan untuk menerjemahkan kata Inggris fortaste.


Monday, June 9, 2008

Jangkrik Rindu Sunyi

Oleh: EFBE@fransisbm

Krik-krik-krik-krik

Aku rindu pada sunyi

Krik-krik-krik-krik

Aku rindu pada sepi

Krik-krik-krik-krik

Sampai kapan baru akan berhenti

Suara-suara pembantai ini

Yang walau berseru nama suci ilahi

Tetapi telah membantai sunyi,

Sunyiku, sunyi alami.

Krik-krik-krik-krik

Di sini aku menangis

Rindu pada situasi awali

Serta sunyi, sepi, harmoni, dan kontemplasi,

Tanpa teknologi kakofoni.

Krik-krik-krik-krik

Tidak indahkah suaraku ini?

Tidak indahkah sunyiku ini?

Juga di pagi hari?

Juga di sore hari?

Tidakkah mereka butuh sunyi

Untuk mendengar diri

Berkaca pada hati sanubari?

Krik-krik-krik-krik

Aku rindu sunyi,

Abadi,

Di hati,

Bengawan jati diri.

Bandung, 7 Juni 2008.

Kearfan Doa Salam Maria

Oleh: Fransiskus Borgias M

Kita orang Katolik pasti sangat akrab dan hafal dengan doa Salam Maria yang terkenal itu. Keterlaluan kalau kita tidak hafal di luar kepala. Doa Salam Maria itulah yang merupakan mawar-mawar (rosa) yang kita persembahkan dalam doa rosa-rio itu; ya, rosa-rio. Saya dengan sengaja dan sadar menulis kata rosa-rio itu dengan cara dipisahkan seperti itu, karena memang kata rosa-rio itu sangat erat terkait dengan kata rosa, yang berarti mawar (dalam bahasa Latin). Memang Maria juga dijuliki sebagai “bunga mawar yang gaib” atau “Rosa mystica” dalam untaian litani santa Perawan Maria itu.

Kalau kita cermati dengan baik-baik, doa Salam Maria itu terdiri atas dua bagian besar. Bagian pertama diambil dari Kitab Suci, yaitu persisnya dari Injil Lukas 1:29,42. Ucapan dalam ayat pertama (ayat 29) diucapkan oleh Malaekat Gabriel tatkala malaekat ini datang melawati Maria di Nazaret untuk menyampaikan khabar sukacita itu. Sedangkan ucapan dalam ayat kedua (ayat 42) diucapkan oleh Elisabet tatkala Maria datang melewatinya. Dan terjadilah adegan yang terkenal itu: Perjumpaan yang menyenangkan itu, ikut dirasakan juga oleh bayi ajaib dalam rahim Elisabet: Sebab tatkala salammu itu sampai ke telingaku, anak dalam rahimku melonjak kegirangan.

Bagian kedua dari doa itu diambil dari tradisi doa dan liturgi gereja Katolik. Diduga usia bagian kedua ini sudah sangat tua, walau saya belum dapat menetapkannya dengan pasti (karena saya belum menemukan sumber berwibawa mengenai hal itu).

Bagian kedua inilah yang mau saya soroti lebih lanjut dalam tulisan singkat dan sederhana ini, karena pada bagian akhirnya dikatakan sbb: “.....sekarang dan pada waktu kami mati, amin.” Dalam bahasa Latin bunyinya sbb: “....nunc et in hora mortis nostrae, Amen.” J.Henry Nouwen dalam salah satu bukunya pernah mengingatkan kita bahwa bagian akhir doa Salam Maria ini adalah doa eksistensial, karena doa ini mengingatkan kita akan saat wafat kita kelak, entah kapan hal itu akan terjadi. Dengan kata lain, doa ini mengingatkan kita sebagai makhluk fana, makhluk mortal, makhluk yang dapat mati. Sebab semua manusia pasti akan mati, Sein zum Tode, kata filsuf eksistensialis Jerman itu, Martin Heidegger. Maka doa ini mengajar kita untuk mengikuti hikmat yang terkandung dalam Mazmur 90 itu, yang menyadarkan kita akan batas-batas usia kita, dan karena itu kita memohon kepada Allah agar kita bisa dan mau menghitung hari-hari hidup kami (ayat 12). Maka, setiap kali kita mengucapkan doa ini semoga kita sadar bahwa kita diingatkan akan saat wafat kita, bahwa kita adalah makhluk fana di dunia ini.

Ya, semua refleksi ini muncul secara spontan sebagai ilham yang membawa pencerahan (iluminatio) dalam kesempatan ibadat penutupan novena Bulan Maria di lingkungan kami, persisnya pada tanggal 30 Mei 2008 yang baru lalu. Dalam kesempatan itu saya diminta oleh ketua lingkungan untuk membawa atau membacakan renungan singkat tentang penggal terakhir dari doa Salam Maria ini. Pada saat itu, ada beberapa hal yang saya kemukakan kepada para warga lingkungan kami yang hadir. Pertama, saya ingatkan warga lingkungan bahwa hal yang paling menyedihkan bagi seorang ibu adalah kalau dia menyaksikan wafat anaknya sendiri, apalagi kalau sang anak itu wafat dengan cara yang sangat tragis, dan sangat mengenaskan. Adalah biasa saja kalau anak menyaksikan wafat ibunya. Tentu tetap ada kesedihan, tetapi lain sekali situasinya kalau seorang ibu yang menyaksikan anaknya wafat. Dalam kasus ibunda Maria, ia justeru yang menyaksikan wafat Yesus, anaknya.

Kedua, tentu kita bisa membayangkan dengan sangat mudah betapa Ibu Maria sangat sedih dan berduka karena peristiwa itu. Maka imajinasi seni religius dan seni liturgis orang-orang Kristen abad pertengahan bisa menghasilkan sequentia tentang peristiwa itu: Stabat Mater. Adalah seorang Fransiskan yang menggubahnya menjadi sebuah lagu yang indah, Jacopone da Todi (lihat buku saya itu, Menimba Kekayaan Liturgi, YPN 2008). Selain itu juga muncul lukisan-lukisan, di dinding maupun hiasan kaca (fresco) dengan tema mater dolorosa, bunda berdukacita. Dan yang paling terkenal tentu saja adalah Pieata dari Michel Angelo itu, di mana jenazah sang anak terbaring tidak berdaya dan tidak bernyawa di atas pangkuan sang ibunda yang berduka.

Ketiga, semua hal ini diilhami terutama oleh adegan dalam Injil Yohanes 20 di mana dilukiskan bahwa Maria menunggui saat-saat terakhir dari hidup anaknya di kaki salib. Kita dengan sangat mudah dapat membayangkan tragisnya perasaan sang ibunda, menyaksikan sang anak meregang nyawa di atas kayu salib. Kita semua tahu adegan yang terkenal itu, di mana Yesus menyerahkan sang ibu kepada murid yang dikasihi (Itulah ibumu), setelah terlebih dahulu murid yang dikasihi itu diserahkan kepada sang ibu (Ibu inilah anakmu). Sungguh sangat mengharukan dan sedih sekali.

Keempat, tetapi apa artinya tradisi doa dan liturgi kita menghendaki kita agar selalu mengucapkan doa ini senantiasa? Menurut hemat saya, tradisi liturgis dalam doa salam Maria bagian akhir itu mau mengajarkan kita agar, sebagai anak-anak bunda Maria, kelak (entah kapan) ditunggui sang ibunda tercinta pada saat kita wafat. Dengan kata lain, kita berdoa agar kita boleh mati seperti Yesus, yakni ditunggui oleh orang yang mencintai kita, yaitu bunda Maria. Mungkin itu sebabnya sebuah lagu Maria yang cukup populer (yang sudah saya hafal sejak masa kecilku, karena diajar oleh ibuku sendiri), yang mendendangkan tentang nama Bunda Maria, diakhiri dengan syair sbb: “....dan nanti kuucapkan di saat ajalku.” Selengkapnya adalah demikian: “Ya namamu Maria, Bunda yang kucinta, merdu merawan hati, segala anakmu, patutlah nama itu, hidup di batinku, nan nanti kuucapkan di saat ajalku.” Kita berharap agar dengan cara berdoa dan bernyanyi seperti itu kita dapat bersama dengan Bunda Maria datang dan juga sampai kepada Yesus, Per Mariam ad Iesum, seperti dikatakan selalu dalam teologi mengenai Maria, mariologi itu.

Akhirnya, ada baiknya saya akhiri tulisan singkat ini dengan mengutip doa Maria yang disusun oleh komponis Paul Widiawan, salah satu lagu Maria yang sangat saya sukai, karena ketika kita menyanyikannya, apalagi kalau kita menyanyikannya dengan baik, ia menjadi doa, sehingga benar kata Agustinus itu, qui bene cantat bis orat. Demikianlah Paul Widyawan berdendang: Bunda Maria, Bunda terkudus, harapan kami, di saat sepi, kami slalu memohon, kepada Bunda yang terkasih, pastilah akan terjawab, doa dan isi hati, pada Bunda kami pasrahkan hidup dan mati kami. Biduk ‘kan karam di tengah lautan, lepas kendali, goncang dan temaram, semakin jauh, sang bintang pedoma, semakin sadar Tuhan terbenam. Hanya satu arah, memutar haluan, menuju surga yang indah sempurna tujuan. Sampai akhir pada bunda berpegang, sampai akhir pada bunda ‘kan tenang. Lihat Bunda anakmu yang datang, lihat Bunda anakmu yang datang, merapat berpegang, merapat berpegang, meretas segala rintangan, hanya Bunda ‘kan aman, hanya Bunda Maria, ‘kan aman.

Bandung, 9 Juni 2008.

Monday, May 26, 2008

Dua Ensiklik Paus Benediktus XVI

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Tanpa terasa kini Paus Benediktus XVI sudah bertahta selama tiga tahunan di atas tahta apostolik di Roma. Ia terpilih April 2005 setelah Paus Yohanes Paulus II wafat. Dan dalam kurun waktu tiga tahunan itu ia sudah menerbitkan dua ensiklik. Ensiklik yang pertama ialah Deus est caritas (2006, jadi satu tahun setelah terpilih menjadi Paus), atau Allah adalah kasih. Ensiklik yang kedua ialah Spe salvi (2008). Kalau diterjemahkan dengan sangat bebas maka artinya ialah pengharapan yang menyelamatkan (atau kalau mau, pengharapan yang tidak mengecewakan). Tetapi saya tidak mau mengulas secara sangat mendalam mengenai kedua ensiklik ini. Ini hanya sebuah catatan ringan saja.

Sangat menarik bahwa dalam kedua ensiklik awal ini (tentu diharapkan masih akan ada lagi ensiklik-ensiklik lainnya dari Paus Benediktus), beliau merenungkan sekaligus ketiga kebajikan teologis dalam madah kasih Paulus itu: iman, harapan, dan kasih. Dalam suratnya kepada jemaat di Korintus, Paulus berkata: demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, harapan, dan kasih. Dan masih menurut Paulus, yang terbesar di antaranya ialah kasih (bdk.1Kor.13:13), sebab masih menurut Paulus, iman dan harapan akan berhenti, sedangkan kasih tidak akan berkesudahan (bdk.1Kor.13:8). Sebab kasih itulah yang akan menjadi ciri penanda hidup kekal, di mana kita akan memandang dari muka ke muka dengan Allah. Sedangkan kedua kebajikan yang lain hanya berlaku untuk dan dalam hidup di dunia ini saja, di mana kita masih hanya memandang dengan samar-samar dalam cermin (bdk.1Kor.13:12).

Yang jauh lebih menarik lagi ialah bahwa Paus Benediktus mulai justeru pada atau dengan yang terbesar itu. Sebab ia mulai dengan cinta. Orang mengatakan bahwa titik tolak itu sangat menentukan. Titik tolak mencitrakan visi dasar pandangan teologis si penulis ensiklik itu. Itulah yang dibentangkan oleh Paus dalam Deus est caritas, tentu saja dengan mengikuti pengalaman dan pengakuan iman dan insight teologis dari Yohanes. Dengan bertitik tolak dari samudera kasih Allah, Paus Benediktus mencoba menelusuri harapan, Spes, yang bisa mendatangkan keselamatan.

Lalu mungkin akan muncul pertanyaan kritis: di mana imannya? Ya, iman itu menurut saya tersirat di dalam pengharapan, sebab harapan bagi saya tidak lain adalah segi dinamis dari iman. Keduanya tidak terpisahkan satu sama lain. Kalau iman itu berkonotasi “statis” maka harapan itu memperlihatkan “greget” dari iman.

Kehadiran Spe salvi ini saya anggap sangat tepat waktu, karena pada saat ini kita hidup di bawah tekanan dan ancaman global krisis nuklir, krisis ekologis, krisis perubahan iklim, krisis bencana sandang-pangan, bencana kebencian, melunturnya saling percaya antar umat manusia. Homo homini lupus. Bahkan kalau mau Homo homini canis. Di tengah itu, semua terasa gelap dan mengerikan. Semua terasa serba menghimpit, mengurung. Semua terasa menjadi gelap. Kita seakan-akan menjadi sesak nafas.

Di tengah-tengah situasi keputus-asaan dan keadaan hampir tidak ada harapan itulah Paus Benediktus datang mewartakan dan membawa pengharapan. Ya, “masih ada harapan,” kata Alex Lanur dulu dalam Basis tahun 1983. Dan pengharapan itu tidak pernah mengecewakan (bdk.Rm.5:5). Jadi, ia akan membawa kita kepada keselamatan.

Bandung, 22 Mei 2008.

Ensiklik Trinitas Yohanes Paulus II

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Setelah dikilas balik, barulah saya menyadari bahwa ternyata tiga ensiklik pertama dari Paus Yohanes Paulus II adalah ensiklik Trinitas, karena ketiga ensiklik itu berbicara tentang ketiga pribadi agung di dalam misteri Trinitas itu sendiri.

Ensiklik yang pertama adalah Redemptor Hominis (Sang Penebus Manusia, 1979). Ensiklik ini berbicara tentang Kristus, karena penebus manusia itu tidak lain adalah Kristus. Dalam keyakinan iman Kristiani, Allah menyelamatkan umat manusia dalam dan melalui Yesus Kristus PuteraNya.

Ensiklik yang kedua ialah Dives in misericordia (1981). Kalau diterjemahkan dengan sangat bebas maka artinya ialah: menyelam dalam samudera kasih Allah. Ensiklik ini berbicara tentang Bapa yang mahakasih, yang kasihnya sangat besar dan dalam sampai ia mengutus puteraNya ke dunia untuk menebus kita, demi keselamatan kita (Yoh.3:16). Kasih Allah itu adalah laksana samudera raya dalam mana kita dapat menyelam dan berenang dengan penuh sukacita kehidupan. Kasih Allah itu diwartakan paling kentara dalam Injil Lukas. Itu sebabnya Paus Yohanes Paulus II sangat suka akan perumpamaan tentang Bapa yang penuh kasih dalam injil Lukas itu, yang dengan sabar menantikan kembalinya si anak hilang itu.

Ensiklik yang ketiga ialah Dominum et vivificantem (1986). Ensiklik ini berbicara tentang Roh Kudus, yang dalam Credo Nicea-Constantinopolis (381) dinyatakan sbb: Credo in Spiritum Sanctum Dominum et vivificantem. Alias, Aku percaya akan Roh Kudus, Ia Tuhan yang menghidupkan. Judul ensiklik ini memang diambil dari penggalan Credo itu. Ya, Roh Kudus adalah Tuhan yang memberi daya hidup, yang menghembuskan daya roh pembaharu.

Setelah dikilas balik dengan cara seperti ini, tampak sangat jelas bahwa Kristologi dibentangkan oleh Yohanes Paulus II dalam bingkai konteks Trinitas. Atau Trinitas dibentangkan dengan bertitik tolak dari Kristologi. Hal itu tidaklah sangat mengherankan karena kita mengenal Bapa dalam dan karena Putera, dan Bapa serta Putera itu mengutus Roh Kudus. Dalam suratnya kepada jemaat di Roma Paulus mengatakan sbb: Cinta kasih Allah sudah dicurahkan ke dalam hati kita oleh Roh Ilahi sumber cinta kasih yang dianugerahkan bagi kita (bdk.Rm.5:5). Sebuah lagu tradisional mengatakan sbb: berkat nama Yesus kita dapat mengenal Bapa, karena Yesus secara sangat intens mewartakan pengalaman Abba itu.

Dan berkat Roh Kudus itu kita dapat ikut ambil bagian dalam misteri hidup keilahian. Secara khusus berkat Roh Kudus kita mampu berseru kepada Bapa dengan sebuah sapaan kasih mesra, ya Abba, ya Bapa (Rm.8:15). Bahkan dalam situasi malam kegelapan rohani (istilah dari mistikus Yohanes dari Salib), di mana doa terasa sangat sulit, kering, dan bahkan kita juga merasa tidak tahu lagi bagaimana cara berdoa, dikatakan bahwa Roh Kudus itulah yang berdoa bagi kita dengan gumaman-gumaman yang tiada terpahami, yang tiada terucap (Rm.8:26). Ya kita hidup, berada, dan bergerak dalam samudera kasih ilahi Trinitas itu.

Bandung, 22 Mei 2008.

Sunday, May 11, 2008

Doa Seorang Anak Calon Komuni Pertama

Oleh: Gregorius Agung KD
(Doa Seorang Anak Calon Komuni Pertama)

Tuhan............
terima kasih
Karena Engkau telah
membimbing kami
Selama kami berkumpul bersama
dan belajar Komuni Pertama di tempat ini

Tuhan............
kami butuh bantuan-Mu
Karena Engkau
sangat baik selama ini
terhadap kami

Tuhan.....
berkatilah kami
Agar kami dapat
menerima Hosti Suci
pada hari komuni pertama nanti
Agar kami selalu
dapat bersatu dengan-Mu. Amin


Oleh: Gregorius Agung KD
Anak Calon Komuni Pertama 2008

Monday, May 5, 2008

Nepotisme, Pluralisme, Absenteisme: Krisis

Oleh: Fransiskus Borgias M (EFBE@fransisbm)

Sebagian besar para sejarawan gereja (Henry Daniel-Rops, Philip Hughes, Hubert Jedin, W.L.Helwig, dll) berpendapat bahwa gereja Katolik pada abad keenambelas mengalami semacam krisis rohani yang sangat besar. Sesungguhnya ada banyak faktor yang menjadi penyebab timbulnya krisis gereja yang terjadi pada abad keenam-belas silam. Krisis itu sendiri adalah sebuah krisis rohani yang maha dahsyat, yang menggoncang sendi-sendi dasar kehidupan menggereja itu sendiri, yang pada akhirnya bermuara pada pemberontakan dan protes dari Martin Luther yang sangat terkenal itu. Dan salah satu dari faktor penyebab itu ialah fakta salah urus (mismanagement) di dalam gereja itu sendiri. Pemerintahan itu kotor, bejat, korup. Tidak ada clean and good governance dalam gereja, seperti halnya juga dalam tata pemerintahan modern dewasa ini, khususnya kita di Indonesia. Semuanya mengandung agenda terselubung, karena ada politik kepentingan, karena ada vested interest.

Pada gilirannya salah urus dan pemerintahan yang kotor dan rusak itu sendiri berurat berakar dalam beberapa praksis penyimpangan. Pertama, ialah praksis nepotisme, di mana para paus dan para uskup pada jaman itu mementingkan sanak keluarga mereka sendiri (terutama para keponakan, sebab nepot itu artinya paman) untuk menduduki atau mengemban pelbagai jabatan-jabatan penting dan strategis baik dalam tata pemerintahan gereja maupun terutama dalam tata pemerintahan sipil, walau pun sebenarnya mereka itu tidak selalu merupakan orang yang tepat untuk menduduki jabatan itu; they are not the right man behind the gun. Jadi, mereka itu adalah the wrong man in the right place. Jadinya, ya serba kacau balau.

Memang pada masa itu praksis nepotisme merebak dan merajalela karena dengan cara itu orang mau dan dapat memperbaiki status sosio-ekonomi keluarga; dan dengan itu orang bisa juga mengamankan jabatannya karena ada banyak backing. Kalau sebagian besar para pejabat di daerah sekitar saya mempunyai hubungan darah (jauh maupun dekat) dengan saya, maka saya akan aman dalam sepak terjang politik saya. Seperti halnya juga dewasa ini, banyak jabatan berarti banyak uang. Oleh karena itu, maka banyak orang tidak malu-malu untuk mempunyai dan mengemban banyak jabatan publik dan politik dan gerejawi sekaligus. Ya uskup, ya penguasa tuan tanah juga, yang berkuasa atas para pangeran-pangeran kecil.

Pada jaman itu, fenomena jabatan rangkap disebut pluralisme. Inilah faktor kedua. Jadi arti kata pluralisme itu berbeda dengan yang kita pahami dan kita pakai dewasa ini. Kita dewasa ini biasanya berbicara tentang pluralisme religius, pluralisme moral, pluralisme kebudayaan, dll. Sedangkan pluralisme pada jaman itu tidak lain berarti rangkap jabatan atau jabatan rangkap: menjabat di sana, menjabat di sini, menjabat di mana-mana, pejabat yang turnei, turu kono, turu kene (kata orang Jawa). Lagipula dengan mengemban satu jabatan gerejawi pada saat itu, maka si pejabat akan mendapat privilese, mendapat banyak hak-hak istimewa. Dan pada jaman itu privilese itu bisa berupa bebas dari batasan-batasan kanonik, dan bebas dari banyak kewajiban-kewajiban sipil seperti pajak misalnya. Orang yang mempunyai jabatan gerejawi tinggi berhak memberi dispensasi. Praksis ini pun bisa mendatangkan keuntungan finansial yang tinggi. Semakin banyak memberi dispensasi, maka banyak juga pendapatan ekstra yang luput pajak lagi.

Praksis jabatan ganda atau jabatan rangkap atau pluralisme itu menyebabkan munculnya sebuah persoalan baru, yaitu absenteisme, dan inilah faktor yang ketiga. Absenteisme adalah fakta bahwa si pejabat tidak menduduki posisinya, karena banyaknya jabatan yang diemban. Cukup lama tahtanya lowong (sede vacante), kalau dia itu kebetulan mempunyai martabat sebagai uskup. Populernya, si pejabat sering sekali bolos dari kursi jabatannya. Hal itu mudah dipahami, sebab bagaimana mungkin ia bisa hadir sekaligus di banyak tempat. Seorang gubernur Jabar, tidak bisa sekaligus menjadi gubernur DKI misalnya. Atau dia akan lebih memperhatikan yang satu dan mengabaikan yang lain. Ia tidak bisa mengabdi dua tuan sekaligus, tidak bisa mengabdi mamon dan Allah. Harus memilih salah satu.

Akhirnya fenomena absebteisme ini mengarah ke krisis wibawa gereja, dan mengarah ke gejala kemerosotan rohani yang sangat dahsyat, karena tidak adanya pastoral care, tidak ada cura animarum. Bagaimana mungkin seorang uskup atau imam dapat memberikan layanan dan perhatian pastoral kalau ia sering tidak ada di tempat? Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa banyak para imam saat itu tidak mempunyai pendidikan tinggi, karena mereka dipilih bukan karena kwalitas moral dan intelektualnya, melainkan semata-mata karena dia adalah keponakan uskup atau paus atau rahib di sebuah biara yang terkenal. Itulah sebabnya salah satu program pembaharuan dalam konsili Trente ialah membenahi pendidikan di seminari, pembenahan program pendidikan para imam. Para imam tidak lagi adalah orang-orang bodoh. Mereka paling tidak haruslah orang yang pintar juga.

Kasus paling ekstrem pada abad keenambelas ialah Paus Yulius II. Orang ini, selain menjadi Paus (berarti berkedudukan di Roma), ia juga sekaligus menjadi Uskup Agung di Avignon, menjadi uskup di diosis Bologna, di Lausane, di Constances, di Viviers, Munde, Ostia, Velleri. Tidak hanya itu saja, ia juga sekaligus menjadi pemimpin (Abbas) untuk biara-biara Nonantola, dan Grottaferrata. Jadi, kalau ia menetap di Roma, maka tahta-tahta lain kosong, tidak ada layanan pastoral, tidak ada reksa pastoral. Jiwa-jiwa umatnya ditelantarkan.

Selain itu ada juga krisis keuangan yang bermuara pada perdagangan indulgensi. Tetapi ada juga penyalah-gunaan uang untuk kesenangan pribadi para pejabat gereja (yang tidak jarang mempunyai gundik-gundik, dan suka berjudi juga, atau yang lebih mulia namun boros, menjadi sponsor sebuah museum seni, atau menjadi kurator. Ingat saat itu adalah kurun renesans dan humanisme dalam sejarah gereja). Fenomena simoni, praktek jual-beli jabatan suci, juga amat merebak pada saat itu. Itulah sebabnya muncul banyak protes, termasuk protes dan pemberontakan Luther di dalamnya. Jadi, kemerosotan gereja pada abad keenambelas, disebabkan oleh nepotisme, pluralisme, absenteisme, yang erat terkait satu sama lain.

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...