I.
Telah lama kuarungi
jalan-jalan dan lorong-lorong ini
menerobos belantara mencari bengawan jati-diri;
manakala aku merasa sudah sampai di ambang bengawan jati-diri
seolah-olah aku merasa baru saj amulai
dan aku pun kembali melangkah lagi
karena panta rhei, kai uden menei
refrain Parmenides nan abadi
dan rona-rona mega-alpa kelabu
kembali melaburi semesta pagi
awal kembaraku ini
kapankah aku gapai dikau Resi Abadi?
II.
Sarat duka sara lara
aku pun terus berjalan
sembari menahan dada nan perih
mengandung selaksa getar udara lorong-lorong semesta
yang penuh-tepu beribu-ribu derap langkah persaingan
dan denagn tenang kusenandungkan kelelahan kembaraku
pada pucuk-pucuk cemara bergoyang
seakan-akan mewartakan sisi lain kehidupan.
III.
Di sebuah pantai berlaut biru
pernah aku merasa sampai di ambang keabadian
namun sayang aku kini masing me-ruang dan me-waktu
sehingga ada ketersendatan kala aku mereguk menikmati
aroma semerbak madu dan susu keabadian,
dan terasa pula ada seonggok keengganan
untuk meloncat menyeberang dari kekinian
Tetapi, ………
cukuplah, “pra-kecap” itu telah menggambarkan
adanya kemungkinan tualangku
berlanjut dan berlabuh dalam relung-relung keabadian.
IV.
Ya, aku ada maka aku mencari
aku mencari dan mencari maka aku ada.
hari-hariku, malam-malamku kurajut dalam selaksa langkah
mencari dan mencari nan tiada henti
hingga kugapai gerbang emas
bengawan jati-diri.
Diketik kembali di Bandung, 11 Juni 2008.
Catatan:
1). Dimuat dalam bulanan Mawas Diri, No.4, Thn.XX, 30 April 1991, hal.64-65.
2). Panta rhei kai uden menai (dari bahasa Yunani), artinya Segala sesuatu mengalir, dan tidak ada sesuatu punyang tinggal tetap atau stabil.
3). “Pra-kecap,” istilah yang saya ciptakan untuk menerjemahkan kata Inggris fortaste.
No comments:
Post a Comment