Monday, October 13, 2008

TIDAK KAWIN DEMI KERAJAAN ALLAH

Oleh: Fransiskus Borgias M (EFBE@fransisbm)

Dalam beberapa kesempatan, teman-teman saya dari kalangan Protestan selalu bertanya kepada orang Katolik (termasuk saya sendiri) mengenai hidup selibat yang dihayati oleh para imam dan biarawan dan biarawati Katolik. (Tetapi tidak hanya dari kalangan Protestan, melainkan juga dari kalangan saudara-saudara yang muslim). Tidak hanya sekadar bertanya, melainkan mereka juga menganggap dan mencapnya sebagai suatu praksis hidup yang melawan kodrat. Bahkan mereka juga menganggapnya sebagai suatu yang melawan perintah Allah untuk kawin dan berkembang biak, beranak-cucu, dan memenuhi muka bumi ini. Bahkan ada juga yang secara berkelakar dengan mengatakan bahwa cara hidup seperti itu adalah cara hidup yang tidak mau menikmati indahnya surga di dunia ini, tidak mau menikmati kenikmatan dunia ini. Ada juga yang mengatakan (dan ini biasanya datang dari orang-orang yang tahu sejarah gereja, dan juga sejarah pemikiran teologi) bahwa cara hidup seperti itu dilatar belakangi oleh suatu visi negatif dan pandangan dualistik akan tubuh, akan dunia, akan perkawinan, dan juga akan seksualitas itu sendiri. Biasanya teks yang selalu ditunjuk atau diangkat sebagai dasar biblis dari semua anggapan dan pandangan mereka di atas tadi adalah Kej.1:26-28. (Isinya sudah disinggung dalam beberapa baris di tengah alinea ini).

Terhadap pandangan, anggapan dan bahkan tuduhan seperti itu, biasanya saya memberi beberapa rangkaian penjelasan sebagai berikut. Dan di bawah ini saya memberikan beberapa tanggapan saya. Pertama, dalam Mateus 19 Yesus membedakan tiga jenis orang yang tidak kawin. Yang kesatu, ialah orang yang tidak kawin karena dari sono-nya orang itu memang tidak bisa kawin. Alias onderdil-nya kurang lengkap, atau peralatannya memang kurang memadai. Yang kedua, orang yang tidak kawin karena dibuat menjadi seperti itu oleh orang-orang lain. Kategori yang kedua ini adalah orang yang tidak bisa kawin karena dipaksa orang lain agar tidak bisa kawin. Inilah kelompok yang dalam kitab suci disebut kaum sida-sida (Dalam Kisah Para Rasul kita baca mengenai salah satu dari orang sida-sida dari Etiopia yang kemudian dibaptis oleh Filipus). Dalam bahasa Yunaninya disebut kaum eunuch (harfiah: orang yang dikebiri). Yang ketiga, orang yang tidak kawin karena kerajaan Allah.

Nah, jenis yang ketiga inilah yang menjadi dasar biblis untuk praksis hidup selibat, yaitu hidup yang tidak kawin dan tidak dikawinkan. Hidup mereka adalah hidup seperti para malaekat. Dan di dalam surga para malaekat itu memang tidak kawin dan tidak dikawinkan. Hidup di dalam surga itu adalah hidup seperti para malaekat. Itulah dimensi eskatologis dari iman Kristiani. Itulah dimensi eskatologis dari iman. Orang yang tidak kawin dan tidak dikawinkan karena atau demi kerajaan Allah mempunyai satu obsesi saja, yaitu mau mementaskan hidup eskatologis itu sekarang dan di sini, yaitu di dunia ini. Jadi, cara hidup ini memang sangat membutuhkan iman yang kuat dan mendalam. Tanpa hidup iman yang kuat dan mendalam, orang akan mustahil dapat menghayati cara hidup ini. Sebab cara hidup memang adalah cara hidup dari dan karena iman dan pengharapan dan cinta kasih.

Kedua, dewasa ini semakin kuat muncul kesadaran baru di kalangan kaum Protestan mengenai tidak adanya kesaksian hidup eskatologis di kalangan mereka sendiri. Kesadaran itulah yang telah mendorong terjadi atau munculnya esperimen baru di Taize itu. Pelopornya ialah orang yang bernama Roger Schutz (biasanya disebut Bruder Roger). Sesungguhnya dia ini adalah seorang Protestan (atau paling tidak berasal dari keluarga dengan latar belakang protestan yang kental, walau tidak disangkal ada pengaruh-pengaruh Katolik juga dalam dirinya). Apa yang dilakukan orang ini? Yang dilakukan orang ini tidak lain ialah, ia merintis hidup membiara ekumenis di Taize, Prancis. Ia bermimpi dan berobsesi mudah-mudahan lewat cara ini ia bisa mengupayakan ekumenisme Kristiani. Di beberapa tempat, orang-orang Protestan mulai menghayati hidup wadat demi Kerajaan Allah, walau ada juga yang mencoba menghayatinya secara sementara saja. Jadi, semacam selibat temporer.

(Bandung, 04 Oktober 2008).

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...