Monday, October 13, 2008

ANTARA SARJANA DAN CENDEKIAWAN

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)

Kita mempunyai ISKA, Ikatan Sarjana Katolik (Indonesia). Selain itu ada juga PIKI, Persekutuan Inteligensia Kristen Indonesia. Masih ada juga ICMI, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia. Dst.dst.dst..... Jadi, ada Sarjana, ada Inteligensia, ada Cendekiawan. Dalam tradisi di sekitar Natal kita temukan satu dari tiga kata ini yaitu kata Sarjana. Kiranya kata ini sangat akrab di telinga kita karena kata itu dipakai dalam kisah masa kanak-kanak Yesus, yang dikunjungi tiga Sarjana dari Timur. Mereka adalah orang-orang pintar, yang mengerti ilmu falak, dan yang karena itu mampu membaca tanda-tanda di bintang mengenai terjadinya sebuah peristiwa besar di muka bumi ini. Sebenarnya ada ungkapan cerdik-pandai, yang sedikit berdekatan dengan cerdik-cendekia. Dalam kitab suci dikatakan, bahwa ada hal yang disembunyikan Allah dari kaum cerdik pandai, dan hanya disingkapkan dan hanya bisa dipahami oleh kaum hina-dina. Sedangkan inteligensia, tidak ada padanannya dalam kitab suci sehingga tidak akan dibahas lebih lanjut.

Dalam sejarah perkembangan pemakaian kata, kata sarjana menjadi sedikit elitis-formal, sebab hal itu mengandaikan orang telah mencapai jenjang atau tingkat pendidikan tertentu (biasanya S1, mungkin bisa diperlonggar lagi sampai D3). Sedangkan kata cendekiawan, sedikit demokratis, egalitarian, informal, tidak berkonotasi tingkat atau jenjang pendidikan tertentu. Cendekiawan berarti hanya orang pintar atau orang cerdik saja. Sedangkan sarjana berarti orang itu harus berijazah sarjana. Dan tidak ada ijazah cendekiawan, bukan? Maka cendekia-wan lebih longgar, daripada sarjana yang terasa elitis. Tetapi celakanya, tidak semua sarjana adalah orang pintar, dan tidak semua orang pintar itu berijazah sarjana. Tetapi semua orang pintar, juga yang tidak berijazat sarjana, dapat disebut sebagai cerdik pandai, atau cendekiawan. Ibu saya, hanya tamat SD, tetapi ia pintar, cerdas (bukan cerdik, yang berkonotasi negatif ke arah licik). Saya berani menyebut ibu saya cendekiawan, walau bukan sarjana. Begitu juga ayah saya, yang hanya guru SD. Tetapi ia pintar, cerdas, bahkan visioner. Saya berani menyebut dia cendekiwan, walau tidak sarjana.

Yang menarik tentang sarjana ini ialah ingatan kita akan kisah para sarjana dari Timur itu. Lewat pengetahuan mereka akan tata alam, kepada mereka diwahyukan rencana keselamatan yang berasal dari Allah, peristiwa natal, misteri inkarnasi, verbum caro factum est yang terkenal itu. Dengan rendah hati (jarang orang pintar rendah hati) mereka datang ke kandang hina di Betlehem untuk menyembah sang raja yang baru lahir. Mereka mempunyai mata hati, terutama mata iman untuk dapat melihat rencana Allah bagi dunia ini. Dan yang terutama lagi, mereka mempunyai kerendahan hati untuk datang menyembah sang juruselamat yang lahir di Betlehem.

Sarjana Katolik harus memetik pelajaran dari kisah teologis yang sangat mendasar ini. Bahkan seorang sarjana katolik harus hafal cerita itu. Bahkan menjadikan cerita itu sebagai landasan hidup, semangat hidup, dan pandangan hidup mereka: Bahwa mereka harus dengan rendah hati datang kepada Yesus, sumber dan pangkal hidup iman mereka. Kalau tidak demikian, percuma mereka disebut katolik, hanya menjadikan ISKA sebagai kendaraan Politik. Kalau ini yang terjadi, biarlah dari jauh, saya berkicau dengan mengutip kembali perkataan sbb: terpujilah Engkau ya Allah karena Engkau menyembunyikan hal-hal ini dari kaum cerdik pandai, tetapi menyingkapkannya kepada kaum hina dina. Jangan sampai seorang sarjana katolik mengalami myopia iman seperti itu: tidak bisa melihat apa yang bisa dilihat oleh kaum hina-dina, tidak bisa melihat karena Allah tidak berkenan menyingkapkan rahasia itu kepada mereka.

Penulis: WD-II FF-UNPAR, Wakil Ketua LBI, Anggota ISBI, dan ATI, K3S Keuskupan Bandung.


No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...