Monday, October 13, 2008

BIBLIA PAUPERUM

Oleh: Fransiskus Borgias M (EFBE@fransisbm)

Tanggal 24 September 2008 yang lalu, seperti biasa saya ikut dalam perayaan ekaristi pagi di Katedral Bandung. Itu adalah suatu hal yang sudah ritin saya lakukan selama ini. Sesaat sebelum perayaan ekaristi dimulai, ketika saya sedang terhanyut dalam alunan ombak doa pribadi, saya mengarahkan fokus pandangan mata dan perhatian saya ke altar. Dan di sana saya merasa sangat tertarik ketika memandang dan mengamati gambar pada kaca hias (fresco) di dinding di atas altar itu. Walau pun sudah tua (berumur), tetapi memang gambarnya sangat indah dan bernada biblis. Itulah yang menjadi latar belakang altar. Lukisan yang paling mencolok ialah balada penyaliban Tuhan Yesus. Sementara sedang bermenung memandang gambar-gambar itu, tiba-tiba muncul satu ilham pemikiran teologis dalam diri saya. Itulah yang mau saya beberkan dalam tulisn singkat dan sederhana ini.

Secara tradisional selalu dikatakan dalam sejarah gereja dan sejarah teologi (juga sejarah liturgi) bahwa hiasan dan terutama lukisan dinding dalam gereja pada abad pertengahan tidak lain dimaksudkan sebagai biblia pauperum, yaitu kitab suci bagi orang-orang miskin. Orang miskin, justru karena miskin adalah kelompok orang yang tidak bisa memiliki buku. Memang pada saat itu buku adalah sesuatu yang lux, yang mewah dan sangat mahal. Karena tidak memiliki buku, maka mereka juga tidak bisa membacanya. Aktifitas membaca buku memang merupakan hak istimewa kelompok atau kalangan tertentu. Membaca dan menulis adalah sebuah profesi yang langka, yang karena itu menjadi cukup mahal. jasa baca dan tulis saat itu adalah jasa yang mahal kalau ada orang yang memang pandai membaca dan menulis.

Tetapi apakah orang-orang yang tidak bisa membaca huruf itu lalu tidak bisa berbuat apa-apa? Misalnya, tidak bisa memahami dan menghayati injil suci? Tentu saja jawabannya: tidak. Sebab masih ada jalan dan cara lain. Mereka masih bisa melihat dan menikmati atau membaca gambar-gambar. Dengan melihat gambar-gambar suci yang kebanyakan diilhami dengan teks-teks Kitab Suci, orang yang buta huruf, biasanya langsung dengan mudah menangkap isi Kitab Suci. Jadi, dengan kata lain, gambar-gambar itu mempunyai nilai didaktis.

Persoalannya sekarang ini ialah, apakah kalau orang sudah bisa membaca dan menulis semua (sebab angka buta huruf dewasa ini sudah semakin langka), lalu lukisan-lukisan itu kehilangan maknanya dan karena itu dibuang saja dan tidak perlu lagi. Tunggu dulu. Jangan terburu-buru. Menurut hemat saya, gambar-gambar dan semua karya seni itu masih tetap perlu. Jadi, jangan dibuang menjadi sampah. Sebab menurut kata Rublev, ikon adalah theology in colors atau theology in arts. Sebab, selain fungsi didaktis, gambar-gambar suci juga mempunyai nilai dan fungsi lain yaitu nilai dan fungsi estetis, yang biasanya bisa mengisi hati, mengisi intuisi, dan imajinasi, membangun citra, gambar, image, imago. Selain itu, semua karya seni menurut hemat saya dapat berfungsi untuk meredam tendensi logosentrisme (yang sudah lama disuarakan oleh Levinas) dengan apa yang disebut art-sentrisme, bersentrum pada art, pada seni. Sebab pada akhirnya, seni itu juga adalah sarana dan bahasa komunikasi.

Jadi, dalam artian itu seni dan karya seni khususnya gambar dan patung, tetap perlu dan diperlukan. Tanpa seni, hidup menjadi sepi, menjadi tanpa arti, bisa menjadi kering. Seni adalah oase kehidupan. Ia bisa membawa kesegaran dan kesejukan tertentu di tengah padang pasing kehidupan. Apresiasi seni tetap perlu sebagai alat didik (didaktik), dan sekaligus juga ia dapat berfungsi sebagai alternatif cara berteologi, dan juga alternatif cara berkatekese.

Sehubungan dengan semua wacana ini, saya perlu mengingatkan bahwa jangan sampai muncul fenomena antigambar, anti patung, yang dalam sejarah gereja dikenal dengan sebutan ikonoklasme itu. Ikon, dalam dirinya sendiri tetap baik juga. Sebagai realitas jasmani yang tercipta (jadi ini pun ciptaan Allah yang baik adanya), ia adalah sesuatu yang baik. Maka marilah kita menggambar, membangun dan mengembangkan imago. Marilah kita berteologi dengan gambar, mari mengajar anak-anak dengan gambar. Sebab saya sangat yakin bahwa “Verba vollant, imago manet in aeternum.” Di tempat lain orang juga berseru: “Ars longa, vita brevis.” Kesenian abadi, hidup itu serba singkat, serba sebentar, serba pendek, hanya sekejab. Mari menghias vita yang brevis itu dengan ars. Sebab betapa tragisnya vita yang brevis itu menjadi kering dan kerdil karena terasing dari ars.

(Bandung, 24 September 2008).


No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...