Selama ini saya mengajak para mahasiswa saya mengawali kuliah kami tentang Allah Tritunggal Mahakudus dengan sebuah praksis doa yang sangat unik. Saya meminta agar kami bersama-sama membungkukkan badan sedalam-dalamnya, seraya mengucapkan doa ini: Kemuliaan kepada Bapa dan Putera, dan Roh Kudus, seperti pada permulaan, sekarang, selalu, dan sepanjang segala abad, Amin. Saya sendiri sudah mempraktekkan hal ini sejak lama dalam kuliah yang saya berikan tentang Allah Tritunggal. Tetapi mengapa saya melakukan hal ini? Apa arti penting dari praksis seperti ini bagi saya? Saya mengajak para mahasiswa untuk berefleksi bersama tentang pertanyaan itu.
Bagi saya artinya yang paling paling penting dan paling dalam ialah bahwa dengan cara membungkukkan badan sedalam-dalamnya, saya mau dengan sengaja memberi ruang yang seluas-luasnya kepada kehadiran Allah Tritunggal Mahakudus. Seperti kata Yohanes dalam injilnya, Ia harus menjadi semakin besar, dan aku harus menjadi semakin kecil. Dengan cara itu pula, saya ingin menyadari secara lebih intens ada dan kehadiran dari Allah Tritunggal Mahakudus itu. Pada gilirannya saya berharap bahwa dengan cara itu saya semakin menyadari bahwa dalam doa doxologi itu saya sesungguhnya sedang berusaha membangun relasi pribadi dengan Allah Tritunggal yang juga adalah persekutuan pribadi-pribadi. Mengucapkan doa itu dengan sikap hormat seperti itu, bagi saya berarti suatu pengakuan eksplisit akan adanya pribadi-pribadi di dalam Allah Tritunggal Mahakudus.
Praksis doa seperti ini telah membantu saya semakin menyadari bahwa doa doxologi itu bukan hanya sebuah rumusan verbal yang kosong belaka, melainkan doa itu adalah tindakan menyapa pribadi, dan membangun relasi pribadi. Jadi, yang dibangun di sana ialah relasi dan interaksi antar pribadi. Menjadi semakin jelas bagi saya bahwa doa itu bukan sekadar rumusan baku-verbal. Bukan sekadar kata-kata mati, melainkan membangun relasi yang hidup. Sebab ada bahaya bahwa kata-kata akan menjadi verbal belaka dan sama sekali tidak mampu membangun imajinasi yang hidup tentang pribadi-pribadi, dalam hal ini adalah pribadi Tritunggal. Praksis ini saya dapatkan dari praksis dalam biara dulu: kalau mengucapkan doxology ini di akhir mazmur dan kidung, kami selalu membungkukkan badan kami sedalam-dalamnya. Hal ini semakin diperkuat lagi dengan perjumpaan saya dengan seorang teman dari Yunai, Vasilis Xiravas. Ia seorang yang beragama Ortodoks Yunani. Dia memberi kesaksian kepada saya bahwa ketika mereka menyebut Allah Tritunggal Mahakudus, mereka akan membungkukkan badan mereka. Itu adalah tanda penghormatan. Sikap itu sama seperti sikap yang dituntut dari Musa ketika Musa datang mendekati semak bernyala tetapi yang tidak terbakar itu.
Menurut hemat saya, kita orang-orang Katolik harus berusaha mengembalikan kembali rasa hormat seperti ini ketika mengucapkan nama Allah Tritunggal Mahakudus. Sebab pengucapan itu selalu berarti kehadiran, pengucapan yang menghadirkan. Kita orang-orang Katolik rasanya sudah tidak lagi mempunyai cita rasa penghormatan akan nama Allah Tritunggal Mahakudus, dan menjadi sekadar sebuah nama atau bahkan untaian kata-kata saja. Sayang kalau demikian. Maka mari kita mulai lagi.
Bandung, 10 Oktober 2008
No comments:
Post a Comment