Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)
Tanggal 12 September 2008 silam, dalam rangka kuliah moral seks dan perkawinan, saya dan para mahasiswa S2 saya nonton bareng di Sinesofia. Film yang kami tonton adalah film yang beberapa waktu yang lalu menjadi tontonan menarik di Indonesia. Film yang saya maksudkan tidak lain ialah Ayat-ayat Cinta. Film ini melukiskan secara sangat wajar peristiwa jatuh cinta antara anak manusia. Cinta dating dari mana? Menurut Maria, dating dari atas. Sedangkan menurut Fahri, cinta itu dating dari dalam hati. Sehubungan dengan ini saya lalu bertanya, siapa subjek kehendak dan tindakan manusia? Ini sebuah pertanyaan yang sulit dijawab. Secara tersirat, menurut Fahry adalah manusia yang menjadi subjek tindakan dan kehendak itu: Aku sudah memilih kamu, satu kali. Tetapi menurut Aisya, itu adalah termasuk dalam rahasia Allah. Ada rencana dan kehendak Allah yang tidak dapat kita ketahui. Kita pasrah dan iklas saja. Lalu, dalam hal ini siapa subjek tindakan dan pilihanku? Ini menjadi sebuah persoalan besar. Sang teman di dalam penjara itu sangat menggaris-bawahi sikap iklas dan pasrah ini. Film itu berbicara tentang poligami. Dan mungkin juga berusaha membelanya, dan mungkin juga sedikit banyak membenarkan dan mempromosikannya. Tetapi harus disadari bahwa ternyata tidak mudah poligami itu. Itu tampak kentara dari dialog yang ada dalam film itu juga antara Fahry dan Syaiful, yang menyangkut topic yang sulit dan sekaligus menarik: antara menyatukan dua wanita dan prinsip keadilan. Sebab di sana juga dikatakan manusia tidak bisa bersikap adil. Hanya Allah saja yang adil. Keadilan adalah sifat Allah. Sebuah refleksi yang lebih tinggi adalah dari Maria, yaitu tentang perbedaan antara cinta dan hal memiliki.
Seperti sudah dikatakan di atas, film ini tampaknya mau mencoba membela dan menjelaskan poligami. Tetapi sekaligus menggambarkan juga betapa hal itu tidak serba mudah. Mungkin lebih mudah monogamy daripada poligami. Dalam poligami ada yang berkorban, dan ada juga yang dikorbankan. Salah satu pihak, selalu mencoba untuk mengalah atau bahkan mungkin juga dikalahkan. Maria akhirnya, mencoba mengalah secara radikal, yaitu dengan mati. Dan menurut saya, mati adalah mengorbankan diri, dan itu terjadi dalam konteks relasi cinta poligami. Menurut saya, inilah paradoks film yang mencoba membela poligami itu. Jujur saja, film ini indah. Betapa indahnya jatuh cinta itu. Tetapi betapa sulitnya juga hal memilih di dalam proses dan peristiwa jatuh cinta. Dan kalau sudah memilih, pasti ada yang menjadi korban, menjadi sedih, murung, menangis. Paling-paling yang bisa mereka lakukan hanya mencoba menghibur diri dalam nostalgia yang pahit dan getis. Film ini seakan-akan menampilkan sudut pandang perempuan tentang poligami. Tetapi menurut saya justru tidak: bagaimana pun juga sudut pandang film ini akhirnya adalah sudut pandang pria saja. Si pria yang melakukan poligami itu dilukiskan saleh: hanya percaya pada Allah dan ikut usulan sang isteri. Maka sekali lagi, muncul pertanyaan itu, siapa yang menjadi subjek tindakan dan kehendak dalam diri manusia. Manusia itu sendiri, ataukah ada dalangnya? Jangan-jangan manusia ini hanya wayang saja dan tidak mempunyai otonomi rasio dan kehendak. Kalau ini benar, betapa filsafat manusia di belakang film ini tidak dapat saya terima.
Bandung, 14 September 2008.
No comments:
Post a Comment