Monday, June 9, 2008

Kearfan Doa Salam Maria

Oleh: Fransiskus Borgias M

Kita orang Katolik pasti sangat akrab dan hafal dengan doa Salam Maria yang terkenal itu. Keterlaluan kalau kita tidak hafal di luar kepala. Doa Salam Maria itulah yang merupakan mawar-mawar (rosa) yang kita persembahkan dalam doa rosa-rio itu; ya, rosa-rio. Saya dengan sengaja dan sadar menulis kata rosa-rio itu dengan cara dipisahkan seperti itu, karena memang kata rosa-rio itu sangat erat terkait dengan kata rosa, yang berarti mawar (dalam bahasa Latin). Memang Maria juga dijuliki sebagai “bunga mawar yang gaib” atau “Rosa mystica” dalam untaian litani santa Perawan Maria itu.

Kalau kita cermati dengan baik-baik, doa Salam Maria itu terdiri atas dua bagian besar. Bagian pertama diambil dari Kitab Suci, yaitu persisnya dari Injil Lukas 1:29,42. Ucapan dalam ayat pertama (ayat 29) diucapkan oleh Malaekat Gabriel tatkala malaekat ini datang melawati Maria di Nazaret untuk menyampaikan khabar sukacita itu. Sedangkan ucapan dalam ayat kedua (ayat 42) diucapkan oleh Elisabet tatkala Maria datang melewatinya. Dan terjadilah adegan yang terkenal itu: Perjumpaan yang menyenangkan itu, ikut dirasakan juga oleh bayi ajaib dalam rahim Elisabet: Sebab tatkala salammu itu sampai ke telingaku, anak dalam rahimku melonjak kegirangan.

Bagian kedua dari doa itu diambil dari tradisi doa dan liturgi gereja Katolik. Diduga usia bagian kedua ini sudah sangat tua, walau saya belum dapat menetapkannya dengan pasti (karena saya belum menemukan sumber berwibawa mengenai hal itu).

Bagian kedua inilah yang mau saya soroti lebih lanjut dalam tulisan singkat dan sederhana ini, karena pada bagian akhirnya dikatakan sbb: “.....sekarang dan pada waktu kami mati, amin.” Dalam bahasa Latin bunyinya sbb: “....nunc et in hora mortis nostrae, Amen.” J.Henry Nouwen dalam salah satu bukunya pernah mengingatkan kita bahwa bagian akhir doa Salam Maria ini adalah doa eksistensial, karena doa ini mengingatkan kita akan saat wafat kita kelak, entah kapan hal itu akan terjadi. Dengan kata lain, doa ini mengingatkan kita sebagai makhluk fana, makhluk mortal, makhluk yang dapat mati. Sebab semua manusia pasti akan mati, Sein zum Tode, kata filsuf eksistensialis Jerman itu, Martin Heidegger. Maka doa ini mengajar kita untuk mengikuti hikmat yang terkandung dalam Mazmur 90 itu, yang menyadarkan kita akan batas-batas usia kita, dan karena itu kita memohon kepada Allah agar kita bisa dan mau menghitung hari-hari hidup kami (ayat 12). Maka, setiap kali kita mengucapkan doa ini semoga kita sadar bahwa kita diingatkan akan saat wafat kita, bahwa kita adalah makhluk fana di dunia ini.

Ya, semua refleksi ini muncul secara spontan sebagai ilham yang membawa pencerahan (iluminatio) dalam kesempatan ibadat penutupan novena Bulan Maria di lingkungan kami, persisnya pada tanggal 30 Mei 2008 yang baru lalu. Dalam kesempatan itu saya diminta oleh ketua lingkungan untuk membawa atau membacakan renungan singkat tentang penggal terakhir dari doa Salam Maria ini. Pada saat itu, ada beberapa hal yang saya kemukakan kepada para warga lingkungan kami yang hadir. Pertama, saya ingatkan warga lingkungan bahwa hal yang paling menyedihkan bagi seorang ibu adalah kalau dia menyaksikan wafat anaknya sendiri, apalagi kalau sang anak itu wafat dengan cara yang sangat tragis, dan sangat mengenaskan. Adalah biasa saja kalau anak menyaksikan wafat ibunya. Tentu tetap ada kesedihan, tetapi lain sekali situasinya kalau seorang ibu yang menyaksikan anaknya wafat. Dalam kasus ibunda Maria, ia justeru yang menyaksikan wafat Yesus, anaknya.

Kedua, tentu kita bisa membayangkan dengan sangat mudah betapa Ibu Maria sangat sedih dan berduka karena peristiwa itu. Maka imajinasi seni religius dan seni liturgis orang-orang Kristen abad pertengahan bisa menghasilkan sequentia tentang peristiwa itu: Stabat Mater. Adalah seorang Fransiskan yang menggubahnya menjadi sebuah lagu yang indah, Jacopone da Todi (lihat buku saya itu, Menimba Kekayaan Liturgi, YPN 2008). Selain itu juga muncul lukisan-lukisan, di dinding maupun hiasan kaca (fresco) dengan tema mater dolorosa, bunda berdukacita. Dan yang paling terkenal tentu saja adalah Pieata dari Michel Angelo itu, di mana jenazah sang anak terbaring tidak berdaya dan tidak bernyawa di atas pangkuan sang ibunda yang berduka.

Ketiga, semua hal ini diilhami terutama oleh adegan dalam Injil Yohanes 20 di mana dilukiskan bahwa Maria menunggui saat-saat terakhir dari hidup anaknya di kaki salib. Kita dengan sangat mudah dapat membayangkan tragisnya perasaan sang ibunda, menyaksikan sang anak meregang nyawa di atas kayu salib. Kita semua tahu adegan yang terkenal itu, di mana Yesus menyerahkan sang ibu kepada murid yang dikasihi (Itulah ibumu), setelah terlebih dahulu murid yang dikasihi itu diserahkan kepada sang ibu (Ibu inilah anakmu). Sungguh sangat mengharukan dan sedih sekali.

Keempat, tetapi apa artinya tradisi doa dan liturgi kita menghendaki kita agar selalu mengucapkan doa ini senantiasa? Menurut hemat saya, tradisi liturgis dalam doa salam Maria bagian akhir itu mau mengajarkan kita agar, sebagai anak-anak bunda Maria, kelak (entah kapan) ditunggui sang ibunda tercinta pada saat kita wafat. Dengan kata lain, kita berdoa agar kita boleh mati seperti Yesus, yakni ditunggui oleh orang yang mencintai kita, yaitu bunda Maria. Mungkin itu sebabnya sebuah lagu Maria yang cukup populer (yang sudah saya hafal sejak masa kecilku, karena diajar oleh ibuku sendiri), yang mendendangkan tentang nama Bunda Maria, diakhiri dengan syair sbb: “....dan nanti kuucapkan di saat ajalku.” Selengkapnya adalah demikian: “Ya namamu Maria, Bunda yang kucinta, merdu merawan hati, segala anakmu, patutlah nama itu, hidup di batinku, nan nanti kuucapkan di saat ajalku.” Kita berharap agar dengan cara berdoa dan bernyanyi seperti itu kita dapat bersama dengan Bunda Maria datang dan juga sampai kepada Yesus, Per Mariam ad Iesum, seperti dikatakan selalu dalam teologi mengenai Maria, mariologi itu.

Akhirnya, ada baiknya saya akhiri tulisan singkat ini dengan mengutip doa Maria yang disusun oleh komponis Paul Widiawan, salah satu lagu Maria yang sangat saya sukai, karena ketika kita menyanyikannya, apalagi kalau kita menyanyikannya dengan baik, ia menjadi doa, sehingga benar kata Agustinus itu, qui bene cantat bis orat. Demikianlah Paul Widyawan berdendang: Bunda Maria, Bunda terkudus, harapan kami, di saat sepi, kami slalu memohon, kepada Bunda yang terkasih, pastilah akan terjawab, doa dan isi hati, pada Bunda kami pasrahkan hidup dan mati kami. Biduk ‘kan karam di tengah lautan, lepas kendali, goncang dan temaram, semakin jauh, sang bintang pedoma, semakin sadar Tuhan terbenam. Hanya satu arah, memutar haluan, menuju surga yang indah sempurna tujuan. Sampai akhir pada bunda berpegang, sampai akhir pada bunda ‘kan tenang. Lihat Bunda anakmu yang datang, lihat Bunda anakmu yang datang, merapat berpegang, merapat berpegang, meretas segala rintangan, hanya Bunda ‘kan aman, hanya Bunda Maria, ‘kan aman.

Bandung, 9 Juni 2008.

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...