Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)
Pernahkah anda mendengar kata stigma atau stigmata atau stigmatisasi? Mudah-mudahan anda pernah mendengarnya sehingga kata itu tidak terlalu asing di telinga dan mata kita. Stigma itu berarti luka yang tertempel, luka yang seperti dicap dengan besi panas (berkonotasi luka fisik, luka jasmani, pada kulit luar), suatu kebiasaan yang diterapkan pada budak-budak pada jaman itu untuk memberi ciri penanda kepemilikan atas dia. Stigma ini berbeda dengan trauma yang sama-sama berarti luka, tetapi yang terakhir ini lebih berkonotasi luka batin. Jadi, yang satu tampak jelas, kelihatan, dan karena itu mudah diobati, justeru karena kelihatan. Yang lain tidak kelihatan, berada dalam batin, bahkan mungkin sering tidak disadari oleh si empunya luka, atau kalau disadari belum tentu ia rela mengakuinya. Tulisan ini berfokus pada stigma, bukan pada trauma.
Selama ini saya selalu berpikir bahwa Fransiskus dari Asisi adalah orang pertama dalam sejarah Kristianitas yang mendapat karunia agung stigmata itu, yaitu kelima luka Kristus yang menandai juga tubuh Fransiskus dari Asisi. Ia mendapat lengkap kelima luka itu. Sesudah Fransiskus, hal ini juga ada pada Santa Katharina dari Siena. Jauh-jauh di kemudian hari, yaitu pada masa modern dewasa ini, ada juga pada Padre Pio. Dalam hal ini saya sangat mengagumi Fransiskus karena misteri “kedekatannya” itu dengan Yesus Kristus. Bagi saya hal itu tidak mengherankan karena saya adalah Fransiskan, walau pun bukan OFM.
Tetapi dalam studi saya tentang Paulus selama ini (saya diundang STFT Fajar Timur Abepura untuk mengajar Teologi surat-surat Paulus di sana akhir 2007), telah menuntun saya ke sebuah keyakinan dan pandangan baru: bahwa Paulus (bukan Fransiskus) boleh jadi merupakan orang pertama yang mendapatkan stigmata itu. Kalau pandangan ini benar maka mungkin Fransiskus Asisi “meniru” Paulus, atau Fransiskus mengikuti jejak Paulus. Apa yang dulu terjadi pada Paulus, kelak terulang kembali pada Fransiskus karena imitatio christi adalah idealisme hidup mereka yang begitu kental. Sekali lagi, kalau ini benar, maka mukjizat sejarah pertama ialah pada Paulus. Mukjizat sejarah Paulus itu terulang kembali pada Fransiskus.
Untuk memperkuat anggapan dan keyakinan baru ini, saya mencoba menelusuri sekilas beberapa data biblis yang memberi sinyal ke arah keyakinan itu. Saya berangkat dari teks Gal.6:17. Dalam teks itu Paulus berbicara tentang tanda-tanda milik Kristus yang ada pada tubuhnya. Walau tidak jelas apa tanda-tanda yang dimaksudkan di sini, tetapi saya menduga, dengan memakai jalan idealisme imitatio christi, tanda itu ialah luka-luka suci Yesus Kristus (kemudian berkembang menjadi devosi akan luka Kristus). Sang guru yang diikuti itu mempunyai tanda luka pada tubuhNya, luka yang membekas, yang menurut Yohanes tampak juga dalam tubuh kebangkitan, sehingga menurut Yohanes, Yesus menantang Tomas untuk mencucukkan jari ke dalam luka lambungNya. Tetapi kemudian luka-luka sang guru atau tuan itu, dalam perjalanan waktu, akhirnya membekas dan menoreh juga pada tubuh sang murid, orang yang sudah ditangkap Kristus. Ini juga adalah gaya bahasa Paulus.
Kalau anggapan ini benar, maka dalam hal ini Paulus berbicara seperti tanda-tanda yang ada pada para budak pada jaman itu. Memang ada kebiasaan pada saat itu bahwa inisial nama tuan dicap dengan besi panas pada pantat atau punggung sang budak. Ke mana pun budak itu lari ia pasti bisa ditangkap oleh jaringan “kepolisian” kekaisaran Roma dan dengan mudah akan dikembalikan kepada pemiliknya. Itulah nasib yang dialami Filemon. Budak-budak pada jaman itu memang diperlakukan seperti binatang, yang bisa dijadikan sebagai harta milik yang diperjual-belikan. Paulus kiranya berbicara tentang tanda-tanda milik Kristus itu, dengan meniru gaya bahasa seperti itu. Ya memang Paulus telah menjadi alat, menjadi abdi Kristus. Abdi, tidak lain berarti hamba sang tuan, yaitu Yesus Kristus.
Tetapi apakah peniruan gaya bahasa itu hanya dalam artian rohani saja? Hanya dalam arti kiasan atau metafor belaka? Semula saya berpikir demikian. Tetapi setelah saya membaca Kisah Para Rasul, saya mulai berpikir bahwa siapa tahu memang benar ada luka-luka juga pada tubuh Paulus, seperti halnya luka-luka Kristus sehingga ia berani berkata: pada tubuhku ada tanda-tanda (cap luka, stigma) milik Kristus.
Saya berani berbicara seperti ini karena diilhami oleh Henry Daniel-Rops, teolog dan exeget yang amat dikagumi oleh Paus kita sekarang, sebagaimana diakuinya dalam bukunya yang terbaru Yesus Dari Nazaret. Dalam buku sejarah gereja yang ditulis Daniel-Rops, ia menyinggung sebuah teks dari Kisah Para Rasul. Dalam Kis.14:9, dikisahkan bahwa Paulus dirajam di kota Lystra. Menurut penuturan Lukas, ia dirajam sedemikian rupa sehingga ia dikira sudah meninggal. Maka ia dicampakkan di luar kota dan ditinggalkan sendirian. Ternyata ada mukjizat: ia masih hidup dan bisa bangun dan tidak mati.
Kalau mengingat kisah ini (kalau benar kisah Lukas itu sungguh historis), maka pasti ada luka-luka pada tubuh Paulus, luka-luka bekas rajam, yaitu penyiksaan dengan cara dilempari batu, sesuatu yang lazim pada jaman itu. Pasti ada pendarahan pada bagian-bagian vital anggota tubuhnya. Kita bayangkan saja secara imajinatif akan peristiwa itu. Pada kakinya pasti ada luka sebab kaki itu mula-mula pasti dipakai untuk membela diri sedapat mungkin agar batu tidak langsung mengena badan atau kepala. Pada tangan juga pasti ada luka, sebab tangan itu mula-mula dipakai untuk membela diri, agar batu tidak langsung menimpa kepala.
Tetapi setelah kaki dan tangan mulai melemah, maka perut terkena batu secara langsung, sisi atau lambung pun terkena secara langsung, begitu juga kepala terkena secara langsung. Nah, kepala inilah yang paling mengerikan. Ketimpuk batu. Maka semuanya pasti mengucurkan darah. Kalau pendarahan sudah berlebih-lebihan maka gerbang maut sudah terbuka. Mati. Jadi, secara imajinatif kita bisa membayangkan betapa Paulus terluka sekujur tubuhnya, tidak terkecuali pada bagian yang vital anggota tubuhnya seperti perut dan kepala. Jadi, Paulus juga mempunyai luka.
Hanya cara mendapatkan luka-luka itu berbeda. Fransiskus mendapatkan luka-luka itu dalam sebuah pengalaman mistik di La Verna. Ia mendapatkannya seperti dicap pada tubuhnya. Paulus mendapatkan luka-luka itu lewat pengalaman penyesahan publik di Lystra. Belum lagi luka-luka yang tertoreh pada tubuh Paulus karena peristiwa lain (dilempar ke luar dinding Damsyik dalam keranjang oleh teman-temannya karena gerbang dijaga ketat oleh musuh). Fransiskus mendapat luka-luka itu dalam retret. Paulus mendapatkan itu dalam perjalanan misioner, berkeliling. Fransiskus Asisi mendapat luka-luka itu lewat visiun malaekat. Paulus mendapat luka-luka itu oleh orang banyak yang gila. Fransiskus “mengenakan” tanda-tanda itu selama dua tahun. Paulus, lebih dari dua tahun. Fakta ini menarik bukan?
canticum solis adalah blogspot saya untuk pendalaman dan diskusi soal-soal filosofis, teologis, spiritualitas dan yang terkait. Kalau berkenan mohon menulis kesan atau komentar anda di bagian akhir dari artikel yang anda baca. Terima kasih... canticum solis is my blog in which I write the topics on philosophy, theology, spiritual life. If you don't mind, please give your comment or opinion at the end of any article you read. thanks a lot.....
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
PEDENG JEREK WAE SUSU
Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari Puncak perayaan penti adala...
-
Oleh: Fransiskus Borgias M., (EFBE@fransisbm) Mazmur ini termasuk cukup panjang, yaitu terdiri atas 22 ayat, mengikuti 22 abjad Ib...
-
Oleh: Fransiskus Borgias M. Judul Mazmur ini dalam Alkitab ialah Doa mohon Israel dipulihkan. Judul itu mengandaikan bahwa keadaan Israe...
-
Oleh: Fransiskus Borgias M. Sebagai manusia yang beriman (percaya), kiranya kita semua sungguh-sungguh yakin dan percaya bahwa Tuhan itu...
No comments:
Post a Comment