Monday, May 5, 2008

Nepotisme, Pluralisme, Absenteisme: Krisis

Oleh: Fransiskus Borgias M (EFBE@fransisbm)

Sebagian besar para sejarawan gereja (Henry Daniel-Rops, Philip Hughes, Hubert Jedin, W.L.Helwig, dll) berpendapat bahwa gereja Katolik pada abad keenambelas mengalami semacam krisis rohani yang sangat besar. Sesungguhnya ada banyak faktor yang menjadi penyebab timbulnya krisis gereja yang terjadi pada abad keenam-belas silam. Krisis itu sendiri adalah sebuah krisis rohani yang maha dahsyat, yang menggoncang sendi-sendi dasar kehidupan menggereja itu sendiri, yang pada akhirnya bermuara pada pemberontakan dan protes dari Martin Luther yang sangat terkenal itu. Dan salah satu dari faktor penyebab itu ialah fakta salah urus (mismanagement) di dalam gereja itu sendiri. Pemerintahan itu kotor, bejat, korup. Tidak ada clean and good governance dalam gereja, seperti halnya juga dalam tata pemerintahan modern dewasa ini, khususnya kita di Indonesia. Semuanya mengandung agenda terselubung, karena ada politik kepentingan, karena ada vested interest.

Pada gilirannya salah urus dan pemerintahan yang kotor dan rusak itu sendiri berurat berakar dalam beberapa praksis penyimpangan. Pertama, ialah praksis nepotisme, di mana para paus dan para uskup pada jaman itu mementingkan sanak keluarga mereka sendiri (terutama para keponakan, sebab nepot itu artinya paman) untuk menduduki atau mengemban pelbagai jabatan-jabatan penting dan strategis baik dalam tata pemerintahan gereja maupun terutama dalam tata pemerintahan sipil, walau pun sebenarnya mereka itu tidak selalu merupakan orang yang tepat untuk menduduki jabatan itu; they are not the right man behind the gun. Jadi, mereka itu adalah the wrong man in the right place. Jadinya, ya serba kacau balau.

Memang pada masa itu praksis nepotisme merebak dan merajalela karena dengan cara itu orang mau dan dapat memperbaiki status sosio-ekonomi keluarga; dan dengan itu orang bisa juga mengamankan jabatannya karena ada banyak backing. Kalau sebagian besar para pejabat di daerah sekitar saya mempunyai hubungan darah (jauh maupun dekat) dengan saya, maka saya akan aman dalam sepak terjang politik saya. Seperti halnya juga dewasa ini, banyak jabatan berarti banyak uang. Oleh karena itu, maka banyak orang tidak malu-malu untuk mempunyai dan mengemban banyak jabatan publik dan politik dan gerejawi sekaligus. Ya uskup, ya penguasa tuan tanah juga, yang berkuasa atas para pangeran-pangeran kecil.

Pada jaman itu, fenomena jabatan rangkap disebut pluralisme. Inilah faktor kedua. Jadi arti kata pluralisme itu berbeda dengan yang kita pahami dan kita pakai dewasa ini. Kita dewasa ini biasanya berbicara tentang pluralisme religius, pluralisme moral, pluralisme kebudayaan, dll. Sedangkan pluralisme pada jaman itu tidak lain berarti rangkap jabatan atau jabatan rangkap: menjabat di sana, menjabat di sini, menjabat di mana-mana, pejabat yang turnei, turu kono, turu kene (kata orang Jawa). Lagipula dengan mengemban satu jabatan gerejawi pada saat itu, maka si pejabat akan mendapat privilese, mendapat banyak hak-hak istimewa. Dan pada jaman itu privilese itu bisa berupa bebas dari batasan-batasan kanonik, dan bebas dari banyak kewajiban-kewajiban sipil seperti pajak misalnya. Orang yang mempunyai jabatan gerejawi tinggi berhak memberi dispensasi. Praksis ini pun bisa mendatangkan keuntungan finansial yang tinggi. Semakin banyak memberi dispensasi, maka banyak juga pendapatan ekstra yang luput pajak lagi.

Praksis jabatan ganda atau jabatan rangkap atau pluralisme itu menyebabkan munculnya sebuah persoalan baru, yaitu absenteisme, dan inilah faktor yang ketiga. Absenteisme adalah fakta bahwa si pejabat tidak menduduki posisinya, karena banyaknya jabatan yang diemban. Cukup lama tahtanya lowong (sede vacante), kalau dia itu kebetulan mempunyai martabat sebagai uskup. Populernya, si pejabat sering sekali bolos dari kursi jabatannya. Hal itu mudah dipahami, sebab bagaimana mungkin ia bisa hadir sekaligus di banyak tempat. Seorang gubernur Jabar, tidak bisa sekaligus menjadi gubernur DKI misalnya. Atau dia akan lebih memperhatikan yang satu dan mengabaikan yang lain. Ia tidak bisa mengabdi dua tuan sekaligus, tidak bisa mengabdi mamon dan Allah. Harus memilih salah satu.

Akhirnya fenomena absebteisme ini mengarah ke krisis wibawa gereja, dan mengarah ke gejala kemerosotan rohani yang sangat dahsyat, karena tidak adanya pastoral care, tidak ada cura animarum. Bagaimana mungkin seorang uskup atau imam dapat memberikan layanan dan perhatian pastoral kalau ia sering tidak ada di tempat? Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa banyak para imam saat itu tidak mempunyai pendidikan tinggi, karena mereka dipilih bukan karena kwalitas moral dan intelektualnya, melainkan semata-mata karena dia adalah keponakan uskup atau paus atau rahib di sebuah biara yang terkenal. Itulah sebabnya salah satu program pembaharuan dalam konsili Trente ialah membenahi pendidikan di seminari, pembenahan program pendidikan para imam. Para imam tidak lagi adalah orang-orang bodoh. Mereka paling tidak haruslah orang yang pintar juga.

Kasus paling ekstrem pada abad keenambelas ialah Paus Yulius II. Orang ini, selain menjadi Paus (berarti berkedudukan di Roma), ia juga sekaligus menjadi Uskup Agung di Avignon, menjadi uskup di diosis Bologna, di Lausane, di Constances, di Viviers, Munde, Ostia, Velleri. Tidak hanya itu saja, ia juga sekaligus menjadi pemimpin (Abbas) untuk biara-biara Nonantola, dan Grottaferrata. Jadi, kalau ia menetap di Roma, maka tahta-tahta lain kosong, tidak ada layanan pastoral, tidak ada reksa pastoral. Jiwa-jiwa umatnya ditelantarkan.

Selain itu ada juga krisis keuangan yang bermuara pada perdagangan indulgensi. Tetapi ada juga penyalah-gunaan uang untuk kesenangan pribadi para pejabat gereja (yang tidak jarang mempunyai gundik-gundik, dan suka berjudi juga, atau yang lebih mulia namun boros, menjadi sponsor sebuah museum seni, atau menjadi kurator. Ingat saat itu adalah kurun renesans dan humanisme dalam sejarah gereja). Fenomena simoni, praktek jual-beli jabatan suci, juga amat merebak pada saat itu. Itulah sebabnya muncul banyak protes, termasuk protes dan pemberontakan Luther di dalamnya. Jadi, kemerosotan gereja pada abad keenambelas, disebabkan oleh nepotisme, pluralisme, absenteisme, yang erat terkait satu sama lain.

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...