Monday, May 5, 2008

He Hodos

Oleh: Fransiskus Borgias M (EFBE@fransisbm)

He Hodos adalah kata dari bahasa Yunani yang artinya ialah Jalan, via, the way. Sesungguhnya kata ini tidak asing bagi telinga dan mata kita, sebab dalam bahasa Indonesia kita mempunyai kata metode, yang secara etimologis berasal dari kata bahasa Yunani, meta+hodos, yang artinya ialah “jalan yang ditempuh,” atau “jalan melalui mana, kita menuju dan sampai ke suatu tujuan tertentu.” Tentu kita mengadopsi kata metode ini dari bahasa Barat (mungkin terutama sekali Inggris, method). Kata he hodos ini sangat banyak dipakai dalam Perjanjian Baru. Bahkan salah satu sebutan diri Yesus ialah he hodos. Dalam Injil Yohanes, Yesus memperkenalkan diri kepada kita sebagai Jalan: Ego sum via. Atau dalam bahasa Yunani, Ego eimi he hodos (Yoh.14:6).

Menarik sekali bahwa dalam Kisah Para Rasul, cara hidup yang ditempuh para pengikut Yesus (yaitu orang-orang yang percaya kepada-Nya), adalah jalan, he hodos, via, the way. Baru di Antiokhia mereka itu disebut Christianoi (Kis.11:27). Dalam Kisah Para Rasul kata Jalan sebagai cara hidup Christianoi ini disebut sebanyak sembilan (9) kali dengan pelbagai macam keterangan. Ada yang hanya dipakai kata Jalan saja, ada yang diberi keterangan jalan Tuhan, dan ada yang diberi keterangan jalan Allah. Menarik juga bahwa Lukas sendiri tidak pernah menyebut kata ini dalam injilnya. Lukas hanya menyebutnya dalam Kisah Para Rasul saja. Seakan-akan Lukas mau mengkhususkan kata Jalan ini untuk Kisah saja, yang juga merupakan karya Lukas, semacam bukunya yang kedua (Sebab dalam Kis.1:1 Lukas menyebut injilnya sebagai ‘bukuku yang pertama’).

Memang kita tahu bahwa pada saat itu belum ada agama yang disebut sebagai agama Kristiani seperti yang kita kenal dewasa ini. Kalau toh dianggap atau diyakini sudah ada, maka “agama” itu lebih dimengerti sebagai jalan hidup, sebagai cara hidup, sebagai jalan, sebagai the way, sebagai via, sebagai he hodos. Jadi, pada tahap Perjanjian Baru, orang-orang yang mengikuti dan percaya pada Yesus Kristus disebut christianoi (Kis.11:26). Sedangkan cara hidup yang mereka tempuh disebut jalan.

Serta merta di sini saya pun jadi teringat bahwa Yesus dalam injil Yohanes menyatakan diri sebagai jalan, kebenaran, dan hidup: Ego sum via, veritas, et vita. Atau Ego eimi he hodos, he zoe, kai he aletheia (Yoh.14:6). Jadi, mula-mula Kristianitas itu berada sebagai sebuah jalan hidup, sebagai halakhah, sebagai cara hidup, cara berperilaku, cara bertingkah laku. Barulah kemudian ia berada sebagai agama. Kristianitas mula-mula adalah jalan hidup; barulah kemudian ia adalah agama atau menjadi agama. Maka secara historis-kronologis atau dari segi kaca mata waktu, jalan itu prioritas di atas atau mendahului agama.

Tetapi apa perbedaan antara kedua hal ini? Menurut saya, agama itu institusional. Sedangkan jalan itu inspirasional. Agama itu kaku. Jalan itu luwes, dinamis. Agama itu diadakan, dibangun. Agama itu dirancang dengan sengaja. Sedangkan jalan itu muncul secara spontan, alami, natural. Jalan itu berada begitu saja. Jalan itu teretas begitu saja. Jalan itu personal. Sedangkan agama itu lembaga. Agama itu cenderung bernafsu mengklaim untuk memiliki, mengehaki, menguasai. Sedangkan jalan itu mengundang, mengajak, memanggil untuk dijalani, ditelusuri. Kalau memakai kosa kata filsafat Erik From, jalan itu adalah cara hidup dengan modus to be. Sedangkan agama itu adalah cara hidup dengan modus to have. Agama itu mau memiliki, meraih, menguasai, menaklukkan, obsesi psikologis yang muncul karena fixasi-anal (kemandekan perkembangan psikologi pada tahap anal), dalam bahasa psikoanalisis Sigmund Freud.

Selain itu jalan itu mempunyai konotasi lemah-lembut, seperti halnya Yesus yang adalah jalan (menurut Yohanes), menurut Mateus, Ia lemah lembut dan rendah hati. Agama itu angkuh, bringas, bengis menindas dan menumpas. Jalan itu serba humble, sebab jalan itu ada di tanah, ada di humus, untuk dipijaki, diinjak, dijalani, ia berada sebagai humilitas dan menawarkan diri sebagai humilitas. Dan dalam semuanya itu jalan adalah serba rela. Sebaliknya, agama itu tidak demikian. Agama itu angkuh, condong kepada penindasan, cenderung memaksa dengan kekerasan. Jalan itu inklusif, serba merangkul, sedangkan agama itu eksklusif, cenderung mengeliminasi, menyingkirkan.

Maka sebaiknya kembali saja ke jalan itu. Jalan itu halakhah, cara perilaku, bernuansa etis-moral. Seperti kata Mazmur 1: berbahagialah orang yang hidup menurut hukum Tuhan. Hukum Tuhan dijadikan sebagai jalan hidup. Saya kira, daya tarik Kristianitas dalam Perjanjian Baru, atau dalam masa gereja perdana, ialah justru karena ia tampil sebagai jalan, dan bukan pertama-tama sebagai agama. Kalau dalam Kisah kita baca bahwa mereka disukai dan dicintai banyak orang (Kis.2:47), itu tidak lain karena jalan hidup yang mereka tempuh.

Menarik untuk ditanyakan lebih lanjut, kapan jalan ini bergeser atau berubah menjadi agama? Saya kira ini adalah sebuah hukum alam atau hukum sejarah. Seperti hasil pengamatan Alfred Loisy itu bahwa “Yesus mewartakan kerajaan Allah, tetapi yang muncul (sebagai hasilnya) ialah gereja.” Demikian juga di sini, orang Kristiani perdana hidup di dunia ini dengan menempuh sebuah jalan, tetapi kemudian, dalam perjalanan dan perkembangan sejarah juga, jalan itu berubah secara perlahan-lahan menjadi agama. Hanya kita tidak tahu dengan pasti kapan hal itu terjadi. Tetapi kiranya hal itu terjadi dengan perlahan-lahan, ketika mulai terbentuk struktur-struktur kepemimpinan dan organisasi dalam gereja, ketika terjadi spesialisasi fungsi-fungsi dan peran. Ini memang sebuah perkembangan yang wajar, alami, dan karena itu tidak terhindarkan juga.

Ini adalah hukum sejarah yang menimpa semua gerakan. Semua gerakan mula-mula muncul sebagai sebuah dinamika, sebagai sebuah energi yang lepas dan bebas dan hidup (tetapi tidak liar), tetapi kemudian dinamika itu terbelenggu, mengental di dalam struktur, dalam lembaga. Inilah yang biasanya disebut sebagai institusionalisasi kharisma. Terjadilah apa yang disebut sebagai pembekuan, yang muncul sejalan dengan proses pembukuan, pembekuan, dan pelembagaan, strukturisasi.

Itulah yang biasanya disebut sebagai dilema kharisma: mulai muncul sebagai sesuatu yang dinamis, dan hidup, lalu akhirnya terbelenggu dalam struktur dan lembaga. Dilema ini menimpa semua gerakan rohani. Pernah menimpa gerakan dari orang seperti Fransiskus dari Asisi. Juga dari orang seperti Ignatius Loyola, walau yang terakhir ini memang sejak semula sudah berstruktur ala militer, miles christi, dengan ketaatan dan disiplin yang ketat, oebedientia cadaver, ketaatan mayat, taat begitu saja, seperti mayat.

Di tengah pluralisme agama dewasa ini ada baiknya, kita kembali lagi ke Jalan awali dan asali itu. Di tengah agama-agama yang cenderung menjadi penjagal kemanusiaan, mungkin ada baiknya memikirkan jalan yang ramah, merendah, merahimi itu. Sebab bukankah itu sebuah inspirasi dari Perjanjian Baru juga?

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...