Wednesday, September 3, 2008

Roh Berdoa Untuk Kita

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)

Dalam rapat rutin Komisi Kerasulan Kitab Suci minggu yang lalu di Seminari Tinggi Fermentum, Citepus, Pa Herman Anwar (Ketua K3S Keuskupan Bandung) telah meminta saya, agar dalam rangka dan selama tahun Paulus ini, terutama dalam rangka Bulan Kitab Suci Nasional tahun 2008 ini, untuk mencari teks-teks renungan yang diangkat dari surat Paulus kepada jemaat di Roma. Teks itu akan dibagi-bagikan kepada teman-teman anggota K3S untuk direnungkan bersama-sama selama satu minggu. Setelah satu minggu merenungkan hal itu dengan tekun dan serius, akhirnya hari ini saya menemukan sebuah teks yang sangat menarik, dan saya anggap sangat tepat untuk dijadikan bahan renungan bersama selama seminggu ini. Teks itu saya ambil dari Rom.8:26. Teks itu berbunyi sbb: “Demikian juga Roh membantu kita dalam kelemahan kita; sebab kita tidak tahu, bagaimana seharusnya brdoa; tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan.” Bagi saya teks kutipan ini sangat luar biasa. Ia mengandung sebuah kekuatan rohani yang sangat dahsyat. Inilah beberapa pokok renungan dan refleksi saya tentang teks ini.

Terus terang, sudah lama sekali saya sangat terkesan dengan teks ini. Dulu ketika masih dalam biara, saya mempunyai sebuah pengalaman dengan bapa rohani saya, Pater Vincente Kunrath OFM. Ia adalah seorang pendoa yang baik, seorang pendoa sejati. Ia juga adalah seorang bapa rohani yang baik dan pintar. Pada suatu saat saya menghadap dia untuk meminta bimbingan rohani sehubungan dengan apa yang disebut sebagai gejala “kekersangan rasa” dalam hidup rohani dan doa. Sebab memang pada saat itu saya sedang dilanda oleh fenomena kekeringan rasa dalam hidup rohani dan doa. Dalam pengalaman seperti itu, kadang-kadang kita menjadi sangat bingung, dan tidak tahu lagi bagaimana cara berdoa, mengapa harus berdoa, dan terutama sekali untuk apa berdoa. Kita bahkan mempertanyakan dan mempersoalkan arti dan fungsi serta peran doa itu. Bahkan kita juga bisa sampai pada titik krisis dalam hidup doa, dan krisis itu bisa jatuh ke dalam situasi fatal, yaitu berhenti berdoa, tidak mau lagi berdoa.

Mendengar sharing saya yang tampak bingung dan mumet itu, Pater Vicente tidak banyak omong; ia hanya terdiam. Ia juga tidak mencoba mencekoki saya dengan menguraikan banyak teori tentang hidup doa dan hidup rohani. Ia malahan mengajak saya untuk melakukan hal yang sangat sederhana saja. Yaitu mengambil alkitab masing-masing. Ya ia hanya mengajak saya untuk sama-sama membuka Kitab Suci, yaitu teks dari Rom.8:26 tadi. Lalu kami bacakan bersama teks itu. Setelah dibaca satu kali, dan hampir tanpa penjelasan yang panjang lebar, saya langsung merasa lega, merasa tercerahkan. Ada sebuah kelegaan baru yang masuk dan menyelinap ke dalam diri saya. Ini sebuah penyingkapan yang saya luar biasa. Dan Pater Vicente bisa merasakan dan melihat perubahan dalam diri saya itu.

Jauh di kemudian hari saya terus menerus memikirkan dan mencoba merumuskan buah pikiran mengenai arti penting teks ini bagi hidup rohani kita. Dan pada suatu saat saya pun sampai pada satu keyakinan bahwa teks ini penting bagi perjuangan hidup rohani kita. Ada beberapa alasan yang penting mengapa saya berani mengatakan hal itu. Pertama sekali, teks ini bisa membantu kita untuk menghindari keangkuhan manusiawi kita. Kadang-kadang kita merasa bahwa kita sendirilah yang mampu berdoa, atau kita sendirilah yang membuat diri kita mampu berdoa. Bahkan kita sendirilah yang bisa merumuskan doa-doa kita dengan kata-kata yang sangat indah dan puitis bahkan. Kata-kata itu mengalir seperti air dari mata air gunung. Ya boleh-boleh saja merasa seperti itu. Tetapi tentu saja bagi saya ini bisa menjadi sebuah keangkuhan rohani. Sebab yang sesungguhnya ialah, bahwa kita tidak tidak tahu bagaimana cara berdoa. Teks ini sudah mengatakan hal itu.

Kedua, teks ini adalah sebuah penyadaran bagi kita mengenai teori doa atau teologi doa. Intinya ialah, bahwa doa tidak selalu bersifat verbal, doa tidak selalu harus terucap dengan kata-kata, apalagi terucap dengan keras-keras, teriak-teriak segala. Sebab bisa saja ada sebuah doa hati, atau doa dalam hati, doa dalam diam, dalam keheningan, tanpa kata-kata yang kadang-kadang bisa membantai sunyi. Kadang-kadang kita merasa bahwa doa yang baik adalah doa yang terumuskan dalam dan dengan kata-kata, apalagi kata-kata yang indah dan puitis. Dalam konteks itu, kita lalu cenderung menghina atau memandang rendah orang yang tidak bisa berdoa dengan lancar dalam kata-kata atau bahkan bahasa Roh.

Ketiga, teks ini juga menyadarkan kita semua akan sebuah teologi mengenai Roh, yaitu bahwa Roh itu menjadi wakil atau pengantara atau juru bicara atau advocata kita di hadapan dan kepada Allah. Dengan jaminan Roh ini, maka doa kita selalu bisa menjadi efektif, tidak akan pernah dikecewakan. Tetapi hendaknya diingat dengan baik bahwa teks ini bukanlah sebuah pembenaran untuk malas berdoa. Jangan sampai karena kita sudah malas berdoa, lalu kita membenarkan kemalasan itu dengan berkata: tidak apa-apa kalau sekarang ini saya malas, karena saya tahu Roh akan berdoa bagi saya. Teks itu tidak dapat dipakai sebagai pembenaran dan legitimasi teologis kemalasan seperti itu. Bagaimana pun juga nasihat ini muncul dari suatu pengalaman rohani seorang pendoa sejati. Ucapan itu mengalir atau memancar keluar dari spiritualitas doa Paulus yang sangat mendalam. Oleh karena itu, sekali lagi, teks ini tidak dapat dipakai sebagai pembenaran kemalasan hidup doa dan hidup rohani pada umumnya.

Keempat, teks ini juga bisa memberi hiburan dan penguatan di dalam kesesakan dan ketidaktahuan dan bahkan kebingungan kita dalam doa. Argumentasinya ialah, bahwa kita tidak boleh jatuh oleh dan dalam kelemahan kita, karena Roh membantu kita justru di dalam kelemahan kita. Dan salah satu dari kelemahan kita ialah kelemahan dalam doa: kita tidak tahu cara berdoa yang benar dan seharusnya. Dalam hal itu Roh akan membantu kita. Roh yang berdoa untkkita dan doa itu akan membumbung ke hadapan hadirat Allah. Dan itu terjadi lewat keluhan-keluhan yang tidak terucapkan. Yang hanya ada dalam hati kita, bahkan mungkin tidak kita ketahui, atau tidak kita sadari. Juga, bahkan terjadi dalam situasi kebingungan kita. Kebingungan itu pun bahkan bisa menjadi doa itu sendiri. Mungkin itulah sebabnya, dan saya sangat yakin akan hal itu, kita tidak pernah jatuh secara sangat tragis dan fatal ke dalam kegagalan hidup doa kita, karena Roh membantu kita. Dia mengangkat dan menjunjung kita di dalam kelemahan kita.

Bagi saya ini sebuah penghiburan rohani yang sangat luar biasa. Tidak ada lagi penghiburan rohani yang lebih besar dari pada itu. Mari kita mencoba menghayatinya lagi, dan terus menerus. Semoga kita tidak segera berputus asa di dalam doa-doa kita, bahkan di dalam situasi-situasi di mana kita tidak bisa berdoa sekalipun. Sebab bahkan situasi seperti itu, juga bisa menjadi doa itu sendiri. Ajaib bukan!


No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...